Sidekick

Urip mung mampir ngejus

WhatsApp Image 2020-02-01 at 13.05.26

Tentang mereka yang hadir di kepala saat Konser Efek Rumah Kaca. 

 

Tepat ketika memasuki M-Bloc, saya melihat sosoknya. Ia yang menyita perhatian publik beberapa bulan lalu. Aparat sempat menahannya beberapa jam entah dengan alasan apa. Sejatinya ia tak layak ditahan, ia hanya mendukung upaya-upaya mahasiswa dan masyarakat sipil untuk merawat reformasi. 

 

Sejak penahanan itu, kami belum pernah bertemu lagi. Kami hanya bisa mencoba menebak kabar masing-masing. Malam itu, rasa penasaran kami terbalas. 

 

Kami melepas rindu dengan bertukar kabar. Ia bercerita pengalamannya menjalani momen sulit itu. Pun, menanyakan keadaan saya pada saat kejadian. Ia takut saya dan teman-teman ikut menerima konsekuensi akibat penahanannya. Beberapa kali ia mengeluarkan ekspresi merasa bersalah. Sebuah ekspresi yang sebenarnya sama sekali tak perlu. Selain karena saya dan teman-teman baik-baik saja, kami juga seratus persen mendukungnya. 

 

Sambil mengobrol, saya memandangnya lamat-lamat. Ia jauh dari stereotip lawas aktivis.

 

Pakaiannya kemeja lengan panjang warna merah marun. Bawahannya celana hitam formal dengan sepatu kasual. Rambutnya sebahu dengan cukuran rapi. Gestur dan ekspresinya kikuk. Ia lebih mirip pegawai kantoran alih-alih tipikal orang vokal.

 

Satu yang pasti ia hanya orang biasa. Pun, obrolan dengannya membawa pikiran saya pada orang biasa lainnya. 

 

Sekitar sebulan lalu, saya bertemu seorang ibu dalam sebuah kios buku dan kopi di bilangan Lebak Bulus. Kami baru pertama kali berkenalan tatap muka. Sebelumnya, kami hanya pernah berinteraksi via aplikasi pengirim pesan. Ia ikut membantu menyediakan makanan bagi para mahasiswa yang turun ke jalan. Motifnya sederhana, ia hanya ingin membantu. Dan bantuan yang bisa ia lakukan cuma itu. 

 

Ia bercerita momen pertamanya bertemu kawan kami pasca ditahan. “Waktu pertama kali ketemu, aku meluk dia kenceng banget. Aku langsung nangis.”

 

Bulu kuduk saya merinding mendengar itu. Seorang ibu yang tak kebal rasa takut, memberanikan diri memberi makan demonstran. Ia tentu tahu konsekuensinya. Ketika salah satu teman kami menerima konsekuensi tersebut, ia hanya bisa menangis. Dalam momen itu, menangis sama sekali bukan simbol kelemahan.

 

Menangis justru ekspresi yang sangat kompleks atas kemarahan dan ketakutan. Karena hanya itu yang bisa dilakukan sebagai orang biasa. 

 

Di sepanjang konser, ibu itu ada di atas panggung Efek Rumah Kaca (ERK). Ia tak hanya menemani Cholil bernyanyi, tak hanya menjadi suara latar, ia adalah suara itu sendiri. 

 

Suara itu bukan lagi suara perlawanan. Dengan beragam kekecewaan pada penyelenggara negara, suara itu semacam suara terakhir untuk terus merawat apa-apa yang kita anggap ideal. 

 

Di konser itu pula saya memandang sekeliling. Saya mengenal beberapa yang hadir. Teman-teman yang tak lelah memupuk asa di beragam bidang. Saya menduga, konser ini jadi semacam korek untuk terus menyulut suara itu.

 

Sepanjang sesi pertama konser, ERK menyanyikan beberapa nomor Sinestesia secara medley.

 

Saat mereka mengubah beberapa bagian lirik dalam nomor Sinestesia dengan koor massal “#ReformasiDikorupsi”, saya tak kuat menahan air mata.

 

Pikiran saya melayang ke Gedung di Pojok Kuningan. Tempat sahabat saya bekerja. Ia yang begitu saya hormati karena prinsipnya. Saya takut ia sekarang sendirian.

 

Dulu, tiap kali lewat Kuningan saya selalu menengok gedung itu. Bagi saya ia semacam pelipur lara atas segala kekecewaan pada penyelenggara negara. Satu-satunya harapan yang tersisa. 

 

Kini, upaya teman yang sempat ditahan dan seorang ibu yang memberi makan demonstran demi merawat taji gedung itu menguap begitu saja. Gedung itu jadi sebuah ironi, tentang harapan yang hilang dengan begitu cepatnya.

 

Sekarang, tiap lewat gedung itu, saya hanya bisa membatin, “Terus siapa lagi yang bisa dipercaya?” 

 

Semua kekecewaan itu terus menyeruak di konser ERK. Menjadi semacam eskapis. Tak semua band bisa menjadi wadah eskapis. ERK berhasil menyalurkannya karena mereka tahu betul bagaimana tetap menyuarakan semangat khalayak tanpa perlu menarik garis batas. Mereka bukan menjadikan orang-orang biasa sebagai komoditi, mereka adalah bagian darinya. Itu kenapa setidaknya saya merasa terwakili. 

 

Lima tahun lalu, saya juga merasakannya. Narasi orang biasa yang hadir untuk jadi penyelenggara negara. Yang menggaungkan narasi “Adalah Kita” sebagai jualan utama. Dulu, harapan itu terasa begitu dekat. Kini, narasi itu hancur lebur.

 

Sebuah ironi, ia yang hadir dari semangat komunal, kini jadi bagian elit yang mencederai janji.

 

Mungkin sebagai orang biasa, selamanya kita akan jadi ironi dalam sejarah. Seperti Sarinah, seorang kecil yang selalu dijadikan modal narasi. 

 

Sarinah adalah pengasuh masa kecil Bung Karno. Bung Besar itu kemudian menjadikan namanya sebagai pusat perbelanjaan (mal) pertama di Indonesia.

 

Saat membuka Sarinah, Sukarno punya misi untuk mengontrol harga pasar. Pikirnya, dengan menyatukan para pedagang di satu tempat maka harga akan terkontrol.

 

Secara lantang ia mengatakan, “Sarinah adalah instrumen sosialisme!” 

 

Karno memilih nama Sarinah sebagai ikon rakyat kecil yang selalu mengingatkannya untuk selalu setia pada yang lemah. Sebenarnya Bung Karno hanya sedang menjadi dirinya, personifikasi Sarinah tak jauh beda seperti Marhaen sang petani.

 

Nyatanya Sarinah juga jadi bagian dari proyek mercusuar. Kala itu, harga tetap tak terkendali. Inflasi membumbung tinggi. Yang paling ironis, kini konsep mal tentu saja jauh dari instrumen sosialisme. Beralih rupa jadi surga belanja dalam budaya konsumtif. Dan Sarinah hanya hidup sebagai narasi, tak lebih. 

 

Kita semua mungkin adalah bentuk lain Sarinah. Yang hanya jadi bagian narasi lalu tinggal tunggu waktu untuk dikhianati. 

 

Sarinah, teman yang ditahan aparat, ibu yang memberi makan demonstran, dan sahabat di Pojok Kuningan terus hadir di kepala saya saat Konser ERK.

 

Rasanya menonton ERK malam itu jauh melampaui pengalaman musikal. Ia sebuah refleksi atas kondisi saat ini. Kondisi yang lebih tepat digambarkan dengan satu tarikan napas panjang daripada rangkaian kata. 

 

Malam itu ERK menjadi pengingat. Kita mungkin sedang lelah, sedang kalah. Tapi, malam itu, saya semakin percaya kekuatan orang-orang biasa. Entah pada seorang kawan, entah pada seorang ibu, yang jelas harap itu tak akan hadir dari para pembesar. 

 

Hari-hari ini harapan justru hadir dari usaha kecil orang-orang biasa. Dan konser ERK adalah perayaan manis akan usaha-usaha kecil itu. 

 

 

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: