Bagaimana jika kita tak pernah merasa menjadi bagian dari kelas tertentu?
Pelayan itu mengenakan baju putih. Berbeda dengan warna baju pelayan lainnya. Perawakannya senada dengan warna bajunya. Polos.
Tingkahnya kikuk, agaknya ia masih dalam masa pelatihan.
Sial, sore itu nasib mujur benar-benar menjauhinya. Di pojokan restoran, ia terpeleset saat mengantarkan minuman. Bukan hanya tiga gelas yang pecah, kepercayaan dirinya juga ikut ambyar.
Ia meminta maaf pada saya yang memesan salah satu dari tiga gelas tersebut. Tentu saya memaafkannya, itu murni kecelakaan, ia sama sekali tak salah.
Tapi bagi saya, permintaan maaf itu jauh melampaui konteks memaafkan. Ia seperti perlintasan banyak pengalaman.
Saya tumbuh dalam lingkungan kampung kota. Tetangga saya banyak yang menjadi pelayan restoran. Saat remaja, saya sering mendapat sisa makanan cepat saji jatah pegawai.
Seorang mantan pramusaji pizza cepat saji pernah jadi rekan saya saat mengajar PAUD di Lampung. Ia jauh lebih pintar dalam mengajar. Potret klise guru yang bekerja dengan hati.
Dalam sebuah kesempatan, ia mengatakan, “Ra betah urip nang kuto. Panganan aneh koyo pizza kok regane larang, mending nasi tiwul nek aku, Mas. (Saya tidak betah hidup di kota. Makanan kayak pizza yang rasanya aneh kok harganya mahal. Mending nasi campur singkong).”
Pendapatnya lebih tajam dari lawakan urban ala Samuel Mulia di koran akhir pekan. Saya tertawa ketika pertama mendengar ucapannya.
Tapi selanjutnya justru berpikir apakah saya tertawa karena saya menertawakan orang kota atau karena saya bertindak sebagai orang kota yang sedang mengolok-ngolok orang desa.
Pengalaman-pengalaman itu jelas memunculkan solidaritas kelas.
Maka, permintaan maaf pelayan itu terasa sangat personal bagi saya. Ia seperti mengasingkan saya dari komunitas tempat saya tumbuh. Relasinya tak lagi solidaritas kelas. Tapi, saya penerima jasa dan ia pelayannya. Bagi saya, itu justru sangat menyakitkan.
Persentuhan antara yang “atas” dan “bawah” selalu menarik bagi saya.
Pernah beberapa tahun lalu, sahabat mentor saya meminta bertemu di arena golf Pondok Indah. Mereka butuh jasa saya untuk menjalankan sebuah program aktivasi pemasaran. Saya berangkat naik motor dan kehujanan. Basah kuyup.
Di Mal Pondok Indah, saya menyempatkan membeli baju rapi demi memantaskan diri. Sesampainya di arena itu, saya kikuk. Saya paham bagaimana berkomunikasi dan melayani kebutuhan mereka, tapi sama sekali tak merasa jadi bagian dari kelompok itu.
Dari situ saya curiga, jangan-jangan kelas bukan sesuatu yang biner.
Selama ini narasi tentangnya sangat biner. Akibatnya, orang terobsesi untuk “naik kelas”. Obsesi untuk menjadi kelas tertentu jadi sesuatu yang begitu penting dan terkadang banal. Arsitektur kitsch, politisi yang berlagak turun kelas, atau tempat makan yang menawarkan visual yang mencerminkan kelas tertentu jadi contohnya.
Sayangnya, tak biner bukan berarti jauh dari konflik. Saya ingat bagaimana Shakespeare menyusun tragedi. Ia menyusunnya bukan atas nama pertentangan yang kaya lawan miskin seperti formula picisan ala Love Story-nya Erich Segal. Shakespeare justru menyusun tragedi karena persamaan dan kesetaraan.
Apa kalimat pertama dalam Romeo dan Juliet? Begini bunyinya:
“Two households, both alike in dignity.”
Keluarga Capulet dan Montague serupa dalam banyak hal. Keduanya tak bertarung karena perbedaan. Mereka bertarung justru karena persamaan. Sampai acap kali lupa alasan mereka bertarung.
Mirip dengan warga urban di Jakarta. Sering kali kita bertarung dalam kelas yang sama, dalam kelompok yang sama. Seperti dua pengendara motor yang bertukar serapah di lampu merah. Seperti pekerja kantoran yang mengutuk demo buruh. Mereka sebenarnya tak sedang bertarung dengan orang lain.
Saya curiga mereka, begitu juga saya, kadang bertarung karena eskapisme atas kebencian kepada diri sendiri.
Pun, dengan pelayan di restoran yang saya temui. Setelah gelasnya jatuh, para pelayan lain memandang jengah ke arahnya. Ia mengepel sendirian. Diperingati oleh atasannya di dapur. Ia dihabisi oleh kelompoknya.
Saya membayangkan ketika malam, pelayan itu hanya bisa meratapi nasibnya di kos-kosan. Sama dengan pelayan lainnya. Sama dengan atasannya. Mereka semua setara, mereka semua berseteru. Untuk alasan yang kadang kita tak pernah tahu.
Dan saya hanya bisa membayangkannya, dengan nasib yang tak jauh berbeda.
Selamat datang lagi mas awee..
Hehehe..
Sent from my iPad
>
LikeLike
hehe iya nih, lama gak nulis. makasih sudah berkunjung lagi 🙂
LikeLike
Waah, tulisan baru. Lama ya mas gak posting di sini?
Selalu asik menikmati tulisan2 sampeyan. Terimakasih, Mas.
LikeLike
Iya Mas. Lama sekali tidak posting. Terima kasih buat apresiasinya. Salam kenal ya 🙂
LikeLike
Iya, mas. Salam kenal juga. Selalu baca tulisan smpyn ini. Rasanya seperti pulang ke rumah. Hehe.
LikeLike