Sidekick

Urip mung mampir ngejus

Apa yang membuat kita tetap waras saat dewasa? Karena kita pernah muda. 

 

Dua bulan ini, sepupu saya dari Solo menumpang tinggal di rumah. Ia magang dalam sebuah rumah produksi kecil di ibukota. Perawakannya tipikal mahasiswa era 90-an: Rambut gondrong keriting, tas selempang dari goni, tak ketinggalan menenteng buku-buku khas pergerakan.

 

Saat melihatnya, saya seperti berkata dalam hati, “been there”. Sayangnya, bukan itu yang terucap di mulut, yang saya katakan padanya justru nasehat-nasehat normatif. Mulai dari memintanya untuk mencukur rambut karena Jakarta panas, mengingatkan untuk tetap serius kuliah agar indeks prestasinya membaik, dan petuah-petuah lainnya.

 

Saya baru menyadari pesan-pesan saya padanya berbau ageisme. Saya merasa lebih tahu dan berhak mengarahkannya hanya karena saya pernah mengalaminya. Karena saya lebih tua.

 

Narasinya mirip dengan perkataan-perkataan, “Zaman gue dulu…tapi sekarang…” 

 

Pada pesan-pesan untuk sepupu, saya tumbuh jadi “Si Tua Yang Menyebalkan”. Dan sayangnya ageisme menyebar tak seperti cacar, ia tak terlihat.

 

Ia hadir secara malu-malu dengan dalih, “Gue lebih tahu mana yang baik karena gue lebih tua dari lo.”

 

Saya tertampar dengan fakta menyebalkan itu karena satu kejadian sederhana: Menonton film Bebas. 

 

Bagi saya Bebas bukan sekadar remake dari film populer Korea, Sunny. Bebas adalah translasi karya yang menyenangkan. Ia bisa membawa permasalahan generasi dalam konteks yang sangat Indonesia. 

 

Bebas bercerita tentang Krisdayanti (Susan Bachtiar) yang di akhir masa hidupnya ingin bertemu dengan teman-teman masa remajanya. Beruntung, secara tak sengaja ia bertemu dengan Vina Panduwinata (Marsha Timothy) di Rumah Sakit. Mereka kemudian berupaya menemukan kembali teman-teman mereka. 

 

Tak hanya bertemu secara fisik, mereka sejatinya sedang menyusun premis yang sangat manis: “Bagaimana jika kita bisa menengok kembali masa muda kita?”.

 

Mereka kemudian bertemu dengan temannya yang kesulitan secara finansial, menjadi saksi sulitnya menentukan identitas gender dalam masyarakat konservatif, berkompromi dengan pekerjaan yang membosankan, dan menengok kembali pujaan hati saat remaja. 

 

Premis itu bisa saja menjadi sangat klise, seperti memandang masa remaja dengan sangat naif atau malah menghakiminya. Namun, Bebas bisa keluar dari situ. Masa remaja ya masa remaja, titik. Ia berhasil memeluk masa remaja dengan segala kepolosannya, bukan menghardiknya. 

 

Saya rasa Bebas berhasil melakukannya karena perspektifnya yang berbeda dalam melihat remaja. 

 

Seno Gumira pernah menulis tentang Lupus dengan titik tolak yang sangat menarik. “Dalam kehidupan sosial, remaja hanyalah “belum dewasa”, maka teks semacam seri Lupus pun (hanya) menjadi ‘bacaan remaja’, sebagai bahasa sopan untuk mengatakannya belum layak sepenuhnya berperan dalam dunia manusia.” 

 

Saya setuju Seno, Remaja bukan sekadar “belum dewasa”. Ketika remaja beralih rupa menjadi belum dewasa maka jangan heran jika ageisme berkeliaran di mana-mana. Semua yang mengaku dewasa akan berhak menentukan mana yang benar dan tidak.

 

Bebas sangat beruntung punya Riri Riza. Bagi saya ia berhasil menerjemahkan perspektif Seno dalam sebuah konsep sederhana:

 

Remaja adalah sebuah periode spesifik dalam hidup manusia, bukan sekadar fase kehidupan menuju dewasa.

 

Maka, saat Bebas mengajak saya mengunjungi masa remaja, saya juga mengunjungi masa muda Riri. 

 

Jauh Sebelum Bebas, Riri bersama kompatriotnya membuat Kuldesak. Film ini lebih menarik dipandang sebagai statement perlawanan anak muda daripada sekadar gambar bergerak. Semua fragmen cerita dalam film ini seperti pernyataan tegas, “Ini generasi gue, lo mau apa?”. 

 

Pun, saat Rangga jadi idola remaja, Riri seperti ingin merombak konvensi di kalangan remaja. Ia ingin semua orang menikmati masa muda. Sekolah bukan hanya milik geng populer. Ini periode untuk semua, dari mulai anak kantin sampai yang suka sastra. Dan orang dewasa hanya bisa merusak itu semua, lihat bagaimana rumah Rangga dilempar molotov karena pertengkaran mereka yang tua. 

 

Tak ketinggalan, Yusuf dan Ambar yang bisa jadi panduan menghadapi quarter-life crisis. Keduanya sejatinya tak hanya berjalan dari Jakarta ke Jogja. Keduanya sedang merayakan masa muda di tengah gempuran tradisi orang tua. Ambar seperti jadi perwakilan generasi 2000-an saat mengatakan, “Gue takut gak jadi apa-apa.” 

 

Semua tokoh remaja Riri seperti mengamini prinsip klasik Gie, mereka yang berkutat dengan buku, pesta, cinta. Tak ada ruang bagi orang dewasa di sana.

 

Yang membedakan Bebas dengan film-film Riri sebelumnya adalah dua layer kehidupan tokoh-tokohnya. Bila sebelumnya Riri seperti membandingkan yang muda vis a vis dewasa. Kali ini, muda dan dewasa berjalan secara paralel. Melihat kenaifan masa remaja dan kompromi masa dewasa. 

 

Tentu sebagai pribadi, Riri juga menua. Maka cara pandang orang dewasa melihat masa remaja dalam film Bebas juga bisa dibaca sebagai cara Riri sebagai pekarya memandang kehidupan remaja. Dan hasilnya sangat melegakan, saya membacanya sebagai pernyataan bahwa proses menjadi dewasa tak sama dengan proses menjadi sempurna.

 

Orang dewasa sama sekali tak berhak memonopoli kebenaran. 

 

Kewarasan kita hari ini adalah karena kita pernah mengalami masa muda. Ada mimpi dan prinsip yang tertinggal di sana. Seperti kata Tan, itu kemewahan terakhir yang kita punya. 

 

Kemewahan itu yang saya bawa setelah keluar dari bioskop. Menjadi tua memang menyebalkan. Tapi, merasa yang paling benar karena lebih tua benar-benar menyebalkan. 

 

Saya ingat setelah menonton Bebas, sepupu saya mengirim pesan singkat. Ia izin meminjam buku di kamar saya. Saya sempat terpikir untuk mengarahkannya membaca buku tertentu, buku yang sesuai selera saya. Namun, kemudian saya ingat dengan geng Bebas, lantas saya membalas pesan singkatnya dengan sederhana, “Baca yang kamu suka, bebas!” 

 

Tanpa Bebas, mungkin saya akan terus terkurung dalam ageisme.

 

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: