Bagaimana jika keluarga bukanlah unit terkecil, melainkan unit terkompleks dalam masyarakat?
Beberapa narasumber sekadar penting untuk menyelesaikan tulisan, hanya sedikit yang bisa mengubah pemikiran. Ardi Yunanto adalah salah satunya.
Saya selalu ingat wawancara dengan Ardi yang kala itu menjadi pemimpin umum Majalah Bung!
Ia sosok alternatif bagi saya yang saat itu masih berada di usia awal 20-an. Ia punya kedalaman perspektif, tapi tak membosankan layaknya dosen-dosen saya di kampus. Pun, ia punya sisi eksentrik tanpa jatuh pada stereotip nyentrik ala seniman.
Wawancara itu berfokus pada Majalah Bung!, majalah pria alternatif yang tak berpijak pada cara pandang maskulin ala majalah laki-laki dewasa pada umumnya. Yang menarik bagi saya, ia dapat menjelaskan konteks dan wawasan yang melahirkan majalah tersebut dengan sangat baik. Sebagai lulusan baru dari kampus, wawancara itu memberi saya perspektif baru. Tatkala kampus hanya berkutat pada unsur tekstual jurnalistik tapi melupakan konteks dan relevansi, Bung! hadir dengan pendekatan yang berbeda.
Di tengah wawancara itu saya sempat membatin, “Sialan, kenapa orang ini gak jadi dosen di kampus saya!”
Pasca wawancara hampir satu dekade lalu itu, saya tak pernah lagi bertemu dengan Ardi Yunanto dan jarang mendengar kabarnya. Sampai Mas Budi Warsito (Kepala Sekolah Kineruku), memberi tahu bahwa Ardi akan menerbitkan debut bukunya.
Bermain Rahasia adalah novelet karya Ardi Yunanto. Buku ini bercerita mengenai kepulangan Adinda (seorang anak perempuan) ke rumah orangtuanya. Pasal kepulangannya sederhana, ayahnya sakit. Namun, suasana yang melingkupinya sama sekali tak sederhana.
Kepulangan Adinda mengungkap banyak kecacatan relasi dan trauma masa kecilnya dengan sang ayah. Melalui interaksi dengan ibunya, Bik Inah (asisten rumah tangga), dan Bang Aji (tukang ojek masa kecilnya); Adinda berupaya berdamai dengan luka masa kecilnya yang belum juga mengering.
Kepulangan Adinda tak hanya secara fisik, ia sejatinya sedang menengok masa kecilnya.
Fragmen-fragmen Bermain Rahasia tak disusun dalam narasi-narasi besar. Cerita disusun dari hal-hal sederhana seperti boleh tidaknya ada kucing di rumah, gesekan saat anak komplek bermain dengan anak kampung, dan tas kumal yang disukai oleh Adinda tapi selalu ia sembunyikan dari ayahnya.
Pilihan fragmen itu menjadi penting karena interaksi keseharian ala keluarga nyatanya memang muncul dari hal-hal keseharian (yang kadang menyebalkan). Saya menikmati pilihan-pilihan kecil pada Bermain Rahasia, ia menjaganya tetap jadi kisah keluarga.
Saya rasa menyenangkan jika melihat Bermain Rahasia dalam konteks cerita keluarga. Memang ada konteks sosial politik yang melingkupi kisahnya, luka Adinda pada ayahnya bahkan muncul salah satunya karena konteks tersebut. Namun, Bermain Rahasia adalah cerita tentang keluarga. Kata kuncinya: Keluarga.
Bermain Rahasia adalah cara malu-malu untuk mengajak merefleksikan keluarga.
Pola pikir turun temurun mengenai keluarga yakni keluarga adalah unit terkecil dalam sebuah masyarakat.
Pola pikir tersebut sangat bias otoritas, keluarga hanya dipandang sebagai bagian dari satu sistem yang besar. Keluarga tak pernah dipandang sebagai satu entitas tunggal yang mandiri.
Konsekuensi yang terjadi atas hal itu adalah cara memandang keluarga berbeda dengan cara pandang kita memandang entitas “yang lebih besar”. Keluarga dipandang sebagai sesuatu yang taken for granted, bukan sesuatu yang harus diperjuangkan. Karena ada ikatan darah, maka relasi dan interaksi akan selalu baik-baik saja tanpa perlu diusahakan dan dirawat.
Dalam banyak kajian, asosiasi negara sebagai keluarga pada era orde baru juga sebuah upaya untuk mengurangi konflik. Keluarga akan saling memahami dan konflik adalah hal tabu. Maka, cara pandang keluarga sebagai unit terkecil terus dirawat.
Adinda adalah korban cara pandang keluarga ala orde baru. Ayahnya sebagai kepala keluarga merasa memiliki kuasa, ibunya diam, Adinda jadi korban.
Lantas tak ada usaha untuk mengobatinya karena mereka berada dalam satu keluarga maka semua akan baik-baik saja. Nyatanya jelas tidak, Adinda membawa luka itu sampai dewasa.
Narasi “Keluarga” bisa jatuh pada dua kutub yang sangat berbeda.
Pertama, keluarga yang berada di ruang vakum tanpa konteks sosial yang melingkupinya. Keluarga Cemara atau yang terbaru Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini (NKCTHI) adalah contoh populer mengenai hal ini. Abah, Emak, dan anak-anaknya hadir sebagai sebuah cerita tanpa intervensi konteks sosial politik yang lebih besar. Masalah hadir secara internal dan diselesaikan secara internal.
Kedua, keluarga jadi latar cerita untuk mengambil opini atas sesuatu yang lebih besar. Bawuk (Umar Kayam) atau Laut Bercerita (Leila Chudori) bisa jadi dua contoh. Tokoh utama dan relasinya dengan keluarga dipakai sebagai penggerak cerita untuk membicarakan isu yang lebih besar. Dan tentu sebagai teknik untuk mendekatkan pembaca secara emosional. Jelas tak ada yang keliru dengan pendekatan itu, sayangnya dalam konteks tertentu pendekatannya tetap menempatkan keluarga sebagai unit terkecil yang tak berdaya di tengah sistem yang lebih besar. Ia merawat pendekatan yang dilematis.
Bermain Rahasia tak jatuh pada dua kutub itu. Ia menempatkan keluarga sebagai entitas mandiri, tapi tak naif melupakan aspek-aspek sosial di luar keluarga. Contohnya novelet ini membicarakan isu gentrifikasi dengan kisah keseharian antara anak komplek dan kampung. Juga konflik ’98 yang menjadi satu kesatuan dalam cerita.
Betul bahwa keluarga hidup dalam sistem yang lebih besar. Namun, keluarga juga punya daya tahan untuk melawan sistem itu, bukan sekadar menjadi bagian darinya.
Refleksi yang juga saya dapat pasca membaca Bermain Rahasia adalah pertanyaan, “Apakah keluarga bisa menyelesaikan konflik secara mandiri?”
Bermain Rahasia membuka ruang diskusi yang penting di sisi itu. Adinda berupaya mengobati lukanya bukan dengan berkomunikasi bersama keluarga intinya. Ia berupaya menyelesaikan masalah justru dengan dibantu oleh orang-orang di luar ikatan darah dengannya. Asisten rumah tangga yang menemaninya dari kecil, Bik Inah. Plus, tukang ojek masa kecilnya, Bang Aji.
Saya kurang sepakat dengan pendekatan yang Ardi Yunanto pilih pada penyelesaian konflik itu. Pendekatan itu di satu sisi menggugurkan perspektif memandang keluarga sebagai entitas mandiri. Sebab keluarga tersebut tak bisa menyelesaikan masalah itu secara internal.
Hal itu mengingatkan saya pada salah satu kritik penyelesaian konflik di film Perempuan Berkalung Sorban. Tokoh utama pada film itu ingin membawa isu kesetaraan gender pada pesantren. Cara yang ia tawarkan melalui buku-buku berisi isu kesetaraan bagi para santri. Ia kemudian membawa buku Pram sebagai solusi. Itu jelas dilematis mengingat kesetaraan perempuan banyak dibicarakan dalam literatur islam atau aktivis perempuan Mesir cum Timur Tengah yang lebih dekat dengan komunitas pesantren. Namun, ia justru menawarkan Pram yang seorang laki-laki dan bukan bagian dari komunitas pesantren sebagai jalan solusi.
Bermain Rahasia seperti jatuh pada lubang yang sama. Alpa mencari solusi dari dalam keluarga.
Namun, bisa jadi itu juga siasat Ardi Yunanto untuk menyatakan bahwa keluarga adalah entitas yang terbuka. Keterbukaan pada umpan balik dari aktor-aktor di luar keluarga jadi penting dalam upaya berdamai.
Purna rasa setelah membaca Bermain Rahasia cukup mengganggu pikiran saya. Ia membawa saya merefleksikan banyak hal soal keluarga. Pertanyaan-pertanyaan yang terasa tak nyaman. Karena bagaimana pun, saya dan banyak orang lainnya adalah anak kandung orde baru dengan perspektif memandang keluarga sebagai sesuatu yang taken for granted.
Pasca membaca Bermain Rahasia, saya pulang ke rumah karena ibu sakit batuk berkepanjangan.
Meskipun batuk, ibu ngeyel untuk tetap memasak kue. Selama pandemi, ibu saya memang berjualan makanan kecil sebagai tambahan pendapatan karena tokonya di pasar sepi.
Di rumah saya banyak berefleksi mengenai relasi keluarga, soal perbedaan kehidupan antara saya dan orangtua. Saya memahami Adinda, mungkin ada banyak hal yang tak bisa kita utarakan dalam keluarga. Jarak generasi, kultur, dan cara pandang resolusi konflik yang berbeda adalah deretan alasan yang bisa diajukan.
Pada saat menginap di rumah, saya mengobrol banyak dengan ibu dan bapak. Bukan soal isu besar, tapi sekadar hal remeh temeh keseharian. Soal makanan kecil, soal pelanggan di pasar, pun soal batuk ibu.
Di titik itu saya sadar, keluarga sejatinya adalah unit terkompleks, bukan unit terkecil. Ia terbangun dari fragmen-fragmen kecil yang perlu terus dirawat.
Tak dipungkiri, rasanya ironis mengatakan ini setelah apa yang saya sudah tuliskan: Ada hal-hal yang lebih baik untuk sekadar dirasakan bukan diutarakan dalam keluarga.
Saya jadi curiga, jangan-jangan setiap dari kita sedang Bermain Rahasia dengan keluarga?