Jumat pekan lalu di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, tepatnya di kantor ruangrupa, seorang pria berbaju hitam menyambut saya dengan ramah. ruangrupa sendiri adalah organisasi seni rupa kontemporer yang sudah berdiri selama 13 tahun. Sementara pria berbaju hitam itu adalah Ardi Yunanto, Pemimpin Umum Majalah Bung! –sebuah majalah pria terbitan ruangrupa selama tahun 2011-2012.
Majalah dengan semboyan “Hidup Pria Indonesia” ini mulai terbit pada Oktober 2011. Sejak awal kemunculannya, ada yang berbeda dari Bung! Ia seperti sebuah anomali di tengah gempuran majalah pria franchise yang terbit di negeri ini. Di mata Majalah Bung! pria Indonesia muncul dengan karakter yang begitu jujur dan tak terbebani dengan beragam atribut maskulinitas klise lainnya. Bung! adalah majalah pria yang ngehek, terlalungehek bahkan.
Sayangnya berita mengejutkan itu hadir juga. Di edisi empat (Desember 2012) Majalah Bung! menyatakan pamit. Ardi Yunanto, dalam artikel perpisahan di edisi itu menyatakan Bung! memang dirancang hanya empat edisi. Majalah itu kini telah pergi. Namun kehadirannya sebagai sebuah oase di tengah majalah pria yang terlalu klise patut mendapat apresiasi.
Sambil ditemani minuman yang sangat tidak laki-laki –dua buah teh kotak– di wawancara ini Ardi Yunanto menjawab beragam pertanyaan seputar majalah Bung! Mulai dari ketidakpuasannya terhadap majalah pria saat ini, relasi majalah dengan pembaca yang hilang, dan tentu soal wajah pria, tepatnya wajah kita di media mainstream.
Bisa diceritakan awal mula ide menerbitkan majalah Bung!?
Awalnya simpel banget, waktu itu Ford Foundation kerjasama dengan ruangrupa. Kerjasama itu terbentuk di tiga kegiatan yakni Gerobak Bioskop, OK.Video 2012 dan kemudian muncul ide membuat majalah. Konsep awalnya masih majalah saja, belum jadi majalah pria. Ide majalah pria muncul ketika salah satu dari kami sedang menjalani proses perceraian. Prosesnya sebenarnya tidak melankolis tapi ternyata secara birokrasi ruwet banget. Dari obrolan soal itu, keluar pikiran bahwa kalau dipikir-pikir hal seperti itu tidak pernah dibahas di media.
Mulai muncul ide membuat majalah pria. Sebab pria sekarang tidak terwakili di media cetak. Majalah franchise pria di sini menurut kami gagal mencitrakan pria Indonesia. Mereka kebanyakan mengangkat pria kelas menengah di luar, ketika masuk di sini itu jadi glamor, pria kelas menengah di sana jadi kelas atas di sini.
Berarti awak Majalah Bung! merasa majalah pria saat ini gagal?
Iya. Kami merasa itu berhenti di Hai dan Matra. Nah Matra kan juga dikerjakan oleh grup Tempo. Kami jadi mikir, majalah memang benar-benar harus diurus dengan kerja jurnalistik yang benar. Maksudnya begini, kalau bikin majalah budaya ya harusnya sebanding dengan majalah politik sekalipun. Ibaratnya kalau disandingin secara konten sama-sama dalam.
Nah sekarang majalah-majalah pria tidak menaati azas-azas jurnalistik. Jangan sekadar memberi tahu sebuah info, tapi harusnya dibahas. Sekarang semangatnya masih, “Nih gue tau, lo gak tau kan?” Semua orang dasarnya tidak suka dikasih tahu. Jadinya secara konten masih berkutat ulasan Si A main di film B. Semua itu bisa kita temuin di Internet sekarang. Justru kita kehilangan masalah sehari-hari, itu tidak pernah dibahas di majalah.
Kalau bicara kedalaman bukankah Playboy Indonesia berhasil melakukannya?
Kalau Playboy bisa diterima karena waktu itu mereka bikin jaringan dengan orang yang tepat. Dan pilihan-pilihannya menarik. Playboy mewawancarai Pramoedya, misalnya. Kalau Playboy hidup terus, bisa jadi ia menjaring pembaca baru. Misalnya yang suka Pram beli, sementara ada juga bokap-bokap yang demen “porno-nya” saja, jadi ikut baca wawancara dengan Pram juga (Tertawa). Dan bagusnya Playboy tidak moralis.
Coba bandingin misalnya sama majalah pria yang umum. Ada cewek-cewek dalam pose yang seksi disandingin sama aktivitas profesional dia yang tidak oke-oke banget. Kalau emang tujuannya hanya nampilin bodi bagus. Ya sudah, bilang saja bodinya bagus. Popular saat 1990-an juga, misalnya, bahas dunia malam dengan sudut pandang pengintip. Kayak ngasih tahu bahwa ini adalah sesuatu yang gelap dan jangan diikuti. Moralis banget. Tapi tetap, cewek di dalamnya masih dipersepsikan sebagai yang lain. Konsepsi seksualitasnya jadi tidak solid. Harusnya, misal saat bahas seks bebas, ya terserah orang mau melakukan atau tidak. Ketika lo mengobjektifikasi, jujurlah lo sedang mengobjektifikasi. Jangan sok moralis. Tapi, bukannya nasionalistik –tetap saja Matra itu lokal, Playboy franchise. Ada hal-hal tentang pria Indonesia yang tak sepenuhnya bisa diwakili oleh Playboy yang tentu memang sudah punya pakem sendiri dari sananya.
Kembali ke Majalah Bung! Mengapa ruangrupa merasa penting menerbitkan majalah pria di tahun 2012? Mengapa tidak meneruskan jurnal Karbon (Karbonjournal.org) yang vakum misalnya?
Ini tentu terkait kesempatan sebuah proyek yang didanai, yang merdeka. Benar-benar tanpa intervensi apa pun. Tadinya Ford Foundation bahkan tidak menyangka bakal jadi seperti ini. Mereka tidak menyangka majalahnya akan seserius ini. Anak-anak juga semangat ngerjain hal yang baru. Karena kita juga mikir kalau bikin majalah cetak dengan isu seperti di jurnal Karbon, akan terlalu berat untuk diterima.
Ini juga bentuk ketidakpuasan atas majalah pria yang ada saat ini?
Kurang lebih seperti itu. Tapi kami juga sadar, kekuatan majalah juga ada di jaringannya. Kami tidak bisa nembus narasumber yang oke. Misalnya tokoh-tokoh politik yang lagi naik daun atau bermasalah. Kami tidak mungkin bisa menyaingi Matra dalam hal itu. Tenaga kami terbatas. Juga redaktur-redaktur kami tidak kerja harian untuk majalah ini. Kami sadar posisi kita. Awalnya, misalnya, sempat ingin bikin rubrik wawancara, tapi itu mustahil. Baru akhirnya, kami benar-benar mengandalkan kontributor. Tapi bukan berarti kayak ngelempar kerjaan ke orang lain.
Pasti, kita sering kan merasa, “Wah artikel seperti ini hanya bisa ditulis oleh si Itu”. Tapi ruang untuk artikel seperti itu selama ini tidak ada. Kami kemudian bisa dengan bangga bilang, apa yang ditulis Bung! tidak ada di majalah lain, misalnya kayak lika-liku hubungan dengan mertua (tulisan Ifan Adriansyah Ismail, majalah Bung! edisi 4 –pen). Penyalurannya di mana? Tempo tidak mungkin, majalah pria franchise apalagi.
Tulisan seperti itu juga harus panjang karena butuh kedalaman tertentu. Banyak penulis-penulis bagus tapi tidak memiliki ruang nulis yang panjang. Dari situ kita mikir bahwa beberapa tulisan di Bung! harus tulisan panjang. Sangat tidak adil kalo lo bikin majalah bulanan tapi tulisannya secuil-cuil. Konsep bulanan buat kami bukan soal waktu penerbitan. Majalah bulanan berarti harus bisa dibaca selama sebulan. Minimal apa yang ada di majalah itu bisa mempengaruhi hidup pembacanya selama sebulan.
Dengan konsep tulisan panjang seperti itu, apa hambatan yang dihadapi?
Ketika edisi pertama, hanya orang-orang yang kami tahu tulisannya oke yang kami undang. Hampir semua kontributornya masih kami kenal atau minimal satu lingkaran pertemanan, tapi tentu yang sudah kami tahu kualitas tulisannya. Main aman banget. Sebab kami ingin edisi pertama itu jadi standar.
Kami kemudian latihan bikin brief untuk penulis. Untuk buat brief lo kan harus riset sana-sini biar keliatan pintar (Tertawa). Saya tahu itu yang dilakukan oleh majalah-majalah luar saat mengundang penulis, makanya kualitasnya terjaga. Ternyata itu efektif banget. Saya juga penulis, jadi tahu kalau diminta nulis begitu saja rasanya tidak enak. Seolah-olah yang minta nulis menganggap nulis itu gampang. Kami tidak mau seperti itu, makanya kami bikin brief-nya. Kami juga tidak ingin, karena tulisan panjang, majalahnya jatuhnya kayak jurnal. Brief-nya kami buat sesuai dengan gaya bahasa Majalah Bung! Budi Warsito (Pemimpin Redaksi edisi pertama) berperan besar dalam proses bikin brief yang bagus.
Kami sadar akhirnya akan berurusan dengan penulis-penulis yang tidak kami kenal, karena itu kami harus tampil meyakinkan dengan bikin brief yang bagus. Kami teliti banget soal ini. Kami mengirim e-mail ke penulis dengan memberi tahu alasan kami milih mereka karena sudah baca tulisan mereka dan hanya mereka yang akan bisa bahas topik yang ingin kami bahas. Semua penulis pasti senang ketika ada orang menyapa di e-mail dan bilang kalau tulisannya selama ini dibaca. Brief-nya cukup manjur. Bahkan beberapa penulis mengaku senang karena baru kali itu mereka diperlakukan sebegitunya sebagai penulis –dikasih brief, diskusi, sangat mempermudah kerja mereka. Jadi mikir, selama ini mereka diperlakukan seperti apa ya sama media? (Tertawa)
Hambatannya, karena sekarang hampir tidak ada media massa yang menyediakan ruang tulisan yang panjang, kami jadi tidak punya patokan buat menduga “napas panjang” seorang penulis. Orang yang biasa menulis pendek, belum tentu kuat untuk menulis panjang. Jadi kami menduga-duga saja. Kebetulan sejauh ini, hampir semuanya baik-baik saja, hasilnya kurang-lebih sesuai dengan yang kami harapkan.
Mungkin ini pertanyaan yang terlalu luas. Tapi secara sederhana seperti tagline kalian “Hidup Pria Indonesia”. Bagaimana Majalah Bung! menggambarkan Pria Indonesia saat ini?
Saat awal ketika mikir pria Indonesia seperti apa, biar mudah kami bayangin, sebenernya, kami mikir, kalau dia jadi orang, kira-kira dia siapa, ya? Sosok yang keluar dari kami misalnya, Iwan Fals, Ryan Hidayat, dan Alex Komang. Dari situ kami mikir kalau orangnya kayak gitu, kira-kira sehari-harinya gimana, ya? Membayangkan dia sebagai manusia. Wah, pasti orangnya bengal, pinter, kalau ngomong langsung saja enggak pake basa-basi, lucu dengan tingkat kesatiran tertentu, tidak moralis, tidak masalah menjadikan dirinya sendiri sebagai lelucon. Yang pasti tidak menggurui. Mungkin kurang lebih, itu gambaran yang kami buat tentang pria Indonesia.
Di tengah banyaknya webzine dan tutupnya majalah pria seperti U Magz terbitan Tempo Media, mengapa ruangrupa justru berpikir untuk menerbitkan majalah?
Saat awal sama pendonor, kami tidak mikirin risiko itu. Kan ada yang membiayai. Jadi enggak perlu mikir risiko bakal rugi. Yang lebih penting adalah agar majalah ini terbaca. Kalau ini misal jadi majalah beneran pasti manajemennya akan berbeda sama sekali. Anehnya majalah sekarang, misalnya majalah budaya atau gaya hidup timnya sedikit banget. Ketika majalah timnya sedikit maka majalah itu akan sangat bergantung pada kontributor. Kontributor juga butuh maintenance. Sulit ditangani oleh tim yang sedikit. Sementara penulis-penulis dalam majalah itu sendiri disiksa dengan tuntutan artikel-artikel pendek. Jadinya kualitas tulisannya tidak terjaga. Kalau mau jadi majalah beneran, ya kita harus menjadi seserius majalah berita, tiap rubrik ada penanggungjawabnya sendiri, misalnya.
Saat awal pengonsepan majalah ini, majalah atau media apa yang menjadi rujukan utama tim redaksi?
Hai sampai dekade 1990-an, Matra, Tempo, sama Pantau. Majalah-majalah luar juga ada beberapa kayak Esquire dan New Yorker.
Saat awal pembuatan majalah ini, dalam bayangan Anda siapa yang akan jadi pembacanya?
Usianya 25-45, awal kepikirannya. Jadi kami perlu menjangkau hal-hal yang mungkin dengan range itu. Wajah pria tidak hanya satu, macam-macam. Kami pingin Bung! bisa mewakili semua. Tentunya jadi butuh variasi tulisan. Pembacanya range-nya segitu, jadi kontributornya juga segitu. Menariknya ternyata, bisa kok menyelaraskan nada tulisan dengan range sebesar itu, jadinya majalah ini kalau dibaca anak usia 25, dia akan dapat apa yang belum dia alami, misalnya soal perkara rumah tangga. Kalau yang baca usia 45 minimal dia bisa lihat dirinya yang dulu.
Di edisi 4, dalam tulisan perpisahan kepada pembaca, Anda seperti merasa pria generasi sekarang tak punya majalah penanda zaman seperti majalah Hai di dekade 1990-an, menurut Anda apa yang menyebabkan hilangnya itu?
Banyak faktor. Industri bacaan kita selain beberapa media berita yang besar seperti Kompas dan Tempo tidak bisa menghadapi Internet. Ada majalah yang berusaha tapi tidak sanggup. Maunya mengejar kecepatan, padahal yang dibutuhkan majalah adalah kedalaman.
Faktor lain, majalah timnya sedikit. Honor penulis di majalah juga kecil. Efek dari itu, industri bacaan kita tidak bisa merawat kualitas tulisan yang dimiliki oleh penulis-penulis lepas. Penulis lepas jadinya harus memiliki pekerjaan lain yang kadang tidak berhubungan sama sekali dengan dunia penulisan. Kita juga tidak punya asosiasi penulis yang membuat bayaran penulis tidak rendah.
Juga sekarang, kebanyakan pendapatan majalah dikejar untuk bersumber dari iklan. Entah kenapa, jadinya tanggung jawab ke pembaca berkurang. Ketika relasi majalah dengan pembaca hilang, maka tanggung jawabnya ke pengiklan –kecuali punya integritas tertentu, ya. Kualitas tulisannya jadi tidak terjaga. Atau jangan-jangan memang tidak dibutuhkan untuk bisa terjaga.
Saya pikir ya, banyak majalah pria dibuat semata untuk bisnis, bukan untuk membicarakan pria. Yang digambarkan sebagai pria kemudian ya sedapatnya saja. Dan ketika majalah itu adalah majalah franchise, tentu ada keterbatasan tertentu terkait dengan pakem-pakem yang harus dipenuhi dari mereknya. Pertanyaannya, mau atau tidak repot-repot untuk menerjemahkan apa yang dimaksud sebagai pria di luar sana, dengan pria yang sesungguhnya ada di kita. Tapi ya, tentu saja, Bung! sendiri bisa bebas begini mungkin juga karena jauh dari bisnis. Dalam bisnis tentu ada pertimbangan lain, yang mungkin juga tidak bisa saya hadapi.
Menurut Anda apakah penting ada sebuah majalah yang mewakili zaman?
Penting banget ada majalah yang mewakili zaman. Megang majalah tuh seharusnya membanggakan. Itu salah satu yang jadi semangat Bung! juga. Indikatornya gini deh, ketika lo bawa majalah, lo ngebawa majalah itu ditenteng dengan sampul di depan (Saat mengucapkan ini Ardi Yunanto memperagakan cara menenteng majalah yang benar versinya –Pen). Kalau bawa beberapa majalah franchise pasti dimasukin tas karena sampulnya cewek telanjang, malu ditenteng-tenteng (Tertawa).
Juga lo cuek menaruhnya di ruang keluarga. Dulu Hai bisa lo taruh di mana saja, taruh di ruang keluarga, jadi kayak mewakili lo sebagai remaja cowok. Kita menyukai produk budaya kan karena kita merasa terwakili. Terwakili oleh sesuatu yang dekat dan kontekstual. Dan sebuah majalah yang mampu mewakili zamannya, sampai digemari banyak orang juga misalnya, akan jadi ruang publik tersendiri bagi pembacanya. Sarana kita dalam memahami kehidupan kita sendiri, dengan cara yang hanya bisa dilakukan oleh majalah. Dia akan jadi memori bersama di kemudian hari. Salah satu hal yang saat itu bisa menjadi bagian dari identitas kita, dan kemudian turut membentuk identitas kita bersama.
Majalah pria biasanya bercerita soal mereka yang terkenal atau sosialita, mengapa Bung! justru mengangkat cerita orang-orang biasa? Tukang ojek, supir bajaj, anggota geng motor, preman yang menjadi tukang parkir, misalnya. Apa suara mereka tak terwakili di media massa?
Kami sadar, di satu sisi, pria itu beragam. Dalam artian pekerjaan, kelas ekonomi dan sosialnya beragam. Tapi di satu sisi, siapa yang mau beli majalah itu bisa ketebak. Paling ya, “kelas menengah” juga yang beli, artinya lebih sedikit lagi orangnya. Tapi bukan berarti kita menutup mata pada keberagaman pria ini.
Yang penting adalah bagaimana caranya supaya kami tidak jadi turis saat membahas mereka. Tidak membuat mereka jadi yang lain (the other), enggak mengobjektifikasi. Ada kode-kode yang kita jaga. Seperti saat membahas preman, itu sudah ada kedekatan antara preman dengan fotografernya. Permasalahannya adalah preman itu tukang malakin orang tapi di sisi lain dia juga baik, kami tanya, mau tidak kalau dia disebut preman, kami tunjukin artikelnya. Ketika dia baca artikelnya, ternyata dia senang. Dan ya, suara mereka tak banyak terwakili di media massa.
Jika saya coba tarik perbandingan dengan sebuah harian besar yang setiap Hari Minggu juga mencoba mengangkat kisah-kisah orang biasa seperti obrolan tukang sayur. Namun entah kenapa seperti masih ada unsur memandang mereka sebagai objek yang eksotis. Sementara saat majalah Bung! menceritakan tukang ojek, preman, atau anggota geng motor saya merasa unsur eksotisme itu hilang, apa metode yang Bung! terapkan?
Mungkin karena adanya kesadaran kelas. Sesederhana mungkin, kayak menghargai orang lain. Redaktur-redakturnya cukup sensitif dengan itu. Roy Thaniago (Redaktur Majalah Bung!) adalah yang paling cerewet soal itu. Kami sadar eksotisme bisa terjadi. Apa kemudian itu diterjemahkan sebagai metode khusus, tidak tahu juga, ya. Kami cuma mastiin tidak berlebihan saja. Kami tidak pernah melihat orang terlalu tinggi atau terlalu rendah. Kami juga tidak menggunakan ukuran kepintaran yang kami punya ke orang lain. Ada bentuk kecerdasan yang beda. Setiap orang punya kelebihannya masing-masing. Tukang ojek lo ajak ngomong filsafat pasti bingung, tapi kalau lo adu pengetahuan soal jalan tikus, lo pasti kalah. Itu yang kami pegang. Kami juga sadar kami sedang bertamu. Maka bertamulah yang sopan.
Mungkin eksotisisme itu tidak terlalu kentara karena kami juga tak membahas terlalu banyak. Misal, saat nampilin soal “vespa tikus”, di sana kan ada perlawanan estetika, sesuatu yang juga tidak begitu kami ngerti. Makanya kami coba, gimana kalo kami tampilin itu dengan sederhana saja, tampilin gitu saja. Hanya sebatas menampilkannya. Untuk memberikan ruang yang memadai.
Produk ruangrupa seperti jurnal Karbon dan majalah Bung! banyak mengisahkan soal manusia perkotaan mengakali ruang di kehidupannya, mengapa topik itu selalu hadir di produk ruangrupa termasuk majalah Bung!?
Bawaan dari ruangrupa sih, itu ya. Salah satu kesamaan kami itu, adalah selalu takjub dengan apa yang ada di jalan. Kami tidak percaya pemerintah juga. Sampe kapan pun keadaan ya akan begini-begini saja. Jelas ada sistem yang rusak. Tapi orang-orang itu hidup-hidup aja kok dengan akal-akalannya. Kita bahkan juga berperan serta di dalamnya. Kenapa ketertarikannya ke sana, saya juga tidak tahu. Anak-anak sering bilang mungkin karena kami kelas menengah, tapi kelas menengah paling bawah, jadi sekali gampar langsung jatuh miskin (Tertawa). Positifnya kami bukan jadi jengah atau berjarak, kami masih jadi bagian dari itu.
Menurut kami, itu jauh lebih menarik untuk dibahas dibanding soal yang makro. Sebab jangan-jangan inisiatif yang kecil ini bisa menyumbang sesuatu untuk hal yang besar. Teori aja dilahirkan dari jalanan kan? Kayak ojek, misalnya, ada yang bilang dia sebagai “anak haram moda transportasi”. Tapi kan kita tidak bisa berpendapat seolah-olah dalam perjalanannya, ojek tidak punya andil. Sistem itu jalan kok. Cuma memang bukan sistem yang baku. Jangan-jangan si ojek ini malah bisa dipertahankan dan melahirkan sebuah sistem baru.
Majalah pria juga kerap memandang perempuan sebagai objek, hal ini tak terjadi dalam majalah Bung! bagaimana sebenarnya posisi perempuan dalam majalah ini?
Karena majalah lain sudah menampilkan perempuan seperti itu, jadi kita ya tidak perlu lagi nampilin seperti itu. Bokep banyak di Internet, lo tinggal download aja. Jadi kita tidak perlu lagi ngeluarin yang seperti itu. Lagi pula, kami tidak akan bisa bayar model buat berpose seperti itu juga. Kalau foto-foto model di majalah franchise mah nanggung, telanjang aja sekalian. Toh dengan berpose seperti itu, hasilnya juga tidak erotis. Kami mikir tidak penting-penting amat ada yang seperti itu.
Tapi anak-anak mikir, ini kan majalah pria, masak tidak ada ceweknya? Baru kemudian kami pikirin, dengan cara apa menampilkannya? Akhirnya, misalnya, untuk rubrik ‘Dari Mata Lelaki’ kami bikin konsep, yang memfoto modelnya si kontributor pria. Dia milih perempuan yang dia kagumi dan kenal untuk difoto. Jadi memang sudah dekat. Kalau begitu, kecil kemungkinannya jatuh ke objektifikasi. Kalaupun foto seksi ya seksi yang dimau oleh keduanya. Tapi lucunya tanpa foto-foto vulgar pun ada yang bilang ini majalah jorok. Ini kan menarik, karena ternyata jorok itu ada di persepsi kita masing-masing. Kontennya jorok, tapi tidak ada gambar jorok, tetap aja dibilang majalah jorok (Tertawa).
Saya paling penasaran dengan rubrik ‘Nasihat Ayah’. Setelah di rubrik-rubrik sebelumnya membahas kenakalan pria dan sejenisnya, mengapa Bung! memilih relasi anak laki-laki dan ayah untuk sebuah penutup di tiap edisinya, apa yang menarik dari hal itu?
Waktu itu kami sudah mikir, pasti halaman terakhir akan selalu jadi masalah. Ini gara-gara ‘Caping’ Tempo, jadi halaman terakhir, tanggung jawabnya berat, seolah-olah harus menghadirkan sesuatu yang berat. Majalah lain banyak yang berusaha ikutan seperti ‘Caping’ tapi gagal. Dan memang setiap majalah pasti punya itu, sesuatu yang istimewa sebagai penutup. Majalah Esquire punya ‘What I’ve Learned‘ kalau tidak salah, nah kan kami jadi mikir, untuk majalah ini apa, ya?
Ide rubrik ‘Nasihat Ayah‘ itu keluar dari Ika Vantiani (Redaktur). Kami juga melihat, hubungan anak laki-laki dengan bapaknya kan jarang yang pernah langgeng. Langgengnya setelah lo dewasa (Tertawa).
Kalau sama ibu, karena lawan jenis dan yang melahirkan, kemungkinan besar rukun-rukun, saja. Kalau dengan bapak, pasti aja ada yang salah dari kita. Dan pasti ada hal remeh temeh yang dulu kita benci dari bapak ternyata dalam perjalanan membentuk diri kita semua. Suka tidak suka lo sebagai anak dengan bapak lo, sehancur apa pun hubungan lo dengan bapak lo, dia punya peran. Dan ternyata setiap kami minta ke penulis untuk nulis relasi dia dengan bapaknya, itu juga jadi pengalaman baru untuk mereka.
Di tiap edisinya, Bung! senang merayakan memori kecil khas dekade 1990-an seperti tentang guru olahraga SKJ di edisi pertama (Budi Warsito) dan rekaman kaset di edisi keempat (Ardi Yunanto), mengapa Bung! tertarik mengangkat memori-memori kecil dan personal seperti itu?
Satu hal, pertama kami sadar kami bukan lagi bikin majalah yang diniatkan untuk terus terbit. Kebutuhan update-nya jadi tidak terlalu tinggi. Standarnya majalah kan banyakreview buku, film, atau album musik. Tapi review sudah banyak banget di Internet. Kami coba untuk tidak membahas karya, tapi kami lihat fenomenanya. Kami mau bikin rubrik film, waktu itu Rumahfilm.org masih aktif. Kami mau bahas musik, ada majalah Rolling Stone, bahas seni rupa ada di majalah Visual Art. Jadinya, kami mikir, jangan bahas produknya, tapi bahas produk budaya atau fenomena di dalamnya. Kami nyari kisi-kisi yang tidak ada di media lain. Salah satunya adalah dengan merayakan memori kecil itu. Khas dekade 1990-an, selain karena itulah yang kami mengerti sebagai redaktur, yang kebetulan ada di tengah usia target pembaca Bung!. Tak banyak ruang bagi nostalgia di majalah-majalah pria lain yang kebanyakan gencar mengejar kebaruan. Dengan memaknai lagi masa lalu kita jadi memahami diri kita yang sekarang. Kurang-lebih seperti bagaimana kita menyikapi sejarah, cuma ini sejarah kecil yang personal.
Tak seperti majalah pria lain yang berkonsentrasi pada maskulinitas. Mengapa Bung justru menertawakan ikon-ikon maskulinitas?
Soalnya redaksinya tidak ada yang macho (Tertawa). Mungkin hasil dari keseharian kami di sini juga. Kami tidak tergila-gila dengan kode maskulinitas, atau mungkin karena tidak mampu. Kami juga jadinya sebel sama orang-orang macho. Salah satu tujuan proyek majalah ini kan memang mempertanyakan kembali maskulinitas. Salah satu cara yang paling pas, adalah dengan menertawakannya. Dibawa santai. Kami punya kesadaran emansipasi, tapi bukan berarti jadi moralis atau kaku. Kami sadar adanya emansipasi perempuan, tapi bukan berarti itu tidak membuat kami tidak bisa ngomong kalau kami suka toket. Justru dengan bercanda itu kita mencairkan ketegangan yang ada.
Jika majalah Bung! menjadi sebuah majalah yang akhirnya terus terbit, kira-kira akan seperti apa ke depannya? Atau secara umum bagaimana Anda melihat nasib majalah pria di masa depan?
Bung! sebenarnya tidak bermimpi bikin sejarah. Walaupun bercandaannya suka begitu(Tertawa). Kami bikin versi kami saja, bahwa majalah pria itu ya seperti majalah Bung! Ternyata ada pembacanya juga. Kami juga tahu kelemahan-kelemahannya karena ini sebagai proyek. Pada akhirnya, perhatian kami adalah pada kualitas diskusi yang mungkin dihadirkan dari artikel-artikelnya.
Kalaupun ada orang gila yang mau biayain bikin majalah seperti ini, yang pasti harus punya visi yang kuat. Kalo lo sekuler ya teguh dengan itu, misalnya. Dan megang prinsip itu kan tidak mudah.
Yang juga penting adalah mengembalikan kepercayaan lama. Kepercayaan pembaca atas majalah itu, kalau majalah itu bisa bikin tulisan dan bacaan yang baik dan cukup mewakili pembaca majalah, itu saja, maka majalah lo akan laku kok. Tinggal bagaimana tim marketing-nya lo kerenin aja. Relasi majalah dan pembaca harus tetap terjaga.
Jangan dipungkiri juga Intenet udah canggih, semua informasi sudah ada di Internet. Kalau dulu ketika Internet belum ada, lo bisa nuntut informasi dari majalah. Nyari informasi musik dari Hai, nyari yang aneh-aneh dari Matra. Sekarang yang lebih penting bukan informasi, tapi menciptakan diskusi. Jadi majalah pria harus lebih dalam dan lebih berani. Lo juga tidak bisa moralis. Penting juga untuk sadar kelas sosial. Ada beragam kelas sosial lain yang punya masalah di luar dari yang ada di kelas sosial para awak redaksi.
Ngurusin penulis juga harus lebih benar. Honor penulis dibikin lebih tinggi. Redakturnya harus punya kegigihan tertentu bahkan untuk hal paling kecil untuk membuat tulisan itu jadi lebih baik. Misalnya, satu rubrik diurus satu orang dan di bawahnya ada penulis-penulis lain lagi.
Nasib majalah pria ke depan? Saya enggak tahu. Moga-moga makin oke.
Terakhir, saya tidak menemukan satu kritik pun di surat pembaca edisi terakhir. Pembahasan mengenai majalah Bung! yang saya temui di Internet juga cukup positif. Kini, jika Anda diminta melakukan otokritik terhadap majalah Bung! apa otokritik Anda?
Bentar mikir dulu, ini pertanyaan sulit (Tertawa).
Manajemen majalah ini yang pasti kacau. Seharusnya bisa lebih bagus. Itu karena semua redakturnya punya kerjaan lain selain di majalah ini. Kasarnya, don’t try this at home. Manajemen yang baik dan rapi itu penting. Mekanisme kerja redaksi yang baik itu penting. Sementara manajemen majalah ini sifatnya akrobatik (Tertawa). Majalah ini juga akan lebih baik kalau ditangani lebih banyak orang. Bukan karena faktor tenaganya akan lebih banyak tapi perspektif yang muncul akan lebih banyak.
Secara konten harusnya bisa lebih jahil. Standar saya pribadi, Bung! ini belum cukup jahil. Tapi ketika kerja tim, lo juga harus mempertimbangkan opini orang lain. Karena saya yakin, masing-masing redaksi, ada saja yang keinginannya tidak terpenuhi di sini. Nah, majalah ini bisa lebih berani, misalnya, kalau mengkritik bisa lebih ngehe lagi. Ada juga beberapa tema yang luput dikerjakan kayak misalnya mau bahas soal permasalahan domestik, rumah mertua indah. Desain majalah harusnya juga bisa lebih baik.
Kalau otokritiknya, tidak terlalu banyak, bukan berarti saya sudah puas. Pada saat membuat Bung! ya itulah yang terbaik bisa dilakukan. Kalau bikin ulang pasti jadi beda. Majalah Bung! sudah setahun berjalan dan sebagai pribadi, redaksinya pasti juga berubah selama setahun.
***
Artikel ini dimuat di Jakartabeat pada 6 Februari 2013.