Apa jadinya jika bahasa hanya dirayakan dalam koridor baku dan tidak baku?
Tiap hari besar, beberapa rekan sering bertanya mengenai penulisan kata yang tepat untuk momen tersebut. Misalnya, di momen jelang lebaran, pertanyaan yang sering muncul adalah, “Nulisnya Idulfitri atau Idul Fitri ya?”.
Mungkin banyak kalangan jurnalis atau penulis wara yang berhadapan dengan pertanyaan tersebut. Tulisan ini adalah sebuah upaya untuk bercerita dan menyampaikan keresahan saya tentang momen-momen seperti itu.
Penafian: Tulisan ini tidak bertendensi menjawab pertanyaan dalam koridor “benar” dan “salah”.
Dalam konteks penulisan yang baku, sudah jelas jawabannya adalah Idulfitri. Sudah gamblang, penulisan Idulfitri (tanpa spasi dengan “f” kecil) terdaftar di KBBI. Penulisan itu dinyatakan baku karena KBBI V merujuk ke buku Bahasa Arab dalam Bahasa Indonesia karangan Gaffar Ruskhan.
Sederhananya, Idulfitri ditulis serangkai karena kaidah dalam bahasa Arab demikian. Hal ini juga berlaku dalam penulisan Iduladha yang baku. Saya bukan ahli bahasa Arab sehingga kurang tepat jika membahas detail perihal itu.
Pertanyaannya kemudian, apakah semua orang harus menggunakan Idulfitri? Lantas, apakah yang memakai Idul Fitri berarti salah dan tidak pintar berbahasa?
Bagi saya, jawabnya tidak!
Bahasa Indonesia mengenal istilah selingkung. Kata “selingkung” berakar dari “lingkung” yang berarti hanya dipakai atau terbatas pada lingkungan/komunitas tertentu. Bahasa selingkung berarti bahasa yang digunakan oleh komunitas tertentu karena alasan atau tujuan tertentu.
Menariknya, Kompas dan Tempo menggunakan selingkung untuk penulisan Idul Fitri (dengan spasi dan “F” kapital).
Contoh lain yang menggunakan selingkung Idul Fitri adalah Gojek. Dalam notifikasi instan (pushnotif) yang dikirim ke penggunanya, Gojek memilih menggunakan Idul Fitri bukan Idulfitri.
Apakah bisa dikatakan jurnalis di media tersebut dan penulis wara di Gojek tidak pandai berbahasa? Sama sekali tidak!
Saya yakin mereka punya alasan kuat menggunakan kata Idul Fitri. Ini hanya dugaan saya, senang sekali jika ada rekan di Kompas atau Tempo yang bisa menanggapi.
Kompas punya sejarah panjang dengan komunitas Muslim. Maka, Kompas memilih menggunakan kata bahasa Arab yang lebih dekat dengan kultur Indonesia. Misalnya, Kompas memilih menggunakan kata-kata berikut ini: Idul Fitri, ramadhan, maghrib, Al Quran, dan shalat. Sila cek KBBI maka semua istilah yang dipakai Kompas tersebut masuk dalam kategori tidak baku.
Namun, Kompas dengan sadar memilih itu karena secara kultur, kata itu lebih dekat dengan komunitas Muslim di Indonesia.
Tempo memilih menggunakan Idul Fitri. Dari hasil penelusuran, saya menemukan cuitan menarik terkait ini. Uu Suhadi, koordinator redaksi bahasa di Tempo, mencuit perihal ini.
Ia mengatakan: Berat rasanya mengecilkan “F” pada Fitri.
Interpretasi saya, kata “Fitri” berarti begitu penting bagi Tempo, ia menyatakan kesucian dan bentuk penghargaan kepada komunitas Muslim. Namun, Tempo juga menghormati bahasa Arab, mereka tak menulis “Selamat Hari Raya Idul Fitri”, mereka hanya menulis “Selamat Idul Fitri”. Hal itu dilakukan karena “id” sudah berarti Hari Raya.
Dugaan saya, Gojek juga memilih menggunakan Idul Fitri karena mereka menganut gaya komunikasi yang kasual. Dengan menggunakan kata tersebut, maka penggunanya akan merasa lebih nyaman.
Pertanyaan selanjutnya, dari mana kita tahu bahwa Idul Fitri lebih dekat dengan kultur Indonesia? Dan bukankah kultur bisa diubah?
Setidaknya ada beberapa alasan kenapa Idul Fitri lebih dekat dengan kultur masyarakat Indonesia. Saya akan ajukan dua alasan di sini.
Pertama, mari kita ingat bahwa Indonesia merdeka di bulan Ramadhan (kata Ramadhan juga bahasa selingkung). Momen Bulan Ramadhan dan Lebaran jadi begitu spesial dalam konteks nasional. Maka, kita bisa tarik ke belakang, apa yang terjadi pada saat 1 Syawal di tahun 1945?
Media yang hidup di zaman kemerdekaan seperti Asia-Raya menggunakan kata Idul Fitri (ditulis terpisah dengan “F” besar). Itu jadi bukti kecil, media massa lebih lekat dengan penulisan Idul Fitri sejak awal kemerdekaan.
Kedua, tema Idul Fitri sangat dekat dengan sastra Indonesia. Umar Kayam banyak menulis tentang tema Idul Fitri. Salah satu cerpen lebarannya yang legendaris berjudul “Mbok Jah”. Dalam cerpen tersebut dan beberapa cerpen lainnya, Umar Kayam menulis Idul Fitri secara konsisten di sepanjang cerpennya.
Yang menarik, dalam hitungan kasar saya, Umar Kayam lebih banyak menggunakan kata Lebaran alih-alih Idul Fitri.
Sejak lama, Idul Fitri telah digunakan dalam kultur masyarakat kita. Budaya memang bisa berubah, tapi jelas butuh waktu lama untuk mengubahnya. Dan kadang saya bertanya-tanya, untuk apa mengubahnya jika bahasa tersebut sudah jadi bagian integral dari budaya masyarakat?
Mari mengambil jarak dan lihat dalam perspektif yang lebih luas.
Bahasa perlu dipandang secara kontekstual. Kontekstual berarti tak bertendensi menjawab pertanyaan “Mana yang benar dan salah?”, kontekstual berarti menjawab pertanyaan, “Mana yang relevan dan tidak?”.
Relevansi dalam bahasa bisa dilihat setidaknya dalam beberapa aspek, antara lain: Konten (apa isi dan tujuan pesannya), metode (saluran/media apa yang akan digunakan), siapa (individu/komunitas apa yang akan menerima pesan itu), dan waktu (kapan pesan tersebut disampaikan).
Dari beberapa aspek tersebut, barulah bisa ditentukan mana penulisan kata yang tepat dalam konteks tertentu.
Tapi, bukankah kita harus tertib bahasa sesuai kamus? Tidak juga!
Mengetahui yang baku dan tekstual itu penting, sangat penting bahkan. Itu fondasi dasar. Namun, fondasi itu perlu kita ketahui sebagai sebuah landasan berpikir bukan kiblat yang tak bisa diubah.
Tertib bahasa saya rasa adalah buah dari pendekatan pengajaran/sosialisasi bahasa di sekolah dan lembaga pemerintah yang jauh dari kata ideal. Setiap ada momen besar seperti Idul Fitri, yang kerap digaungkan oleh pemerintah adalah tipe komunikasi seperti ini: Penulisan yang benar Idulfitri, bukan Idul Fitri.
Bahasa menjadi begitu statis, kaku. Bahasa berubah jadi dogma yang harus diikuti. Padahal, bahasa adalah alat, ia digunakan untuk mencapai tujuan.
Dalam istilah guru bahasa Indonesia saya dulu, bahasa adalah alat untuk berbagi nilai dan pengetahuan. Dan pengetahuan harus didemokratisasi, bukan diubah menjadi dogma benar dan salah.
Yang perlu didorong adalah diskursus bahasa yang kontekstual, bukan sekadar tektual. Sehingga kita semua bisa menjadikan bahasa sebagai alat untuk menyampaikan nilai-nilai yang kita percayai. Bukan sekadar tunduk pada bahasa baku dan tidak berpikir secara literal kenapa kita harus tunduk pada bahasa itu?
Saya selalu percaya bahasa adalah pikiran. Tak ada pikiran di luar bahasa.
Bentuk pengajaran bahasa yang sekadar tekstual adalah cerminan pikiran yang tak memberi ruang pada diskursus.
Momen Idul Fitri adalah momen yang tepat untuk membuka ruang-ruang itu. Karena (semoga) setiap dari kita akan kembali suci, terlahir kembali.
Seperti seorang bayi yang terbata mengeja kata, Idul Fitri adalah momen tepat bagi kita untuk mengeja kembali makna bahasa di kehidupan kita sehari-hari. Sudahkah kita berbahasa untuk berbagi nilai? Atau sekadar membungkam yang berbeda dengan kita?
Selamat Idul Fitri, mohon maaf untuk yang memakai Idulfitri, kali ini kita berbeda jalan.
Dan berbeda jalan itu indah, karena bahasa yang berbeda adalah sebuah kekayaan, bukan pelanggaran.