Sidekick

Urip mung mampir ngejus

Mengapa desa kerap dianggap jadi pelarian dari kebisingan? Jangan-jangan kita adalah kebisingan itu sendiri.


Saya kaget melihat respon tukang parkir di Klaten yang menolak diberi uang. Saat itu, saya dan pasangan membungkus soto untuk dibawa pulang. Saat saya berikan lembaran dua ribu, ia dengan sopan menolak, “Mboten sah, Mas. Digowo mawon.”

Usut punya usut, saya dan pasangan baru tahu pembeli yang membungkus makanan tidak perlu membayar parkir. Tarif parkir hanya berlaku untuk mereka yang makan di tempat. Ini hal lazim atau dalam bahasa sekolahan, semacam kearifan lokal. Sialnya, saya tetap saja kaget. Tentu perilaku juru parkir itu hal yang aneh jika dibandingkan dengan tukang parkir di kota yang lebih senang menagih alih-alih membantu orang memarkir kendaraan.
 

Kejadian mirip muncul saat saya ingin memberi tip bagi ojek daring yang mengantarkan pesanan makanan di Bantul. Kondisi sudah larut, lokasi saya jauh dari kota Jogja, dan gerai makanan yang saya pesan tak bisa dibilang dekat. Namun, ojek daring itu menolak dengan halus tip yang saya berikan. Setelah saya paksa, ia baru mau menerimanya.
 

Dua kejadian itu membawa saya pada banyak pertanyaan. Mulai dari kenapa logika keuntungan ekonomi tak jadi landasan berpikir? Apa yang menyebabkan keduanya berperilaku seperti itu? Dan banyak pertanyaan lainnya.

Continue reading

Categories: Uncategorized

Apa jadinya jika bahasa hanya dirayakan dalam koridor baku dan tidak baku?

 

Tiap hari besar, beberapa rekan sering bertanya mengenai penulisan kata yang tepat untuk momen tersebut. Misalnya, di momen jelang lebaran, pertanyaan yang sering muncul adalah, “Nulisnya Idulfitri atau Idul Fitri ya?”.

 

Mungkin banyak kalangan jurnalis atau penulis wara yang berhadapan dengan pertanyaan tersebut. Tulisan ini adalah sebuah upaya untuk bercerita dan menyampaikan keresahan saya tentang momen-momen seperti itu.

 

Penafian: Tulisan ini tidak bertendensi menjawab pertanyaan dalam koridor “benar” dan “salah”. 

Continue reading

Ia yang tak pernah lulus sekolah, tapi mengajari saya semua hal yang tak diajarkan di sekolah. Ia yang melahirkan saya. 

 

“Ting…ting…ting,” suara sendok beradu dengan mangkuk sering saya dengar tiap tengah malam. Suaranya tak kencang, tapi selalu terngiang. Suara itu berasal dari tukang sekoteng keliling yang lewat di depan kos saya. 

 

Kamar saya berada di pojok lantai teratas. Desibel suaranya masih terdengar dengan minim. Saya selalu berhenti bekerja setiap mendengar itu.

 

Bagi saya ia seperti alarm yang jauh, sebuah pengingat dari masa lalu. 

Continue reading

“Apa gambaran terbaik tentang ironi keluarga Indonesia? Bagi saya jawabnya jelas: Grup WhatsApp Keluarga.” 

 

Saya punya pakde yang hobinya unik. Ia senang sekali meneruskan pesan dari grup WhatsApp yang ia ikuti ke grup keluarga besar kami. Apapun bentuk pesan itu: Mulai dari gambar bunga sampai kritik pada negara, tentu tak lupa lawakan ala orang tua. Tak jarang pula, ia mengirim informasi nir-verifikasi. 

 

Dulu, saya menganggapnya menyebalkan. Langkah selanjutnya jelas solusi instan, saya memilih keluar dari grup WhatsApp keluarga. Namun, lama kelamaan saya malah penasaran kenapa pakde saya senang meneruskan pesan?

Continue reading

WhatsApp Image 2020-02-01 at 13.05.26

Tentang mereka yang hadir di kepala saat Konser Efek Rumah Kaca. 

 

Tepat ketika memasuki M-Bloc, saya melihat sosoknya. Ia yang menyita perhatian publik beberapa bulan lalu. Aparat sempat menahannya beberapa jam entah dengan alasan apa. Sejatinya ia tak layak ditahan, ia hanya mendukung upaya-upaya mahasiswa dan masyarakat sipil untuk merawat reformasi. 

 

Sejak penahanan itu, kami belum pernah bertemu lagi. Kami hanya bisa mencoba menebak kabar masing-masing. Malam itu, rasa penasaran kami terbalas. 

Continue reading

Apa yang membuat kita merasa lebih berhak memperjuangkan sesuatu daripada yang lain? 

 

Ini cerita tentang seorang teman. Saya akan memulainya dengan gambaran yang tipikal. Ia Tionghoa. Tinggal di Kelapa Gading. Berasal dari kelas sosial yang lebih baik daripada saya. Saya sering menyapanya dengan panggilan “Cici”. Sebuah panggilan yang juga tipikal dan merujuk pada minoritas ganda: Ras dan Gender.

 

Saya tak punya irisan latar belakang dengannya. Kelas, gender, ras, pergaulan, dan segala atribut keseharian kami berbeda. Maka, formula tercepat adalah memasukkannya ke dalam sebuah kantong persepsi. Konsekuensinya jelas: Stereotip. 

Continue reading

Kenapa kita terobsesi dengan fisik bangunan, bukan interaksi di dalamnya?

 

Pemandangan ‘estetis’ saya temui di samping Galeri Nasional. Beberapa tukang bangunan berjejer di depan gedung yang sedang mereka bangun. Dua tiga kuli memesan siomay yang mangkal di depan mereka. Wajah berminyak kelelahan berpadu padan dengan warna-warni rompi bangunan.

 

Di belakangnya, spanduk besar bergambar pohon-pohon ditempel di seng depan bangunan untuk menutup rangka-rangka yang berantakan. Jelas dalam rangka kamuflase keindahan. Tipikal. 

Continue reading

Apa yang membuat kita tetap waras saat dewasa? Karena kita pernah muda. 

 

Dua bulan ini, sepupu saya dari Solo menumpang tinggal di rumah. Ia magang dalam sebuah rumah produksi kecil di ibukota. Perawakannya tipikal mahasiswa era 90-an: Rambut gondrong keriting, tas selempang dari goni, tak ketinggalan menenteng buku-buku khas pergerakan.

 

Saat melihatnya, saya seperti berkata dalam hati, “been there”. Sayangnya, bukan itu yang terucap di mulut, yang saya katakan padanya justru nasehat-nasehat normatif. Mulai dari memintanya untuk mencukur rambut karena Jakarta panas, mengingatkan untuk tetap serius kuliah agar indeks prestasinya membaik, dan petuah-petuah lainnya.

Continue reading

Apa yang membuat amarah membuncah? Jawabnya sederhana: Air mata yang tumpah. 

 

Ini cerita seorang kawan yang saya kenal sejak delapan tahun lalu. Saya meragukannya saat pertama kali kenal. Kami sama-sama menjadi relawan pengajar di wilayah Selatan Sumatera. 

 

Ia sangat berbeda dengan saya. Tipikal anak pintar di kampus, hidupnya tertata rapi, dan selalu bertindak dengan rencana. Sementara saya adalah antonim dari itu semua. 

 

Sayangnya, stereotipe memang bekerja dengan cara yang jahat, sangat jahat. Saya termakan stereotipe itu.

Continue reading

Bagaimana jika kita tak pernah merasa menjadi bagian dari kelas tertentu? 

 

Pelayan itu mengenakan baju putih. Berbeda dengan warna baju pelayan lainnya. Perawakannya senada dengan warna bajunya. Polos.

 

Tingkahnya kikuk, agaknya ia masih dalam masa pelatihan.

 

Sial, sore itu nasib mujur benar-benar menjauhinya. Di pojokan restoran, ia terpeleset saat mengantarkan minuman. Bukan hanya tiga gelas yang pecah, kepercayaan dirinya juga ikut ambyar.

Continue reading