Sidekick

Urip mung mampir ngejus

Mengapa desa kerap dianggap jadi pelarian dari kebisingan? Jangan-jangan kita adalah kebisingan itu sendiri.


Saya kaget melihat respon tukang parkir di Klaten yang menolak diberi uang. Saat itu, saya dan pasangan membungkus soto untuk dibawa pulang. Saat saya berikan lembaran dua ribu, ia dengan sopan menolak, “Mboten sah, Mas. Digowo mawon.”

Usut punya usut, saya dan pasangan baru tahu pembeli yang membungkus makanan tidak perlu membayar parkir. Tarif parkir hanya berlaku untuk mereka yang makan di tempat. Ini hal lazim atau dalam bahasa sekolahan, semacam kearifan lokal. Sialnya, saya tetap saja kaget. Tentu perilaku juru parkir itu hal yang aneh jika dibandingkan dengan tukang parkir di kota yang lebih senang menagih alih-alih membantu orang memarkir kendaraan.
 

Kejadian mirip muncul saat saya ingin memberi tip bagi ojek daring yang mengantarkan pesanan makanan di Bantul. Kondisi sudah larut, lokasi saya jauh dari kota Jogja, dan gerai makanan yang saya pesan tak bisa dibilang dekat. Namun, ojek daring itu menolak dengan halus tip yang saya berikan. Setelah saya paksa, ia baru mau menerimanya.
 

Dua kejadian itu membawa saya pada banyak pertanyaan. Mulai dari kenapa logika keuntungan ekonomi tak jadi landasan berpikir? Apa yang menyebabkan keduanya berperilaku seperti itu? Dan banyak pertanyaan lainnya.

Bagi saya, momen itu menarik bukan hanya karena berbeda dengan pengalaman keseharian yang sering saya alami. Yang juga membuat saya penasaran adalah kenapa dua momen itu saya anggap menarik?
 

Rasanya keduanya menarik karena latar belakang saya. Sehari-hari, saya hidup dalam masyarakat urban. Konsekuensinya, saya kerap kali memandang yang di desa secara berjarak. Sebagai sesuatu yang lain, yang tak biasa. Dua kejadian itu bisa jadi ditarik menjadi kesimpulan prematur semacam, “Warga desa itu polos, nrimo banget.”

Sering kali, desa dianggap jadi sesuatu yang sangat “orisinil”. Entitas yang statis dan tenang.


Sayangnya, pandangan itu kemudian menempatkan warga dan komunitas di dalamnya layaknya dalam ruang hampa. Kita melupakan interaksi dan dinamika dalam kehidupan warga desa. Efek pandangan semacam ini jelas bukan memunculkan solidaritas atas dasar mendengarkan melainkan intervensi yang asalnya dari posisi tak setara.
 

Wajar jika kemudian kerap kita dengar jargon-jargon khas pembangunan seperti desa perlu diberdayakan, perlu dibangun, perlu digerakkan. Dan beragam perlu bla bla bla lainnya yang kesannya bermaksud baik.
 

Sayangnya, mengutip Rendra, “Maksud baik tidak selalu berguna.”


Intervensi dan bias itu sangat terlihat dalam obrolan saya dengan seorang pengemudi taksi daring di Jogja. Supir taksi daring itu memiliki kerja sampingan sebagai pemandu wisata. Di belakang kursi kemudinya ia menempelkan poster kecil tentang portofolionya. Selain akun instagram dan nomor kontak, poster itu juga menjejerkan banyak foto tempat wisata di kota gudeg.
 

Ada satu benang merah dalam setiap fotonya. Foto-fotonya menampilkan sebuah lokasi yang memang ditujukan untuk spot foto. Intervensi tangan manusia terasa betul dalam setiap bangunan spot foto tersebut.

Saat mengobrol, supir taksi itu mengeluarkan sebuah ucapan yang menurut saya menggelitik, “Dulu nganterin orang ke pantai buat main pasir sama berenang. Sekarang, nganter orang ke pantai buat foto-foto. Selesai dari pantai tetap kering.”


Ucapan pengemudi itu layaknya antropolog. Sederhana dan dalam.
 

Pengamatannya sekaligus mengingatkan saya pada tulisan Nurhady Sirimorok tentang tren foto instagram di hutan pinus. Budaya folk mencuat beberapa tahun ke belakang, salah satu turunannya adalah berpose di hutan atau perkebunan. Hutan pinus adalah surga bagi para remaja urban untuk berfoto-foto. Menjadi lokasi yang apik dan instagramable. Namun, ia menyimpan satu ironi.
 

Hutan pinus punya karakter yang merugikan warga sekitar. Pinus bersifat menghentikan dan menyerap air hujan sehingga warga kesulitan mendapatkan akses air. Tanaman lain sulit tumbuh di sekitar pinus. Makin lengkap keresahan warga sekitar karena pertumbuhan pohon pinus sangat cepat.
 

Visual “indah” di instagram menjadi petaka bagi warga sekitar. Sebuah ironi karena folk dalam sejarahnya dekat dengan kesenian dan kegelisahan warga. Bukan sekadar foto-foto hijau yang tidak autentik.

Rasanya semangat dokumentasi di tempat wisata semacam itu beranjak dari premis sederhana, “Saya pernah berada di sana.” Semangat “I was there” sangat kental dalam tiap dokumentasi. Pantai, gunung, dan beragam lokasi di desa menjadi semacam daerah penaklukkan, menjadi sekadar latar belakang. Ibarat seorang yang sedang berfoto studio dengan latar belakang pemandangan alam.
 

Idealnya, bukan semangat “Saya berada di sana” yang mencuat melainkan, “Warga dan alam di sana membuat saya memahami bahwa…”


Saya merefleksikan itu dalam perjalanan pulang kampung beberapa waktu lalu. Saya bertanya lagi tentang bagaimana saya perlu memandang kampung halaman, melihat desa, menghargai warganya. Saya jengah dengan perspektif sebuah daerah yang dibangun hanya untuk kepentingan wisatawan. Ada begitu banyak yang dikorbankan bagi daerah yang berorientasi pada wisatawan. Pembangunan tanpa melibatkan dialog dengan warga, perspektif wisata yang banal, dan pelanggengan cara memandang desa yang bias kota.
 

Setiap daerah perlu menjadi tuan rumah bagi warganya sendiri. Berpihak pada warganya.
 

Maka, saya hanya bisa menarik napas ketika pengemudi taksi daring bercerita ada beberapa pantai lagi yang sedang membangun spot foto dan kafe. Ia mengatakan, “Udah jadi standarnya begitu, Mas.”
 

Tentu hal seperti itu membawa pengaruh ekonomi. Pun, koridornya bukan benar atau salah.
 

Yang menjadi ironi adalah ketika selera dan perspektif kota seperti mendikte apa yang perlu dilakukan oleh desa. Kota seperti menjadi sentral sementara desa sekadar menjadi pelarian.
 

Saya membayangkan dua atau tiga tahun lagi, spot itu sudah dibuat. Yang dari kota berpose di sana. Terekam jadi visual yang beku. Dan desa sekali lagi sekadar menjadi latarnya.

Categories: Uncategorized

3 thoughts on “Banyak Pose di Sana

  1. Bendrat says:

    Akhirnya keluar juga tulsan barunya, Mas. Hehe. Selalu menunggu tulisan-tulisan baru sampeyan.

    Aku juga punya pengalaman tentang keindahan alam desa. Dulu seringkali ketika melihat padi yang sedang menghijau di sawah, aku langsung mendesis, “Wapiiik!”

    Sampai aku tersadar, para petani itu berjibaku tiap hari menggarap sawahnya, merawat tanamannya. Menjaganya dari serangan hama dan menghadapi kenyataan bahwa hasil panennya kerap kali merugi bila benar-benar dihitung dengan rinci.

    Sampai aku juga tersadar bahwa bapakku sendiri juga petani dan mengalami hal yang sama pula.

    Liked by 1 person

  2. temukonco says:

    Halooo…

    Dirimu adalah salah satu dari 11 blogger yang saya beri Liebster Award ya… Info selengkapnya silakan simak di https://temukonco.com/liebster-award-untuk-mengawali-2021/

    Terima kasiiih…

    Liked by 1 person

  3. nugrahapepe says:

    Wisata sebagai sumber ekonomi memang ironi,

    “katanya” untuk menaikkan ekonomi warga desa,

    “katanya” harus sejajar dg wara kota,

    “katanya” supaya bisa beli mobil, rumah bagus, pengobatan terbaik, sekolah terbaik.

    Tapi itu sebenernya “kata siapa”?

    Liked by 1 person

Leave a comment