Sidekick

Urip mung mampir ngejus

Apa yang membuat kita tetap waras saat dewasa? Karena kita pernah muda.    Dua bulan ini, sepupu saya dari Solo menumpang tinggal di rumah. Ia magang dalam sebuah rumah produksi kecil di ibukota. Perawakannya tipikal mahasiswa era 90-an: Rambut gondrong keriting, tas selempang dari goni, tak ketinggalan menenteng buku-buku khas pergerakan.   Saat melihatnya, saya …

Continue reading

Apa yang membuat amarah membuncah? Jawabnya sederhana: Air mata yang tumpah.    Ini cerita seorang kawan yang saya kenal sejak delapan tahun lalu. Saya meragukannya saat pertama kali kenal. Kami sama-sama menjadi relawan pengajar di wilayah Selatan Sumatera.    Ia sangat berbeda dengan saya. Tipikal anak pintar di kampus, hidupnya tertata rapi, dan selalu bertindak …

Continue reading

Bagaimana jika kita tak pernah merasa menjadi bagian dari kelas tertentu?    Pelayan itu mengenakan baju putih. Berbeda dengan warna baju pelayan lainnya. Perawakannya senada dengan warna bajunya. Polos.   Tingkahnya kikuk, agaknya ia masih dalam masa pelatihan.   Sial, sore itu nasib mujur benar-benar menjauhinya. Di pojokan restoran, ia terpeleset saat mengantarkan minuman. Bukan …

Continue reading

Jika ada pertanyaan trivia, di mana tempat paling puitis di Jakarta, saya akan mengajukan satu jawaban: Karet. Tepatnya kompleks pemakaman Karet.   Pagi ini saya membaca ulang buku-buku bertema Lebaran. Salah satu yang saya baca adalah kumpulan cerpen “Lebaran di Karet, di Karet…” yang ditulis Umar Kayam. Buku itu saya temukan di kamar lama kakak …

Continue reading

Ode untuk toko roti tempat kencan terakhir Gie dengan Kartini.   Bu Sinta menjauhkan buku saya dari matanya. Ia agaknya lupa membawa kacamata plusnya. Bola matanya kelabakan membaca font ukuran 12. Ia mengangguk pelan sebelum mengucapkan sebuah kalimat, “Oh Gie pernah ke sini.”   “Ke sini” merujuk pada toko roti kecilnya di bilangan Matraman, Toko …

Continue reading

  Saya berdiri di depan sebuah mural berukuran sekitar 3×3 meter. Tepat di bagian bawah mural itu terdapat tali jemuran. Sebuah daster, celana panjang, dan celana dalam berwarna hitam digantung di jemuran tersebut. Melihat itu saya hendak mengeluarkan telepon seluler untuk mengabadikannya. Mural dan jemuran tentu sebuah juxta yang menarik.   “Maaf Mas, saya angkat …

Continue reading

Apa yang lebih penting dari mencapai sesuatu yang ideal? Bagi saya, memahami apa yang ideal bagi orang lain.   Empat orang yang duduk di depan saya langsung melantangkan suaranya ketika sate saya datang. Mereka protes kepada salah seorang tukang sate karena pesanannya belum datang. Sementara, saya yang datang belakangan sudah mendapatkannya. Saya berusaha menawarkan sate …

Continue reading