Saya memahami bapak ketika ia melepaskan identitasnya sebagai bapak. Ketika ia menunjukkan bahwa tak apa menjadi rapuh.
Magrib beberapa hari lalu jadi salah satu hari terberat saya. Kondisi ibu menurun drastis. Pihak rumah sakit menyodorkan sebuah surat yang perlu saya tanda tangani. Isinya kurang lebih sebuah pernyataan bahwa keluarga setuju jika terjadi hal terburuk pada ibu, maka ia akan dikebumikan dengan syarat yang sudah disepakati dalam surat itu.
Saya sendirian di rumah sakit. Pikiran saya kalut. Saya tahu satu orang yang harus saya minta persetujuan sebelum saya menandatangani surat itu: Bapak!
Di ujung telepon suara bapak bergetar. Pertama kalinya dalam hidup saya mendengar suaranya begitu rapuh. Beberapa menit setelahnya, tangisnya pecah. Ia mengakhiri pembicaraan dengan berpesan, “Bapak percaya sama kamu, ambil keputusan terbaik menurutmu.”
Itu menit-menit terpanjang dalam hidup saya. Bapak memberikan keputusan paling penting tentang ibu pada saya, pada anak bungsunya. Mungkin saya akan merasa bersalah seumur hidup jika terjadi apa-apa pada ibu karena tanda tangan saya.
Bapak memilih untuk tak memutuskan sendiri, ia memilih percaya pada anaknya.
Saya menandatangani surat itu dengan tanda tangan tak sempurna. Tangan bergetar. Air mata menetes.
Lebih dari itu saya menyadari satu hal: Bapak tak lagi menganggap saya sekadar anaknya, ia menganggap saya sesama orang dewasa yang harus berani mengambil keputusan.
Beberapa hari sebelum kejadian itu, Bapak menjadi korban pencurian. Ia begitu terpukul saat penjambret mendorongnya dengan kasar untuk kemudian mengambil telepon selulernya. Bukan soal kehilangannya, tapi momen kejadiannya berbarengan dengan kondisi kesehatan ibu yang terus menurun. Pasca kejadian itu, ia tak bisa berpikir jernih. Tatapan matanya kerap kosong.
Hari-hari ke belakang, saya mencoba memahami bapak dengan perspektif yang lain.
Bapak tumbuh dengan tuntutan menjadi laki-laki yang kuat. Ia anak laki-laki tertua dalam keluarga. Hanya tamat Sekolah Teknik Menengah (STM), ingin melanjutkan kuliah teknik tapi tak memiliki uang. Selama berpuluh tahun, ia bekerja di pabrik mobil sebelum menjadi korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) saat krisis ekonomi menghantam pada tahun ’98.
Ia kemudian merintis usaha kecil bersama ibu. Usaha itu berhasil mengantarkan saya jadi sarjana.
Satu pesannya yang saya ingat, ia hanya ingin saya kuliah dan tak tumbuh menjadi seperti dirinya. Ia ingin saya naik kelas secara sosial ekonomi.
Saya dan bapak tak pernah dekat. Kami jarang mengobrol secara intens. Ia kurang senang dengan pilihan jurusan kuliah saya dan tak sepakat saat saya memutuskan menjadi relawan pengajar selama setahun pasca wisuda. Selebihnya kami jarang mengobrol. Tipikal seorang bapak yang konservatif.
Semua berubah sejak ibu sakit.
Semenjak kondisi kesehatan ibu menurun, saya banyak berinteraksi dengan bapak. Faktor usia membuatnya tak lagi cekatan. Ia kurang bisa mencerna dengan jernih penjelasan dokter dan kerap ragu dalam memutuskan sesuatu.
Ia bukan lagi seorang laki-laki yang kuat secara fisik. Rambutnya penuh dengan uban. Kerutan di wajahnya makin tebal. Ia tak sekuat dulu lagi. Konsentrasinya memudar.
Ada perasaan aneh melihat perubahan fisik dan psikologis bapak yang termakan usia.
Saya ingat ada sebuah ungkapan lawas mengatakan: “Saat kecil, seorang anak laki-laki akan membenci ayahnya. Setelah dewasa, anak laki-laki akan bercermin dan melihat sosok ayahnya di cermin itu.”
Hari-hari ini saya mungkin sedang bercermin, belajar memahami bapak. Saya tak memandangnya dalam hubungan orangtua-anak. Saya memahami bapak sebagai seorang manusia.
Laki-laki yang linglung ketika pasangan hidupnya sedang sakit. Yang melepaskan segala atribut maskulinitasnya dan berubah menjadi manusia yang mencintai pasangannya sepenuh hati.
Ironis rasanya ketika saya memahami bapak justru ketika ia melepaskan semua atribusi “kebapakannya”.
Bapak dan banyak bapak lainnya mungkin sekadar menjadi korban atribusi maskulin yang memberatkan. Yang harus selalu tampil kuat. Yang tak menyediakan ruang untuk mengekspresikan perasaan. Kemudian identitas itu diteruskan pada anak laki-lakinya. Menjadi prototipe bapak yang ideal. Yang sejatinya penuh dengan maskulinitas semu. Rantai itu terus dirawat. Dan sulit untuk memutusnya.
Beruntung bapak berani memutus rantai itu. Ia berani untuk mengatakan keresahannya. Ia lantang mengekspresikan perasaannya sebagai manusia. Ia tak mewariskan kekuatan semu. Ia mewariskan perasaan bahwa manusia bisa rapuh, tak terkecuali seorang bapak.
Rantai itu putus bukan karena keberanian, rantai itu putus karena kasih sayang. Karena rasa cinta bapak pada ibu yang tak terbatas.
Awal minggu ini, sebelum saya berangkat ke kantor, bapak bercerita khawatir dengan kondisi ibu. Ia menangis saat bercerita. Saya hanya bisa mendengarkan, saya ingin bapak lega menceritakan keresahannya.
Di akhir ceritanya, saya memeluk bapak sambil berkata, “Pak, semua akan baik-baik saja!”
Saya tahu ucapan itu hanya pemanis belaka. Saya juga tak tahu apa yang akan terjadi di depan. Yang saya tahu, orang yang saya peluk adalah bapak saya. Ia yang mengajari saya bukan untuk selamanya menjadi kuat, ia yang mengajari saya untuk terus mencintai orang yang kita sayang, seberat apa pun upaya itu.
Ia bapak saya.
We, kukirimkan peluk untukmu, bapak, dan ibu.
Juga kukirimkan doa untuk kalian semua.
Pada waktunya mungkin tak merasa kuat, istirahat sebentar.
LikeLike
We, kukirimkan peluk dan doa untukmu, ibu, dan bapak.
Jika suatu ketika tak kuat, istirahatlah barang sebentar, tak apa.
LikeLike
Makasih banyak Mbak Sita. Insha Allah kuat, amin!
LikeLike