Sidekick

Urip mung mampir ngejus

Ada tulisan yang hanya bisa selesai dengan melawan air mata, tulisan ini salah satunya.


Saya akan selalu ingat perasaan di malam itu. Rasa yang tiba-tiba muncul ketika pasangan saya melewati pintu imigrasi dan tak lagi terlihat. Perasaan yang baru pertama kali saya rasakan.

Saya tak tahu bagaimana menggambarkan perasaan itu. Perasaan yang akan terus saya kompromikan entah sampai kapan. Dan tulisan ini adalah sebuah terapi bagi saya untuk berkompromi.

Hari-hari ini saya mengingat sebuah ucapan pasangan saya, ia pernah bertanya iseng: “Kenapa kamu gak pernah menulis panjang tentang kita?”

Tentu, ia hanya bercanda saat bertanya tentang hal itu. Tapi pertanyaan itu sesekali muncul di kepala saya. Setelah bertahun-tahun menjalin hubungan dan memutuskan hidup bersama, saya baru bisa menemui jawaban atas pertanyaan itu.

Jawabannya sebenarnya sederhana: Saya menikmati keseharian dengan pasangan dan bagi saya sebuah tulisan butuh momen eureka. Momen itu tak pernah saya temukan, karena saya menyayanginya sebagai bagian dari keseharian.

Hari-hari ke belakang, keseharian jadi kata yang sangat mencemaskan bagi saya. Pasangan saya berhasil melanjutkan studi master di Inggris. Tentu saya senang bukan kepalang, itu salah satu keinginannya sejak kami belum menikah.

Pasangan saya berhak menjemput keinginannya, ia seratus persen merdeka atas pilihan-pilihan kariernya selama tak bertentangan dengan value yang kami usung.

Sejak dinyatakan lolos melanjutkan studi tentu kami menyusun strategi. Kami memutuskan untuk berpisah jarak. Ia akan merantau sendirian ke London, sementara saya menetap di Indonesia. Alasan utamanya tentu finansial dan pekerjaan. Secara finansial akan sangat berat bagi kami jika saya harus menemaninya di sana. Belum lagi masalah perbedaan waktu yang tak memungkinkan saya bekerja dari sana.

Kondisi pandemi makin menambah alasan itu: Visa dan karantina yang butuh biaya sangat besar.

Menyitir istilah ekonomi perilaku, sebagai makhluk ekonomi (econs) tentu tak ada alasan bagi saya untuk menemani ke daratan Britania. Akan lebih masuk akal bagi saya dan pasangan jika terpisah jarak ribuan kilometer. Saya bisa menyusun finansial jangka panjang dan pasangan saya fokus studi.

Sayangnya, saya dan pasangan tetaplah manusia (humans). Kami punya perasaan yang tak bisa ditakar dengan alat ukur apa pun.


Interaksi dan kedekatan fisik adalah cara bagi kami untuk saling mengasihi. Selama ini, itu sudah menjadi keseharian. Maka, tatkala itu hilang ada kekosongan yang tak bisa digantikan oleh apa pun.

Seminggu sebelum ia pergi, saya mengambil cuti dari kantor. Itu cuti terpanjang saya selama berkarier profesional. Saya hanya ingin menemaninya.

Tapi waktu tak akan pernah bisa dibeli, ia tak akan tergantikan dengan cuti atau dengan segala siasat. Cuti hanyalah upaya menunda. Sepanjang cuti, tiap malam saya tak bisa tidur. Saya selalu tidur melewati dini hari. Rasanya seperti menunda kekalahan.

Saya tahu hari itu akan datang, hari ketika kami akan berpisah sementara.


Usai melepasnya di bandara, saya seperti linglung. Saya hanya bisa diam di taksi saat pulang, supir taksi sampai mengingatkan saya saat sudah sampai tujuan. Sampai jelang subuh saya baru bisa terlelap. Aneh rasanya melihat sekujur kamar kosong. Meja kerjanya tak lagi terisi, kasur yang luas hanya saya isi seorang diri, dan ada perasaan sangat aneh saat melipat bajunya yang baru selesai dicuci.

Saya kehilangan bandul keseharian, tempat saya menjadi seorang manusia. Hampa.

Kepergian sementara pasangan saya membuat saya berefleksi pada banyak hal. Ini salah satu momen penting dalam hubungan kami setelah sebelumnya memutuskan hidup bersama. Ini eureka yang mengubah cara kami memandang dan menjalani kehidupan sehari-hari.

Dulu saya pernah lari dan hidup dalam kekosongan selama bertahun-tahun. Pengalaman mengajari saya, waktu tak akan pernah bisa mengobati. Interaksi dan rasa sayanglah yang membuat kita bisa keluar dari sebuah kekosongan, bukan waktu.

Hidup akan terus berjalan dan keadaan tak akan baik-baik saja jika tak bersiasat mengelola perasaan. Saya tak bisa terus menerus merasakan kehampaan, pun pasangan saya pasti juga berjuang untuk beradaptasi dan berjuang menjalani kehidupan di tanah yang baru. Tentu ini tak akan selesai dalam satu dua hari, tapi perlu terus diupayakan.

Satu tahun berpisah ini adalah upaya kami berdua untuk belajar saling menguatkan, saling mendukung dengan keinginan masing-masing.


Pasangan saya mengajari saya tentang hubungan yang saling mendukung. Yang berdiri sejajar.

Ia menyadarkan saya bahwa laki-laki juga bisa rapuh, dan bukan hal memalukan untuk mengakui hal itu.

Saat menulis ini saya ingat sekelumit cerita tentang Kartini yang paling saya suka. Saat itu Kartini ditanya oleh gurunya, “Kamu mau gak belajar di Belanda?” Bagi saya, jawaban Kartini atas pertanyaan itu adalah penanda zaman terbaik tentang posisi perempuan kala itu. Kartini menjawab, “Jangan tanya apa saya mau, tapi tanya apa saya boleh.”

Nyatanya Kartini memang tak bisa pergi ke Belanda untuk belajar. “Jatah beasiswanya” dialihkan untuk laki-laki lain. Belanda sekadar jadi sesuatu yang tak teraih bagi Kartini. Tanah harapan.

Ketika pasangan saya bertanya apakah ia boleh melanjutkan studi ke London, saya teringat nukilan cerita Kartini tersebut. Tentu ia bertanya bukan dalam konteks yang sama. Pun, ketika beberapa orang bertanya apakah saya mengizinkannya dan semacamnya, momen Kartini itu kembali terlintas di kepala saya.

Tak hanya boleh, saya senang ia meraih mimpinya. Aneh rasanya jika ada pasangan perlu izin untuk meraih mimpinya. Tak ada yang lebih membanggakan saat ia berhasil meraih mimpinya belajar di daratan Inggris. Satu-satunya rasa iri hanyalah saya tak bisa menonton Tottenham langsung sementara pasangan saya bisa melakukannya.

Dan mimpi tentu punya konsekuensi. Satu tahun ini kami terpisah jarak. Baru beberapa hari terasa berat sekali rasanya.

Pasti ada luka, ada tangis, ada malam-malam yang penuh kehampaan, pun mungkin ada amarah. Yang bisa kami lakukan hanya berupaya sekuat-kuatnya.


Perasaan berjarak ini membuat saya sadar bahwa interaksi dengan pasangan tak bisa diterima secara taken for granted. Ia harus diperjuangkan.

Bersyukurlah untuk yang masih bisa melihat, menyentuh, dan memeluk langsung pasangan.

Jika saat membaca ini, ada pasanganmu di sampingmu berhentilah membaca tulisan ini. Lupakan tulisan ini, tak perlu selesaikan membaca tulisan ini. Peluklah pasanganmu dan katakan kamu menyayanginya.

Saya rela melakukan apa pun saat ini juga agar bisa memeluk langsung pasangan saya. Dari jarak waktu 6 jam, saya hanya bisa berharap hari itu bisa segera datang, satu tahun dari sekarang saya bisa memeluknya.

Saya akan terus merawat rasa sayang itu sepanjang tahun, sampai kami bisa bertemu.

Untuk Rara, peluk jauh dari Jakarta. Love you.


3 thoughts on “Dari Jarak Enam Jam

  1. firdhaussi says:

    mbrebes mili :”)

    Like

  2. RE says:

    Terima kasih untuk tulisannya, mas Awe. Kebetulan saya sebentar lagi akan di posisi mas Awe, dimana saya harus berpisah sementara karena pasangan akan melanjutkan program doktoral. Semoga kita senantiasa kuat.

    Like

  3. Dindasaurus says:

    Terimakasih untuk tulisannya..
    Saya pengen juga nulis buat pasangan, karena kami setelah menikah langsung LDR. Tapi bingung kalimat apa yang bisa saya tuliskan. Alhamdulillah disini bisa terwakilkan.

    Jauh dari pasangan secara fisik, berat banget rasanya.. Tapi kalau bisa sabar, terus bertahan, terus berusaha, perasaan saling menyayangi dan saling mencintai akan semakin kuat.

    Meski jauh, tapi cinta itu tetap sampai

    Semangat terus yaa untuk mas Awe dan Mba Cmewew ☺

    Like

Leave a comment