Sidekick

Urip mung mampir ngejus

Jika ada pertanyaan trivia, di mana tempat paling puitis di Jakarta, saya akan mengajukan satu jawaban: Karet. Tepatnya kompleks pemakaman Karet.

 

Pagi ini saya membaca ulang buku-buku bertema Lebaran. Salah satu yang saya baca adalah kumpulan cerpen “Lebaran di Karet, di Karet…” yang ditulis Umar Kayam. Buku itu saya temukan di kamar lama kakak saya. Kondisinya berdebu.

 

Setelah saya bersihkan, saya langsung membuka bagian paling penting buku itu. Cerita ketika Is, tokoh utama cerpen itu, ingin nyekar ke makam Rani (almarhumah istrinya) di Jeruk Purut. Is hanya bisa nyekar sendirian karena ketiga anaknya berada di luar negeri. Tipikal juxta posisi ala Pak Kayam: Yang tradisional lawan global.

 

Bagian cerpen itu kemudian menghadirkan salah satu baris paling diingat dalam sejarah kepenulisan Pak Kayam, “Ke Karet, ke Karet – tidak ke Jeruk Purut ke tempat Rani, melainkan ke Karet, ke Karet… Rani pasti setuju dan senang.”

 

Baris itu muncul karena motif yang ditampilkan cerita itu sebelumnya. Menjelang kematian Rani, suami istri itu pernah berdiskusi. Rani mengutarakan ingin dimakamkan di Karet.

 

“Semua orang-orang terkenal Jakarta dimakamkan di situ. Usmar Ismail, Djayakusuma, dan Chairil Anwar. Masih ingat kau, Is, salah satu sajaknya, ‘Di karet, di Karet tempat kita yang akan datang.’”

 

Saya belum pernah membaca alasan Pak Kayam mengutip potongan puisi Chairil dalam cerpen tersebut. Saya menduga ia sengaja melakukannya. Bila puisi Chairil sengaja dikutip untuk memperkuat cerpennya maka hasilnya memang mak tratap.

 

Potongan puisi Chairil itu diambil dari salah satu puisinya yang berjudul “Buat Mirat. Mirat dalam judul itu merujuk pada gadis dari Surabaya bernama Sumirat. Chairil sangat mencintai Mirat. Cinta itu berbalas, bahkan Mirat punya panggilan mesra untuk Chairil: Cril.

 

Mirat menggambarkan cintanya kepada Chairil dengan sangat manis, “Sikap masa bodohnya terhadap keramaian membuatku tertarik.”

 

Sayang, kisah cinta Chairil dan Mirat harus kandas karena ayah Mirat tak menyetujui hubungan mereka. “Anak (Chairil) cari kerja dulu yang baik dan tetap, nanti kita bicarakan lagi,” kata ayah Mirat saat Chairil melamar putrinya.

 

Tempo pernah menulis, “Perempuan yang paling membuat Chairil sakit hati adalah Sumirat.”

 

Bagi saya potongan kisah hidup Chairil itu justru sangat puitis. Binatang Jalang yang bohemian bertekuk lutut dengan alasan yang sangat realistis. Chairil harus kembali pada realitas kehidupan yang kejam. Bekerja dan menjadi orang kebanyakan. Dan di titik itu ia benar-benar kalah.

 

Puisi “Buat Mirat” bisa jadi semacam curhatan Chairil atas tamparan keras realitas keseharian pada nasibnya. Puisi itu ditulis beberapa bulan sebelum Chairil wafat. Entah karena alasan apa, setelah diterbitkan lagi (dan sampai saat ini) puisi itu berganti judul menjadi “Yang Terampas dan Yang Putus“.

 

Puluhan tahun setelah puisi “Buat Mirat”, Chairil dan Pak Kayam dimakamkan di Karet.

 

Saya pernah mengunjungi makam Pak Kayam. Tak ada yang spesial dengan makamnya. Di samping makam itu tumbuh pohon flamboyan. Penjaga makam menyebut makam Pak Kayam dengan “Makamnya penulis”.

 

Saat nyekar ke rumah terakhir Pak Kayam, penjaga makam menawari saya menyekar ke makam Chairil. “Kalau makam Chairil banyak yang datengin,” kata penjaga makam.

 

Pun, di akhir hayatnya Pak Kayam masih direlasikan dengan Chairil. Rani pasti bangga Pak Kayam satu kompleks pemakaman dengan Chairil. Tak seperti Is, ia bukan saja membelokkan mobilnya ke pemakaman Karet untuk memenuhi keinginan Rani. Pak Kayam benar-benar menjadikan Karet sebagai, menyitir Chairil, ‘tempat yang akan datang’.

 

“Lebaran di Karet, di Karet…” dan “Buat Mirat” menggambarkan Karet sebagai sesuatu yang muram. Keduanya merujuk Karet karena tak bisa menggapai apa yang diinginkan.

 

Chairil tak bisa mendapatkan Mirat, pun Rani tak bisa dikuburkan di sana.

 

Beberapa hari sebelum Bulan Ramadan tahun ini, saya melewati perempatan lampu merah Karet. Puluhan mobil parkir di depan makam untuk nyekar. Jalanan macet total.

 

Dari jauh saya menengok ke arah makam Pak Kayam dan Chairil. Saya membayangkan Chairil dan Pak Kayam melihat para peziarah.

 

Chairil mungkin akan bergumam dengan mengutip salah satu lariknya, “Kami sekarang mayat, beri kami arti.”

 

Bagi saya Chairil dan Pak Kayam bukan sekadar mayat, keduanya memberi arti penting bagi Jakarta. Keduanya adalah sebuah ironi tentang kota ini. Tentang jutaan orang yang mengadu nasib untuk kehidupan ideal. Namun, hasilnya seperti penolakan ayah Mirat untuk Chairil. Jutaan orang yang kalah dihantam realitas.

 

Lebaran ini mungkin sekali lagi saya harus ke Karet. Mengunjungi Chairil dan Pak Kayam. Menziarahi cerita keduanya.

 

2 thoughts on “Karet

  1. dalam!
    saya kagum dengan gaya penulisan seperti ini : solilokui..

    terakhir saya baca ketika ayah saya memiliki buku hitam bertuliskan solilokui dan saya membaca berulang – ulang, mungkin sudah putus urat bosan saya.. 😀

    Like

    1. ardiwilda says:

      terima kasih, terus terang saya malah baru tau istilah solilokui hehe

      Like

Leave a comment