Apa yang membuat kita merasa lebih berhak memperjuangkan sesuatu daripada yang lain?
Ini cerita tentang seorang teman. Saya akan memulainya dengan gambaran yang tipikal. Ia Tionghoa. Tinggal di Kelapa Gading. Berasal dari kelas sosial yang lebih baik daripada saya. Saya sering menyapanya dengan panggilan “Cici”. Sebuah panggilan yang juga tipikal dan merujuk pada minoritas ganda: Ras dan Gender.
Saya tak punya irisan latar belakang dengannya. Kelas, gender, ras, pergaulan, dan segala atribut keseharian kami berbeda. Maka, formula tercepat adalah memasukkannya ke dalam sebuah kantong persepsi. Konsekuensinya jelas: Stereotip.
Nasib punya jalanya sendiri, ia mempertemukan saya dengan Cici. Kami harus bekerja bersama selama satu tahun penuh.
Saat menjadi relawan pengajar, saya tinggal satu kecamatan dengan Cici. Dibandingkan enam orang relawan lainnya, lokasi kerja Cici yang paling dekat dengan saya. Jaraknya sekitar 30 menit jika ambil jalan pintas melewati hutan karet.
Cici tak bisa mengendarai motor, maka saya selalu jadi juru kemudinya jika ada tugas ke luar desa. Di perjalanan, kami sering mengobrol banyak hal. Pada interaksi itu, saya jadi lebih mengenal dirinya.
Saya tahu ia banting pilihan karier dari pengacara di firma hukum menjadi relawan pengajar. Pun, ia pertama kalinya hidup di kawasan pedesaan. Di masa awal bertugas, ia kerap mengeluh seputar makanan dan tempat tinggal.
Tipikal anak KKN yang baru pertama datang ke desa.
Pada interaksi awal, saya kerap memandangnya sebelah mata. Ia seperti kelas menengah yang sedang bervakansi melakukan kegiatan sosial. Saya merasa lebih berhak melakukan kegiatan itu karena berasal dari kelas bawah. Saya bisa merasakan keresahan warga biasa, saya tahu ketakutannya, saya paham logika berpikirnya. Daftar tersebut bisa dilanjutkan hanya karena saya punya latar belakang yang sama dengan warga.
Sebuah ekspresi jemawa yang di kemudian hari saya sadari sangat keliru.
Cici pelan-pelan menghapus stereotip itu. Ia orang yang disiplin dan tekun. Ia menyusun program dengan detail dan rapi. Darinya saya tahu, kesamaan latar belakang dan niat saja ternyata tidak cukup. Ada yang lebih penting dari itu: Konsistensi menjalani nilai yang kita yakini. Cici menampar keras perihal itu.
Dari Cici saya belajar untuk menafsirkan ulang perihal mitos “Senasib Sepenanggungan”.
Mitos itu secara tak sadar tumbuh dan terpupuk di kepala saya. Lewat beragam cerita, lewat persentuhan keseharian.
Saat masa sekolah, kita sering kali mendengar guru sejarah menjelaskan “Senasib Sepenanggungan” sebagai motif untuk melawan. Perlawanan di masa kolonial terjadi karena senasib sepenanggungan, munculnya kesadaran berorganisasi di kalangan pemuda karena semangat pembebasan yang beranjak dari perasaan senasib.
Dalam komunitas pergerakan pun saya sering dengar cerita sejenis. Seorang mentor misalnya kerap mengulang cerita perjumpaannya dengan Wiji.
Ada satu perkataan Wiji yang sering ia ulang-ulang, “Sampeyan tidak akan mengerti arti fasisme sebelum sepatu tentara nempel di jidat.”
Premisnya mirip dengan kisah Hatta saat di Boven dan Banda. Premis penceritaan biasanya tentang kesadaran Hatta yang semakin tebal untuk melawan setelah hidup bersama warga. Padahal awal-awal di Banda, Hatta juga cukup kikuk berinteraksi dan lebih banyak menghabiskan waktu membaca buku.
Tentu saya menaruh hormat setinggi-tingginya untuk Wiji dan Hatta.
Yang menarik adalah bagaimana cerita-cerita pengalaman dan persentuhan dengan warga dikemas. Ada satu benang merah pada model penceritaan seperti itu. Bahwa pengalaman dan persentuhan langsung menjadi titik tolak untuk bergerak. Tentu itu penting, tapi hidup bersama saja tak cukup.
Poinnya adalah bagaimana para tokoh tersebut bisa membangun pemikiran konstruktif atas pengalaman keseharian. Pengalaman tersebut melampaui interaksi, ini bukan sekadar senasib sepenanggungan tapi soal bagaimana interaksi keseharian berhasil direfleksikan.
Sayang, setidaknya yang dulu pernah saya alami, sering kali persepsi yang muncul adalah pengalaman dan persentuhan tersebut jadi poin utamanya. Ia menjelma jadi hak istimewa orang-orang yang punya latar belakang sama.
Seperti sebuah pernyataan, “Saya bagian dari komunitas ini dan hanya kami yang berhak berjuang.”
Sikap-sikap melanggengkan eksklusivitas bisa datang dari mana saja. Ia bukan monopoli kelas atas, pun kelas bawah juga bisa melanggengkannya. Ya, egoisme bergentayangan di mana-mana.
Cici berperan besar untuk menekankan pentingnya inklusivitas. Ia menyadarkan saya bahwa yang lebih penting jangan-jangan bukan kesamaan latar belakang tapi kesamaan nilai di masa depan.
Lama sekali saya tak bertemu Cici. Di bulan ini, ia akan studi ke luar selama beberapa tahun. Saya tahu ia orang yang terencana, saya yakin pendidikannya akan jadi modal penting bagi langkahnya ke depan. Saya berharap ke mana pun melangkah, ia masih memegang nilai yang sama.
Selamat belajar Ci, terima kasih sudah mengajarkan bahwa setiap orang berhak memperjuangkan nilai yang dipercaya. Tak peduli apa pun latar belakangnya.