Sidekick

Urip mung mampir ngejus

Apa yang membuat amarah membuncah? Jawabnya sederhana: Air mata yang tumpah. 

 

Ini cerita seorang kawan yang saya kenal sejak delapan tahun lalu. Saya meragukannya saat pertama kali kenal. Kami sama-sama menjadi relawan pengajar di wilayah Selatan Sumatera. 

 

Ia sangat berbeda dengan saya. Tipikal anak pintar di kampus, hidupnya tertata rapi, dan selalu bertindak dengan rencana. Sementara saya adalah antonim dari itu semua. 

 

Sayangnya, stereotipe memang bekerja dengan cara yang jahat, sangat jahat. Saya termakan stereotipe itu.

 

Saat diumumkan kami akan bertugas di desa yang bersebelahan. Saya curiga ia tak akan kuat jadi relawan.

 

Syahdan, dugaan itu diperkuat saat ia jatuh sakit saat kami belum genap sebulan bertugas. Saat dirawat dalam klinik di desa tetangga, saya berpesan padanya, “Istirahat dulu aja sampai sembuh total.” 

 

Pesan itu menguap begitu saja. Ia memilih langsung beraktivitas setelah pulang dari klinik. Ia mengajar sampai siang di kelas, membuat les di sore hari, dan menemani anak-anaknya bermain di malam hari. Bahkan, ia membeli sepeda butut dan menggowesnya setiap hari demi menemui murid-muridnya.

 

Ia punya alasan sederhana untuk itu semua, “Gue seneng kalau anak-anak gue seneng.” 

 

Ia sangat mencintai muridnya. Pun muridnya membalas rasa sayang itu dengan sempurna. Saat kami purna tugas, muridnya menangis kehilangan. Saya sampai menyeka mata agar tetap kelihatan tegar dan tak malu karena menangis (patriarki memang menyebalkan!). Sementara kawan saya ini tanpa ekspresi, datar saja.

 

“Gue pingin nangis, tapi gak bisa,” dalihnya.

 

Setelah perpisahan itu, kami memilih jalan yang berbeda. Saya bergiat dalam kerja-kerja penulisan, sementara seperti yang saya duga, ia memilih melanjutkan pendidikan.

 

Kami jadi jarang bertemu. Paling hanya dalam momen-momen tertentu atau via sosial media. Dari kabar-kabar sekilas, saya tahu ia kembali memilih jalan terjal.

 

Ia bekerja di Pojok Kuningan demi menghajar praktik rasuah di negeri ini. 

 

Dari situ saya tahu, ia tak berubah. Ia tetap seorang kawan yang percaya pada kekuatan sebuah harapan.

 

Maka, ketika tempatnya bekerja dihabisi dari kanan-kiri saya mencoba mengontaknya. Sekadar bertanya apa yang bisa saya bantu. Tak banyak yang ia katakan, ada nada kesedihan dan getir dalam kata-katanya.

 

Puncaknya, di malam penghabisan kantornya. Saya melihat fotonya melintas di lini masa. Seorang fotografer media daring memfotonya dengan ekspresi yang tidak pernah saya bayangkan. 

 

Ia menangis sejadi-jadinya, air matanya tumpah. 

 

Saya terdiam beberapa saat setelah melihat foto itu. Saya tak percaya, kawan saya menangis. 

 

Ia tak menangis saat muridnya memeluknya karena akan berpisah. Ia tak menangis ketika guru-guru mengantarnya dengan rasa kehilangan. 

 

Tapi malam itu, ia menangis. Ia menangis karena ketidakadilan, ia menangis karena harapan yang selama bertahun-tahun coba ia rawat terbang begitu saja.

 

Saya marah melihat tangis itu. Saya menganggapnya jadi urusan personal. Soal seorang teman yang hatinya remuk karena ketidakadilan. 

 

Beberapa hari setelah malam itu kami bertemu. Sorot matanya masih sama. Nada bicaranya tak turun sedikit pun. Ia masih sosok yang sama. Malam penghabisan itu boleh saja menghancurkan hatinya, tapi gagal menghancurkan api semangatnya. 

 

Kawan saya yang lain bertanya padanya, apa rencananya ke depan.

 

Ia menjawab dengan sangat tegas, “Gue mau berjuang sampai akhir, sampai gue gak bisa berjuang lagi.” 

 

Di titik itu, saya tahu saya harus membantunya. Sekecil apapun. Saya hanya bisa menulis dan berjanji dalam hati akan menuliskan kisahnya.

 

Saya mau ia tahu bahwa saya, sahabat-sahabatnya yang lain, dan ribuan orang lain mendukungnya. Saya mau ia tak menangis lagi. Saya mau harapan itu kembali lagi ke hatinya.

 

Saya mau ia dengan lantang membaca kalimat ini, “Kita belum kalah, sama sekali belum kalah!” 

 

Saya yakin setiap kita memiliki sosok kawan seperti yang saya tuliskan di sini. Yang memilih jalan berbeda, yang meninggalkan kenyamanan untuk berjuang di jalan sunyi. 

 

Saya dan kamu mungkin hanya orang-orang biasa. Yang berjibaku dengan masalah keseharian sambil berharap negeri ini selalu membaik. Selama ini, pada kawan-kawan yang berjuang di jalanlah kita menitipkan harapan. 

 

Hari ini, saya mengajakmu untuk mengontak kembali sahabatmu yang konsisten berada di jalannya.

 

Kirim pesan padanya bahwa kamu selalu bersamanya, selalu mendukung perjuangannya. 

 

Kamu mungkin tak ada di jalan, tak mendampinginya saat ia berorasi. Tapi, pesanmu adalah bukti bahwa kamu menitipkan harapan di pundak seorang sahabat. Dan itu tak kalah penting dari kehadiran fisik.  

 

Karena saya percaya ada dua hal yang tak bisa direnggut oleh para elit: harapan dan persahabatan. Hari ini, kita akan mengawal keduanya. Apapun konsekuensinya. 

 

Untuk seorang kawan, selamat turun ke jalan!

 

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: