Sidekick

Urip mung mampir ngejus

Cerita memilih pasangan sering dianggap sebagai sesuatu yang picisan. Padahal konteks yang melingkupinya kaya dengan cerita. 

 

Salah satu pekerjaan yang membuat saya banyak belajar adalah saat menjadi penulis kontak jodoh daring (online dating). Pekerjaan itu sebenarnya sederhana, saya menulis tips dalam menjalin hubungan dan menarasikan hasil tes kepribadian seseorang yang ingin mencari pasangan. Narasi tes kepribadian selama ini sangat kering, berkolaborasi dengan psikolog, saya menarasikannya agar lebih enak dibaca.

 

Dua pekerjaan tersebut terkesan simpel. Tapi ada banyak wawasan yang saya dapatkan dari sana. Jika wawasan itu diperas, bunyinya kira-kira begini: Cara memilih pasangan bukan sekadar urusan hati, melainkan bisa jadi gambaran kondisi masyarakat. 

 

Untuk memberi konteks, saya akan gambarkan terlebih dahulu sistem kontak jodoh daring tempat saya bekerja. Berbeda dengan Tinder yang prosesnya cepat, platform tempat saya dulu bekerja menawarkan potensi hubungan yang lebih serius. Konsekuensinya, orang akan mengisi lebih dari 120 pertanyaan. Pertanyaan tersebut terdiri dari tes kepribadian dan orientasi pasangan yang diinginkan. Setelah selesai, pendaftar akan mendapat rekomendasi pasangan yang potensial cocok dengan dirinya.

 

Yang patut diingat, “cocok” bukanlah formula yang jatuh dari langit. Kata itu sebuah penyederhanaan dari beragam aspek kultur dan kondisi sosial dua anak manusia.

 

Kesadaran bahwa “cocok” tak terjadi begitu saja membuat saya mengulik lebih dalam mengenai hal itu. Saya penasaran, apa peran kontak jodoh daring dalam proses kecocokan laki-laki dan perempuan? Saya iseng menjadikan pengamatan ini sebagai tugas akhir studi saya.

 

Saya menikmati pengamatan tersebut karena menemukan fakta-fakta unik yang membuat saya berefleksi tentang dinamika masyarakat urban. 

 

Mari memulainya dari aspek sejarah. Sampai sekitar dekade 70-an, pola hubungan pasangan banyak berbasis kedekatan geografis. Orang cenderung mencari pasangan dan menjalin hubungan dengan seseorang yang lokasinya dekat. Alasannya sederhana: Mobilitas yang masih terbatas dan demografis sebuah kawasan cenderung homogen.

 

Pertumbuhan ekonomi dan gentrifikasi kemudian mengubah pola interaksi manusia. Kampung malih rupa menjadi kawasan urban baru, kelas menengah pun bermunculan di kampung kota. 

 

Sebagai ilustrasi sederhana, bisa jadi di sebuah kawasan ada sarjana perempuan kelas menengah yang indekos agar dekat dengan kantor. Sementara di samping kosnya, ada pemuda tak lulus SMA yang kerjanya hanya main burung perkutut setiap pagi. Ada jarak yang besar antar keduanya. Jarak pemikiran, jarak sosial, dan tentu gaya hidup. Maka, jika dulu sebuah kawasan dihuni oleh kelas yang homogen, gentrifikasi mengacaukan pola tersebut. 

 

Apa konsekuensinya pada pencarian pasangan? Faktor geografis tak lagi relevan sebagai acuan untuk mencari pasangan.

 

Relasi kita bergeser dari kedekatan geografis menjadi kedekatan ekonomi dan kelas. Bisa jadi si perempuan kelas menengah itu akan menjalin hubungan dengan teman kantor yang jarak rumahnya puluhan kilometer. Atau menjadikan teman kampusnya yang tinggal di kota lain sebagai pasangan. Bukan dengan tetangga samping kosnya yang suka main burung perkutut.

 

Ketika faktor geografis tak lagi menjadi rujukan, maka solusi mencari pasangan adalah melampaui faktor lokasi.

 

Sayangnya, tak semua orang bisa melakukannya dengan mudah. Pergeseran pola relasi itulah yang memunculkan kontak jodoh di media cetak. Apa esensi kontak jodoh di media cetak? Sebagai pihak ketiga yang menjadi perantara dalam mencari pasangan.

 

Perantara mencari pasangan sebenarnya bukan hal baru, dalam tradisi Betawi sudah ada Mak Comblang. Keduanya tampak sama, tapi sebenarnya berbeda. Mak Comblang berada dalam tataran tradisi, saat itu jika seseorang langsung mendekati calon pasangan maka terkesan tabu. Sementara, kontak jodoh justru beranjak dari konteks pembebasan, seseorang secara aktif mencari pasangan untuk dirinya.

 

Sebagai inisiatif baru, kontak jodoh media cetak memiliki konsekuensi: Terbentuknya cara pandang yang cenderung negatif atas perjodohan dengan perantara pihak ketiga.

 

Persepsi itu terbentuk karena orang yang mendaftar dianggap tak bisa mendapatkan pasangan dari komunitasnya. Pun, kontak jodoh “mengamininya” dengan kerap memberi stempel identitas dirahasiakan agar pendaftar tak malu.

 

Padahal pergeseran cara mencari pasangan yang tak lagi berbasis geografis jelas menyulitkan banyak orang untuk mencari calon yang tepat. 

 

Itulah awal mula pandangan bahwa kontak jodoh adalah opsi terakhir, bukan salah satu opsi untuk mencari pasangan. Cara pandang itu membuat persepsi atas kontak jodoh menjadi negatif. Hal itu terjadi karena orang dianggap akan menggunakan kontak jodoh ketika tak bisa lagi menemukan pasangan di komunitasnya.

 

Pandangan itu banyak tergambar dalam budaya populer. Saya menemukan sketsa paling menarik soal itu dalam Lupus edisi Cowok Matre. Alkisah Emaknya Boim akan menjodohkan Boim dengan Suti (anak desa dari Gunung Kidul). Emak Boim melakukan itu karena Suti adalah tetangganya di Gunung Kidul, ia tahu betul Suti anak yang baik dan sopan. Coba lihat bagaimana Emaknya Boim menjadikan faktor geografis sebagai rujukan dalam mencari pasangan untuk anaknya.

 

Respon Boim sangat menarik, ia mengatakan, “Buset dikata gue pembantu apa kawin sama cewek Gunung Kidul. Emak kagak tau sih selera aye, pake segala ngejodohin emang emak biro jodoh?” 

 

Sedikit penafian: Ibunya Boim menolak stereotip Boim tentang Gunung Kidul sama dengan pembantu. Kudos untuk Hilman yang hati-hati dalam penciptaan stigma seperti itu. 

 

Gambaran Boim dan Emaknya adalah cerita klasik bagaimana tarik menarik antara yang muda dan tua dalam menyikapi hubungan percintaan. Emak menggunakan faktor lokasi, sementara Boim tak menganggap hal itu relevan. Ia justru memprotes dengan mengatakan “kagak tau selera aye”. Dan “selera” adalah kata yang tak netral.

 

Layaknya beragam disrupsi luring ke daring, kontak jodoh pun beralih rupa menjadi daring. 

 

Bentuk bisa beralih rupa, tapi pertanyaan esensialnya adalah apakah cara kita mencari pasangan juga berubah dengan perubahan bentuk tersebut? Jawaban sederhananya, cenderung tidak berubah. 

 

Meskipun mediumnya berubah, tapi pertimbangan dalam mencari pasangan tak terlalu berubah. Setidaknya ada beberapa aspek umum yang menjadi pertimbangan dalam mencari pasangan: Agama, suku, kelas sosial, dan gaya/pandangan hidup. Tentu ada pencilan di luar kategori umum tersebut. 

 

Di pekerjaan saya terdahulu, fungsi kontak jodoh daring sederhananya adalah mengkurasi aspek-aspek tersebut sehingga mempercepat proses interaksi calon pasangan. 

 

Setelah melakukan pengamatan tersebut, saya meyakini bahwa narasi sepasang anak manusia menjalin hubungan punya begitu banyak cerita. Sayangnya, narasi itu kerap direduksi menjadi sesuatu yang klise, menjadi tipikal, “Dunia milik kita berdua yang lain ngontrak.” 

 

Justru konteks dan aspek yang menyelimuti hubungan itulah yang membuat sebuah hubungan memiliki narasi. Cerita cinta yang kuat sejatinya adalah penggambaran kondisi masyarakat atau setidaknya kondisi yang ingin kita gugat.

 

Tentu ini bisa diperdebatkan, tapi sebagai contoh kita bisa sebut Siti Nurbaya yang bicara soal kelas, Rangga-Cinta yang menggugat pandangan hidup remaja, atau Hari-Amanda yang bicara soal perbedaan orientasi. 

 

Pola relasi pasangan di atas sejatinya mengeksplorasi konteks sosial yang melingkupi tokoh-tokohnya. Individu dalam cerita tersebut tak hidup dalam ruang kedap. Berbeda dengan opera sabun ala film televisi yang banal memasangkan laki-laki dan perempuan dari kelas berbeda tanpa melihat konteks sosialnya. 

 

Pengamatan saya pada pencarian pasangan melalui kontak jodoh daring mengingatkan saya pada frasa the personal is political. Pilihan-pilihan personal kita bahkan terkait pasangan bisa jadi adalah refleksi orientasi sosial dan politis. 

 

Sayang, tema ini kerap dikerdilkan jadi sesuatu yang klise. Padahal, jangan-jangan memilih pasangan adalah sebuah pilihan paling penting dalam hidup kita. Sebuah pilihan yang mengelaborasikan semua aspek pandangan sosial dan politis kita. 

 

Jika benar demikian, “cinta” sebenarnya bukan sekadar kata yang manis. Di dalamnya, ada banyak nilai yang patut diperjuangkan. Dan itu sama sekali tak klise. 

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: