Sidekick

Urip mung mampir ngejus

Setiap muncul masalah dari yang tersisih, pernahkah kita memulainya dengan bertanya: Kenapa? 

 

Usia anak itu mungkin baru menginjak 9 tahun. Bersama lima orang temannya ia berlari di tengah-tengah Taman Pemakaman Umum (TPU) Petamburan. Badannya yang bongsor membuatnya menonjol di kelompoknya, ibarat sebuah band mungkin ia yang akan jadi front girl.

 

Saya alpa tak memulai obrolan dengan bertanya namanya. Namun, itu tak membuatnya takut saat saya ajak mengobrol. Matanya langsung menatap mata saya, tak menunduk. Saat saya tanya, kenapa main di kuburan, ia balik bertanya, “Emang mau main di mana lagi, Kak?”

 

Kami mengobrol di antara rumah abu makam Jepang dan kuburan Cina. Ia banyak bercerita tentang aktivitasnya di pemakaman.

 

“Kalau malem sama teman-teman juga sering ke makam, soalnya gede, bisa lari-lari.”

 

Saat saya tanya apakah ia takut, ia menggeleng dengan yakin.

 

Rumahnya berada di dekat pekuburan itu. Ia tak menggambarkan secara detail. Hanya mengatakan, di gang-gang sambil jarinya menunjukkan arah rumahnya. Di dekat rumahnya tak ada tempat bermain yang luas. Menurut penuturannya gangnya sempit, tak enak untuk main lari-larian.

 

Sambil mengobrol, sesekali saya menerawang melihat jauh ke belakang anak itu. Beberapa gedung bertingkat menjulang tinggi. Dalam jarak yang tak terlalu jauh, terdapat gedung yang sedang dibangun. Deretan beton itu tentu jauh berbeda dengan rindangnya pohon di pemakaman Petamburan.

 

Tidak, saya tidak sedang ingin menjejerkan gedung dan pemakaman sebagai sepasang juxta posisi. Tentang yang baik dan buruk.

 

Pembangunan tentu tak salah, tapi ia punya konsekuensi besar baik sengaja maupun tidak: Penyingkiran.

 

Saya ingat sebuah tulisan Hisanori Kato, seorang Indonesianis dari Jepang, dalam bukunya Islam di Mata Orang Jepang. Dalam salah satu tulisannya, Kato menemui Eka, seorang anggota organisasi masyarakat (ormas) yang kini telah dilarang. Eka pemuda kelas bawah di kawasan Kemang yang menjadi saksi perubahan kawasan tersebut. Di tengah derap pembangunan itu, ia tersingkir. 

 

Sebagai manusia tentu ia punya aspirasi, ingin didengarkan. Layaknya orang biasa, ia butuh merasa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar. Ia kemudian bergabung dengan ormas tersebut.

 

Selain Eka, dalam buku itu Kato menemui Ismail, anggota ormas lain yang juga sudah dilarang. Kedua sosok itu mirip secara latar belakang sosial dan ekonomi. Keduanya seperti contoh kasus yang tersingkir dari derasnya pembangunan.

 

Tentu pembangunan bukan satu-satunya penyebab, koridornya bukan sesuatu yang biner. Poinnya adalah apakah mereka menjadi bagian dari arus utama perubahan tersebut? 

 

Nuansa keduanya mirip, tak ada perubahan yang berpihak pada mereka.

 

Dan Petamburan adalah sebuah mitos terbaik yang bisa menghadirkan nuansa tersebut. Namanya sudah memancarkan narasi dan beragam penghakiman.

 

Pagi tadi di pekuburan Petamburan saya banyak berefleksi. Pemakaman ini adalah sebuah catatan berharga tentang perubahan.

 

Berbeda dengan nuansa Petamburan hari-hari ini, pemakaman ini adalah sebuah potret sederhana tentang sejarah hidup bersama.

 

Di komplek TPU Petamburan terdapat beragam makam dari banyak kelompok. Ada tiga makam Yahudi yang sangat langka. Walaupun ukiran Bintang David di papan nisannya mulai kabur, tapi ia jadi bukti kehadiran kelompok tersebut di daerah ini. Jalan sedikit dari sana, terdapat rumah abu yang digunakan untuk menyimpan hasil kremasi orang-orang Jepang yang pernah tinggal di Jakarta. Rumah abu itu dikelilingi ratusan kuburan Cina.

 

Yang paling menarik, pada bagian tengah pemakaman itu terdapat mausoleum (monumen makam). Sederhananya Mousoleum adalah monumen khusus yang dibuat pada makam sebagai tanda cinta, biasanya untuk pasangan. Mousoleum yang paling terkenal tentu saja Taj Mahal.

 

Mousoleum Petamburan menarik bukan hanya karena bentuk fisiknya, tapi narasi yang ia hadirkan. Bagi saya, ia menjadi tanda cinta kasih yang melampaui urusan duniawi. Ia menjadi semakin indah karena hadir di tengah heterogenitas makam.

 

Beragam makam tersebut bisa saja dimaknai sebagai keberagaman atas nama simbol semata. Tapi, saya justru ingin membacanya dalam konteks lain. Ia juga bisa dibaca bahwa daerah tempat pemakaman itu punya sejarah panjang tentang pertemuan beragam kelompok.

 

Sayangnya, sejarah itu terhapus. Berubah menjadi catatan tentang ekslusivitas kelompok. Tentang yang tersingkirkan.

 

Entah kapan catatan itu akan beralih rupa. Nyatanya di pagi ini, saya melihat anak-anak berkompromi atas derasnya pembangunan. Bermain-main di tengah pemakaman.

 

Saya tak bisa membayangkan bagaimana nasib anak-anak itu puluhan tahun lagi. Sejak kecil mereka tak punya banyak pilihan, bahkan dalam urusan yang sangat sederhana seperti bermain, mereka tak diberi ruang.

 

Ironis ketika kuburan menjadi tempat favorit bermain mereka.

 

Sialnya, itu bukan sekadar ironi, bermain di kuburan adalah efek dari sengkarut masalah perkotaan. Minimnya ruang publik, orientasi pembangunan yang tak berpihak pada anak-anak, dan beragam rentetan masalah lain.

 

Anak-anak itu tentu tak berhak hidup dalam ketersingkiran. Untuk kemudian mengulang pola-pola lama hukum jalanan. Lantas, ketika berujung pada kekerasan, mereka langsung distigma tanpa pernah ditanya hal paling dasar, kenapa mereka melakukannya? Mempertanyakan hal tersebut jelas bukan berarti menormalisasi kekerasan.

 

Saya berharap semua bayangan itu salah.

 

Pagi tadi, saya masih bisa melihat anak-anak itu berlari di antara makam-makam. Dari jauh, mereka seperti mengejar gedung yang sedang dibangun. Ketika melihat itu, saya hanya bisa menarik napas dalam sambil bertanya:

 

“Berapa lama lagi gedung-gedung itu akan memakan keceriaan mereka?”

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: