Sidekick

Urip mung mampir ngejus

Pameo lama mengatakan, mereka yang paling ceria adalah sosok yang menyimpan banyak duka. Budi Warsito mungkin mengamininya.

 

Mas Budi, begitu saya biasa menyapa Budi Warsito, adalah sosok yang sulit digambarkan dengan kata sifat. Saya pertama kali bertemu dengannya lebih dari satu dekade silam saat duduk di bangku kuliah. Saat itu, saya menjadi muridnya dalam sebuah kelas penulisan skenario.

 

Perawakan fisiknya memang lekat dengan tipikal cah nyeni. Rambut sedikit gondrong kribo dengan frame kacamata vintage. Namun, caranya mengajar dan berbicara jauh dari tipikal mas-mas nyentrik pada eranya. Intonasi bicaranya halus dan humornya khas keluarga Jawa, suasana kelas itu jadi seperti acara ronda bareng Karang Taruna.

 

Selesai kelas skenario itu, tentu saya tak jadi selihai Salman Aristo. Yang saya dapatkan bukan ilmu tapi sebuah perspektif baru karena melihat Budi Warsito, sebuah impresi yang polos, naif, dan sedikit heroik, “Ternyata kesenian itu milik semua orang, Mas-mas Karang Taruna itu aja bisa nulis skenario!”

 

Tahun demi tahun berlalu, saya tak pernah lagi berjumpa dengan Mas Budi. Saya lupa bagaimana awalnya, sampai kemudian saya kadang bertukar pesan via WhatsApp dengannya. Dan tetap saja walau sudah beberapa kali berinteraksi, tak ada kata sifat yang bisa menggambarkannya.

 

Mas Philips Vermonte, pendiri Jalankanji pernah merangkum Mas Budi dalam sebuah gambaran yang cenderung menyederhanakan, “Orang paling bahagia di Indonesia.”

 

Ia punya alasan kenapa memberi titel semacam itu. Sebagai Kepala Sekolah Kineruku, Mas Budi dikelilingi banyak buku, piringan hitam, arsip film, dan beragam majalah lawas. Kerap kali acara diskusi budaya populer juga diadakan di tempat itu. Belum lagi, suasana Kineruku yang memang asri dan menenangkan.

 

Entah kenapa, saya sama sekali tak setuju dengan titel Mas Philips untuk Mas Budi. Tiap kali saya membaca cerita Mas Budi di instagram dan bertukar pesan dengannya, saya selalu menaruh curiga tentang titel itu. Suka dan duka rasanya bukan dua sisi mata uang, ia bisa jadi saling mengelabui. Sialnya, saya merasakan nuansa dalam tiap tulisan di instagram Mas Budi adalah upaya untuk mengelabui dua kata sifat itu.

 

Maka, saat ia mengirim pesan dan menyatakan akan merilis buku, saya langsung penasaran membaca buku barunya yang berjudul Trocoh.

 

Saya tak langsung selesai membaca Trocoh. Pekerjaan yang sedang padat ditambah beberapa anggota tim yang sakit membuat saya lebih banyak berkutat dengan tugas harian alih-alih menyelesaikan buku itu. Konsekuensinya, saya sempat membaca sekilas beberapa review pembaca mengenai buku itu di instagram story.

 

Ada satu kecenderungan ulasan buku Trocoh. Buku itu dipersepsikan sebagai sekadar buku trivial, penuh canda, dan menyenangkan. Mas Budi memang banyak menulis hal-hal trivial terkait pop culture khususnya musik di buku itu. Gaya tulisannya juga cenderung ceplas-ceplos dan lucu. Istilah Jawanya, “Tulisane ora mbulet (Tulisannya simpel dan tidak rumit).”

 

Seperti halnya titel “Orang paling bahagia di Indonesia”, review-review tentang Trocoh terkesan menyederhanakan buku itu. Sebagai sebuah buku, Trocoh memang simpel, tapi ia sama sekali tak sederhana.

 

Pandangan pada Trocoh biasanya jatuh pada hal-hal trivial dan meminjam bahasa para pakar marketing: Hanya berhenti di tataran “What” bukan “Why”.

 

Isi Trocoh memang bicara banyak soal kilas balik era-era lampau khususnya 80-90an, masa ketika Orde Baru menancapkan pengaruhnya sampai ke detail terkecil kehidupan. Di buku ini, kita bisa menemui beragam kisah soal serial di TVRI, Senam Kesehatan Jatmika eh Jasmani (SKJ), Srimulat, Majalah Bobo, dan beragam perintilan masa lalu lainnya. Tak sekadar trivia khas masa lalu, Mas Budi juga bercerita banyak soal (((kelindan))) musik populer asing dan bagaimana seorang Budi kecil serta remaja meresapi beragam produk baru tersebut.

 

Ia misalnya mencari tahu sejarah awal kata punk di negeri ini. Mencari silang sengkarut antara Charlie Chaplin dengan punggawa-punggawa Srimulat. Atau rasa kagumnya pada film-film macam Terminator.

 

Pola penceritaannya mirip dengan cara bercerita Umar Kayam di seri Mangan Ora Mangan. Bedanya, Trocoh tak bertendensi untuk menjadi bijak ala bapak-bapak Jawa seperti Pak Kayam.

 

Jika Mangan Ora Mangan adalah Pak Kades, maka Trocoh adalah mas-mas ronda yang suka guyon di pos ronda tapi kikuk saat ikut yasinan bapak-bapak. 

 

Jejak kesamaan Mas Budi dengan Pak Kayam tetap terlihat dalam beberapa hal. Ia selalu menyandingkan yang lokal dan internasional, tapi bukan dalam konteks juxta posisi atau membentrokkan keduanya. Juga strategi meminjam tokoh lain sebagai personifikasi diri untuk menyampaikan pendapat. Ada istilah Jawa soal ini, napuk nyilih tangan. Jejak ini misalnya terlihat di cerita Paman Kikuk dalam Majalah Bobo yang lebih mendekati diri Mas Budi sendiri dibandingkan Paman Kikuk.

 

Yang paling terlihat adalah kisah Budi kecil yang sedang minum soda lantas ragu dengan masa depan. Astagfirullah, bahkan di cerita sepersonal itu ia tak mau memakai kata ganti orang pertama. Budi dewasa memilih berjarak dengan Budi kecil.

 

Dan, ini kuncinya: Membungkus kelucuan dalam sebuah ironi.

 

Kelucuannya biasanya ditarik dari sebuah konteks opresi di masa itu. Misalnya, cerita tentang bagaimana canggungnya pelajar melakoni SKJ tentu tak jadi lucu jika kita tak tahu konteks kenapa budaya ketertiban ala SKJ penting di masa itu. Budi memandang kelucuan dengan ironi, maka impresi setelah membaca buku ini bukanlah tertawa lepas, melainkan tertawa yang perih.

 

Ironi itu juga muncul karena sebuah lubang atau justru keistimewaan buku yang penuh trivia ini. Di tengah berjamurnya trivia dan cerita personal di buku ini, tak ada satu pun cerita mendalam yang personal tentang ayah, ibu, maupun kakak-kakak Budi. Semua cerita itu hanya suwir-suwir sekilas muncul di beberapa cerita dan epilog buku ini.

 

Uniknya di halaman terima kasih, Budi dewasa masih memilih menggunakan kata matur sembah nuwun untuk ibu dan ayahnya. Ada sebuah nuansa yang sangat berbeda ketika membaca bagian itu. Tentang seorang anak yang mencoba tetap menghormati kedua orangtua di tengah segala lintasan kenangan tentang ayah dan ibunya.

 

Saya sedikit banyak tahu dengan sepak terjang kemampuan menulis Mas Budi, jejak-jejak itu bukan tak ia sadari. Ingat, ia juga seorang editor yang piawai. Ia tahu betul setiap detail tulisan. Jadi, jejak-jejak itu bukan kecelakaan, melainkan pilihan.

 

Saya yakin ia memilih jejak-jejak itu. Alasannya memilih jejak-jejak itu dan cara pandangnya yang kerap kali tak mau menggunakan kata ganti orang pertama adalah jalan masuk untuk mencari tahu apa yang disembunyikan buku ini.

 

Karena Mas Budi kerap menggunakan kilas balik di setiap tulisannya. Maka, saya ingin mencari tahu yang disembunyikan buku ini dengan metode serupa.

 

Mari berkenalan dengan Budi kecil, seorang yang lahir dan tumbuh di pinggiran Solo. Kota yang punya sejarah panjang dengan lahir dan kekalnya kekuasaan di negeri ini. Budi kecil tumbuh dalam budaya keluarga Jawa, ibunya memanggil Budi kecil dengan sebutan “Le” (singkatan dari Tole) sebuah sapaan yang sangat njawani. Ia tumbuh dan besar di era keemasan orde baru.

 

Keping-keping pengetahuan non-akademisnya disusun dari medium yang tak terstruktur karena internet belum ada di masa itu. Keping-keping itu yang kemudian menjadi benang merah buku ini. Keping-keping itu pula yang membuat Budi bersiasat dalam banyak hal.

 

Budi adalah gambaran ideal anak kandung orde baru dengan segala siasatnya, kata siasat saya pilih karena Budi sejatinya memang tak sedang melawan.

 

Budi adalah cerita klasik orang Jawa dalam merespon beragam opresi. Tentang politik, tentang kultur, dan tentang keterbatasan ekonomi. Tekanan-tekanan yang tak mungkin bisa terbebas sampai kapan pun.

 

Yang membedakan buku Budi dengan buku lainnya adalah ia bersiasat, ia tidak melawan. Lihatlah bagaimana secara sumir ia mengatakan hal ini di beberapa bagian bukunya, “Di negeri yang dipenuhi bakat pelawak ini, kepatuhan yang dipaksakan hanya akan menghasilkan lelucon. SKJ bukan soal kepatuhan tapi bersenang-senang.” Atau sedikit curcolnya yang saya rasa gagal ia tutupi dengan baik, “Suka dan duka apalagi di hari-hari ini ketika jaman edan, apakah ada bedanya?”

 

Ia bersiasat karena tak mungkin ia melawan dan membebaskan diri dari segala konteks besar di luar dirinya. Tulisannya adalah siasat dan upayanya untuk sekadar menertawakan ironi atau kegagalannya dalam membebaskan diri dari semua yang mengungkung dirinya.

 

Pada titik itulah saya merasa Trocoh penting bukan karena apa yang tertulis di dalamnya, bukan karena trivianya, bukan karena humornya.

 

Trocoh penting bagi saya karena yang tak tertulis di dalamnya lebih penting dari apa yang tertulis di dalamnya.

 

Trocoh yang berarti tetesan air yang bocor saat hujan, semacam bocor halus dalam Bahasa Indonesia, tak lagi sekadar trocoh tapi sudah luber dalam upaya menyembunyikan pesan dan luka yang tak tertulis. Sayangnya, kebocoran ini tak banyak diperhatikan pembaca buku Mas Budi. Atau bisa dibaca sebagai keberhasilan Mas Budi menjadi tukang kibul nomor wahid perkara menyembunyikan pesan Trocoh yang membuat banyak orang terkecoh.

 

Pertanyaannya kemudian, kenapa Budi tak memilih melawan? Bagi saya jawabannya karena tiga hal, sebut saja ini semacam “triple minority”-nya untuk melawan: Ia tumbuh dalam budaya Jawa sehingga ia pekewuh (sungkan & menghindari konflik), ia sudah dewasa, dan rasanya kenangan-kenangannya telah mengobati kemarahannya.

 

Ia memilih jalan menertawai yang lampau untuk membebaskan dirinya. Tapi, kenangan adalah luka, seberapa pun ia mencoba melucu, luka itu tetap terasa di tulisannya. Justru luka itu yang membuat lawakannya unik.

 

Bagi saya pribadi, kelucuannya makin ironis karena bahkan dalam namanya, Budi adalah ikon di masa itu. Ya betul ini merujuk ke: Ini Ibu Budi dan segala turunannya.

 

Dalam sebuah kesempatan, saya pernah mengatakan pada Mas Budi bahwa genre tulisannya adalah “esai vernakular”. Istilah itu saya ambil secara serampangan dari “genre” fotografi vernakular. Kata vernakular merujuk pada keseharian, remeh temeh. Fotografi vernakular biasa disematkan pada produk foto keseharian seperti pas foto, foto wisata ke Dufan, foto dokumentasi ulang tahun, dan beragam foto yang sekarang sudah menguning di album foto keluarga.

 

Semangat vernakular adalah mendokumentasikan tanpa tendensi untuk dianggap sebagai karya seni atau produk fotografi profesional. Sekadar merekam kejadian.

 

Tulisan Mas Budi di instagram memang seperti vernakular. Hal remeh temeh, kadang lucu, dan sering kali tak punya konteks tententu. Mas Budi tak menyangkutkan ceritanya dengan hal-hal besar. Coba bandingkan dengan tulisan sebut saja Ahmad Tohari yang kerap menyandingkan cerita personal dengan konteks sosial politik tertentu. Mas Budi tak pernah melakukannya, ia vernakular.

 

Namun, selesai membaca buku Trocoh, saya ingin menarik atribusi esais vernakular itu untuk Mas Budi. Saya luput menyadari satu idiom klasik, personal is political.

 

Mas Budi jelas secara sadar memilih jenis tulisan vernakular. Pilihan itu seperti yang sudah saya tuliskan panjang lebar di atas adalah hasil konsekuensi dari beragam konteks yang melingkupi dirinya. Ini justru pilihan yang sangat politis dalam konteks luas.

 

Mas Budi dewasa adalah potret siasat di masa ketika melawan bukan pilihan.

 

Di masa ketika kenangan pada akhirnya mengobati. Di masa ketika kehadiran seorang buah hati mengubah banyak hal dalam hidup.

 

Air mata saya trocoh saat membaca bagian anak Mas Budi bertanya ia sedang menulis buku apa. Saya tahu sulit baginya untuk menjelaskan Trocoh pada anaknya yang masih kecil. Kesulitan itu bukan karena tema tulisannya, bukan karena bahasan bukunya, tapi karena apa-apa yang tak tertulis di sana.

 

Trocoh lahir dari perjalanan panjang anak kandung generasi. Ketika anak kandungnya bertanya tentang Trocoh, saya membayangkan buku ini adalah warisan seorang ayah tentang upaya berdamai dengan masa lalu.

 

Saya berimajinasi bagaimana impresi anak Mas Budi ketika sudah besar nanti membaca Trocoh.

 

Mungkin saat membaca tiap lelucon di buku itu, buah hatinya tak akan tertawa, ia bisa jadi menangis terharu menyadari perubahan ayahnya. Menyadari bahwa ada kalanya berdamai dengan masa lalu bisa kita wujudkan dengan lelucon, bukan kemarahan yang membuncah.

 

Trocoh bisa jadi upaya kecil menceritakan sebuah pesan rahasia bahwa kenangan bisa membuat tawa dan lara berjalan beriringan.

 

Kenangan mungkin seperti sapu lidi yang dipakai Budi kecil menyapu, tampak kokoh dari jauh tapi ringkih saat berhadapan dengan masa lalu.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: