Saya menduga, cara sederhana mengenang Romo Mangun adalah dengan bertanya ulang makna “ketokohan”.
Ia baru bangun tidur saat saya mengunjungi hunian sementaranya. Matanya sedikit merah sisa kantuk semalam, rambutnya belum rapi tersisir. Ia pamit untuk mandi terlebih dahulu sebelum menemani saya berkeliling kampung.
“Kalo libur, Topaz bangunnya emang rada siangan,” ujar ibunya mencoba memecah keheningan saat saya menunggu anaknya mandi.
Topaz, anak yang sedang mandi itu adalah seorang ketua RT di Kampung Akuarium, Jakarta Utara. Tanpa konteks yang melingkupinya, Topaz seperti warga Jakarta kebanyakan. Nyatanya ia dan warga di Kampung Akuarium punya cerita yang membuat saya bertanya ulang banyak hal.
Sambil memandang kampung susun Akuarium yang sedang dibangun, mata Topaz menerawang jauh.
“Dulu, saya inget banget pas kampung ini digusur. Pas pagi-pagi anak berangkat sekolah, kampung ini masih utuh, pulang sekolah rumahnya udah rata sama tanah. Saya gak bisa bayangin traumanya anak-anak.”
Ia sedikit sentimental saat menceritakan itu. Beberapa kali ia sempat menarik napas panjang.
Baginya, penggusuran bukan sekadar masalah penghancuran fisik. Ada aspirasi yang tak didengar, ada ruang dialog yang tak terbangun. “Kami kayak gak didengerin,” kritiknya menceritakan masa itu.
Sebagai konteks, Kampung Akuarium digusur pada akhir tahun 2016. Beberapa warga pindah ke rumah susun yang jaraknya jauh, beberapa lainnya memilih tetap tinggal dalam hunian non-permanen. Dalam kacamata tertentu, pindah ke rumah susun mungkin dianggap “ideal”, tapi pandangan Topaz membuat saya berpikir ulang tentang konsep ideal tersebut.
“Kan banyak yang kerjanya jadi nelayan. Kalo dipindah jauh, gimana nyari ikannya? Sama tetangga juga udah kayak keluarga, kalo pindah gak kenal sama sekali.”
Wajar jika Topaz meminta aspirasi warga didengar, ada aspek-aspek tertentu yang memang baru kita sadari tatkala menempatkan diri dalam kacamata warga. Dan yang berjarak, atas nama pembangunan atau perbaikan, kerap kali merasa paling pantas menentukan apa yang ideal bagi mereka.
Singkat cerita, Kampung Akuarium kemudian dibangun kembali dengan pendekatan yang secara sederhana bisa disebut partisipatif. Yang menarik dalam proses pembangunan ini adalah metodenya.
Topaz bercerita beberapa pendamping seperti arsitek dan penggerak komunitas berdiskusi bersama warga dalam membangun kembali Kampung Akuarium. Ada dialog yang terbangun, ada aspirasi yang diakomodasi. Warga pun tak memonopoli kepentingan, mereka sadar bahwa yang paling memungkinkan adalah pembuatan kampung vertikal, bukan bangunan tapak tanah seperti rumah mereka terdahulu.
“Ibu-ibu, bapak-bapak, sampe anak kecil udah kayak arsitek. Ikutan ngegambar sama ngerancang bangunan pake kardus. Gaya lah kita pokoknya,” ujarnya sambil terkekeh.
Air mukanya merona saat mengisahkan itu. Ia bercerita melalui proses dialog tersebut plus dukungan dari pemangku kepentingan dibangunlah Kampung Susun Akuarium.
Baginya kampung susun itu bukan sekadar rumah susun biasa. Bangunan itu memerhatikan interaksi sosial antar warga. Contohnya, di tiap lantai ada ruang interaksi untuk berbagi cerita. Konsepnya pun tidak tersekat seperti apartemen.
“Ibu-ibu tuh bilangnya, pokoknya nanti kalo garem di dapur abis, bisa tetep minta sama tetangga.”
Pun, desain warga memerhatikan inklusivitas, Topaz mengatakan untuk lansia akan menempati lantai bawah. Sementara yang muda dan masih kuat, rela mengalah menempati lantai atas. Semuanya hasil dialog dan kompromi antar warga.
Topaz dan Kampung Akuarium adalah refleksi penting bagaimana pola hubungan warga, komunitas pendamping, dan pemangku kepentingan yang tak paternalistik. Cara pandang pemangku kepentingan dan warga ala “bapakisme” orde baru perlu kita ubah. Pemangku kepentingan bukan orangtua dan warga bukan anak yang bisa disetir arah dan aspirasinya.
Saya mengingat kembali Topaz dan warga Kampung Akuarium ketika Romo Mangun berulang tahun beberapa hari lalu.
Bagi saya, jika ada satu hal yang bisa diperas dari Romo Mangun bisa jadi sebuah premis: Romo Mangun bukan alone genius!
Maka, cara memandang Romo Mangun bukanlah dengan menjadikannya sebagai tokoh yang beku, mati, dengan kacamata romantik. Biasanya cara pandang mengenang tokoh adalah dengan menjadikannya pelarian atas masalah hari-hari ini. Polanya disederhanakan menjadi, “Padahal dulu ada tokoh … yang berintegritas, sementara sekarang …”
Menggunakan cara pandang ketokohan semacam itu dalam memandang Romo Mangun rasanya kurang tepat. Justru cara pandang ketokohan itu perlu dibongkar. Yang lebih penting adalah bagaimana menstrukturkan dan merefleksikan pengalaman Romo Mangun untuk konteks kiwari.
Kisah Topaz dan warga, mirip dengan pendekatan Romo Mangun saat bersama warga membangun Sendang Sono. Romo meminta warga untuk menggambar Sendang Sono versi mereka, lalu pelan-pelan memfasilitasi aspirasi tersebut. Di sana, Romo tak berlaku sebagai agent of change atau istilah lain yang bias, ia menjadikan dirinya lebih sebagai fasilitator.
Lihat juga cara Romo saat membangun rumah pribadinya yang dikenal dengan Wisma Kuwera. Romo mengambil jalan yang unik pada saat itu, ia menggunakan bahan daur ulang saat membangun kediamannya. Alasan di balik itu sangat penting, dengan menggunakan bahan daur ulang maka pengerjaan akan membutuhkan waktu lebih lama. Konsekuensinya, ia akan membutuhkan tukang lebih lama dari waktu biasa, sehingga tukang tersebut bisa terus mendapatkan pekerjaan.
Lebih dari sekadar laku filantropis membantu tukang, apa yang Romo lakukan bisa dibaca dalam konteks interaksi antara pekerja dan “yang dipekerjakan” secara lebih luas. Dalam pembangunan Wisma Kuwera, Romo tak menjadikan tukang sekadar sebagai sumber daya produksi, ia menjadikan tukang sebagai teman berinteraksi dalam berkarya.
Apa yang Romo lakukan, mirip dengan yang Eko Prawoto buat dalam kolaborasi pembangunan kampung di Bantul pasca gempa Jogja. Sebagai arsitek, Eko tak menjadi single fighter dalam pembangunan tersebut. Ia justru berkolaborasi dengan Maryono, seorang pengrajin kayu di kampung tersebut. Mereka membuat hunian untuk korban gempa dari kayu glugu (batang kelapa) yang ada banyak di kampung tersebut.
Cerita-cerita Romo, Topaz, dan Eko Prawoto adalah kisah tentang warga biasa. Kekuatan orang-orang biasa dalam merefleksikan kesehariannya.
Bukan cerita tipikal inspiratif yang direduksi jadi satu orang mengubah segalanya.
Setelah pulang dari Kampung Akuarium, banyak pertanyaan terlintas di pikiran. Utamanya pertanyaan tentang mengapa kita senang mengagungkan seorang tokoh? Mengapa konteks, pengalaman, dan interaksi yang melingkupi tokoh tersebut kerap dilupakan?
Mungkin, narasi-narasi semacam itu yang membuat kita menggantungkan harapan pada tokoh bukan pada nilai yang kita percaya. Merasa akan ada tokoh yang secara instan bisa mengubah segalanya. Untuk kemudian berlomba-lomba jadi pendukung ketokohannya secara buta, bukan merefleksikan nilai dan tindak-tanduknya secara kritis.
Rasanya apa yang Romo Mangun lakukan adalah catatan penting tentang mempertanyakan ulang konsep ketokohan.
Mengenang Romo Mangun sebagai sebuah tokoh yang beku jangan-jangan justru sebuah ironi atas perjalanan hidupnya.