Sidekick

Urip mung mampir ngejus

Ia yang tak pernah lulus sekolah, tapi mengajari saya semua hal yang tak diajarkan di sekolah. Ia yang melahirkan saya. 

 

“Ting…ting…ting,” suara sendok beradu dengan mangkuk sering saya dengar tiap tengah malam. Suaranya tak kencang, tapi selalu terngiang. Suara itu berasal dari tukang sekoteng keliling yang lewat di depan kos saya. 

 

Kamar saya berada di pojok lantai teratas. Desibel suaranya masih terdengar dengan minim. Saya selalu berhenti bekerja setiap mendengar itu.

 

Bagi saya ia seperti alarm yang jauh, sebuah pengingat dari masa lalu. 

 

Setelah menikah, saya tinggal dengan pasangan di kos. Kami berdua bekerja di perusahaan rintisan berbasis teknologi. Setiap hari kami bekerja di depan layar. Menyelesaikan kerja-kerja berbasis daring. 

 

Pekerjaan daring menjauhkan saya dari apa yang terjadi di lapangan. Bekerja dalam medium daring membuat jurang yang begitu besar dengan mereka yang berjuang di lapangan.

 

Jarak itu terasa begitu menyakitkan karena saya lahir dari rahim kalangan itu. Dari peluh keringat di pasar, dari kejamnya kehidupan kaki lima, dan dari mereka yang kerap hanya dijadikan statistik oleh pemerintah. 

 

Suara sekoteng di tengah malam adalah obat atas kerinduan itu. Ia seperti pengingat dari mana saya berasal. Ironisnya, saya tak pernah membeli sekoteng itu. Tentu dengan banyak alasan. Tapi ada satu alasan yang saya takut jika itu sebuah kebenaran: Saya takut berhadapan dengan diri saya yang dulu. 

 

Sekoteng itu mengingatkan saya pada ibu. Dua bulan lebih saya memutuskan tak bertemu ibu.

 

Usianya sudah lebih dari separuh abad dan saya berada di zona merah, saya tak mau ambil risiko. Tidak bertemu adalah cara terbaik menyatakan rasa sayang. 

 

Dari pesan WhatsApp, ibu bercerita sudah dua bulan tokonya tutup. Pintu pasar disegel.

 

Ia sosok yang jarang mengeluh, tapi satu ketika ia mengirim pesan, “Di rumah aja jenuh, gak ada pemasukan.”

 

Sebelum menikah, setiap minggu saya mengurus toko ibu. Saya belajar ada perbedaan besar antara menjadi orang pasar dan bekerja. Kehidupan orang-orang pasar berkutat di pasar. Orang pasar tak membedakan ruang privat dan ruang kerja. Tak seperti orang kantoran yang menarik garis batas jelas. Orang pasar hanya punya satu kehidupan. Dan kehidupan itu adalah tokonya, kaki limanya, dagangannya. Kehidupannya adalah pasar.

 

Maka, ketika aktivitas pasar berhenti, konsekuensinya kehidupan menjadi berbeda 180 derajat. Ini bukan hanya soal pemasukan tapi juga kehidupan dan interaksi sosial yang terenggut. 

 

Tentu ini tak serta merta dibaca sebagai upaya untuk menormalisasi kembali aktivitas. Untuk menyegerakan ekonomi.

 

Pengambilan kesimpulan tersebut hanya menunjukkan satu hal: Miskinnya sudut pandang.

 

Ibu saya memang tak pernah lulus sekolah. Ia selalu mengaku lulus SMP agar saya tidak malu, tapi sejujurnya saya tak pernah malu punya ibu yang tak lulus sekolah.

 

Para tuan dan puan di atas sana jadi bukti tingginya sekolah tak berjalan beriringan dengan empati dan kecerdikan. Justru ibu yang mengajari saya dua hal itu.

 

Di tengah pandemi, ibu bersiasat menjual celana melalui status WhatsApp. Ibu berkolaborasi dengan kakak saya yang juga memilih jadi orang pasar untuk berjualan melalui WhatsApp. Hasilnya tak seberapa tapi ia mencerminkan satu hal: Bersiasat! 

 

Dulu, saat bapak terkena imbas krisis moneter 98 sehingga tak lagi bisa bekerja, ibu memulai siasatnya. Ia membuka celengannya demi menjalankan konveksi kecil-kecilan dan menjajakan baju-baju adat ke Tanah Abang. Saya yang ketika itu masih kecil diajak ibu menjajakan baju di kaki lima Tanah Abang. Penolakan dan diremehkan jadi makanannya sehari-hari. Tapi ia tak menyerah, ia terus bersiasat.

 

Kata kuncinya: Siasat. 

 

Nuansa itu yang tak pernah hadir dari para tuan dan puan yang berkuasa. Setiap hari saya melihat ibu bersiasat, orang pasar bersiasat, publik bersiasat, masyarakat sipil bersiasat, tapi saya tak melihat siasat itu dari yang di atas sana.

 

Pun, ketika ada siasat dari mereka yang bertanggung jawab, maka nuansa yang hadir seperti sebuah larik puisi Rendra: 

 

“Lantas, maksud baik saudara untuk siapa?” 

 

Pada ibu, teman-teman pedagang kaki lima, dan solidaritas publik lainnya, saya belajar sudut pandang baru. Selama ini masyarakat biasa kerap dianggap hanya sebagai objek semata. Objek penerima kebijakan, objek statistik, dan rentetan objek lainnya. Yang statis. 

 

Sementara, mereka yang berkuasa jadi subjek yang seakan-akan bergerak dan melakukan sesuatu.

 

Pandemi ini mengubah itu semua, kita yang bersiasat adalah subjek yang mandiri. Individu-individu merdeka yang bisa mengambil jalan sendiri, bisa mengkritik, bisa melawan, bisa menggugat. Kita bukan sekadar objek, bukan sekadar angka statistik yang dibacakan tiap sore oleh jubir yang sudah kehabisan kata-kata. 

 

Saya jadi ingat sebuah esai Seno Gumira. Ia pernah menyindir orang-orang yang berupaya dianggap berbudaya dengan datang ke Art Summit atau galeri seni nan adi luhung. Padahal, kita bisa menjadi berbudaya cukup dengan mendengarkan pedagang keliling di depan rumah. Bukan objek yang dilihat yang penting, tapi subjek yang melihatnya.

 

Mungkin mereka yang di atas sana seperti sosok dalam gambaran Seno. Yang menganggap dirinya lebih hebat dan berbudaya. Nyatanya, mereka hanyalah para pretensius. Yang gagal melihat budaya dan siasat dari yang kecil. Yang melupakan tukang sekoteng di tengah malam. 

 

Sayang, malam ini saya belum mendengar suara tukang sekoteng. Tapi, malam ini saya tak perlu tukang sekoteng untuk mengingat ibu. Karena ibu baru saja berulang tahun.

 

Selamat ulang tahun Bu, terima kasih telah mengajari untuk terus bersiasat. 

 

 

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: