Mariyatun (54) menggelengkan kepalanya ketika tahu pada Pemilihan Umum harus mencoblos tiga kertas suara. “Loh bukannya nyoblos partai gitu ya? Kok ada tiga?” tanyanya dengan logat Jawa Tengah yang kental. Tak hanya Mariyatun, tetangga depan rumahnya, Wati, juga kebingungan tatkala tahu saat hari pencoblosan esok harus memilih melalui tiga kertas suara. “Banyak banget ya,” ujarnya polos.
Baik Mariyatun dan Wati tinggal di Perumnas Klender, sebuah Perumahan Nasional (Perumnas) sederhana di kawasan Jakarta Timur. Pada pemilu legislatif ini mereka akan mencoblos di Tempat Pemungutan Suara (TPS) 09 Malaka Jaya, Jakarta Timur. Tak seperti kebanyakan warga kota besar yang menikmati akses internet, mereka sama sekali tidak menerima efek dari internet, sehingga hanya mengandalkan kekuatan mulut ke mulut tentang Pemilu. “Tahunya karena kemarin ada caleg yang dateng ke rumah waktu kampanye,” ungkap Mariyatun.
Ternyata ketidakpahaman tata cara pemilu ini tak hanya dialami oleh Mariyatun dan Wati semata. Saat saya mengunjungi TPS 008 Malaka Jaya, Jakarta Timur banyak orang baru tahu bahwa mereka diharuskan mencoblos tiga kertas suara yang terdiri dari DPR, DPRD dan DPD. “Banyak amat calonnya ya,” ujar salah satu warga. Seorang warga lainnya menanggapi, “Pusing jadinya”. Beberapa bahkan langsung pulang tatkala melihat foto-foto caleg ditempel di depan TPS untuk menunjukkan pada calon pemilih siapa saja yang dapat menjadi wakil mereka lima tahun ke depan.
Saya kemudian mencermati perilaku orang-orang yang datang ke TPS. Mereka biasanya akan melihat deretan foto-foto caleg yang ada, lantas berkeluh kesah tidak ada yang kenal dan bingung memilih siapa. Akibatnya muncul dua pilihan, tetap masuk ke TPS untuk mencoblos atau pulang ke rumah dengan kepala pusing. Dinding yang menampilkan foto-foto caleg ini menjadi begitu penting karena ia menentukan apakah orang akan tetap mencoblos atau kembali ke rumah.
Melihat Mariyatun, Wati dan keluhan warga lainnya, menurut saya ada satu kekeliruan persepsi dalam mendesain informasi untuk calon pemilih di TPS. Kebanyakan warga belum sampai pada tahap “Akan memilih siapa?” Mereka belum melewati satu tahap dasar sebelum menentukan pilihan, yakni “Bagaimana caranya memilih?” Kesalahan persepsi pada tingkat pemahaman ini berimplikasi pada banyak hal desain di dinding informasi TPS.
Saya melakukan pengamatan di tiga TPS yakni TPS 07, 08, dan 09 di Malaka Jaya, Jakarta Timur. Ketiga TPS tersebut memasang deretan gambar calon wakil rakyat tanpa ada informasi paling dasar yakni bagaimana cara mencoblosnya. Hal ini mengakibatkan dua pemahaman yang keliru di pemikiran pemilih. Pertama, pemilih akan berpikir bahwa calon yang harus mereka pilih banyak sekali. Kedua, pemilih akan berpikir bahwa kesemua calon tersebut berada dalam satu surat suara, padahal calon-calon tersebut terbagi dalam tiga surat suara yang berbeda.
Memang ada usaha untuk membantu pemilih menerima informasi tata cara mencoblos. Tapi sayangnya informasi yang dihadirkan hanya informasi alur tata cara mencoblos. Di TPS 08 misalnya ada sebuah ilustrasi alur mencoblos yakni dimulai dengan menunjukkan undangan memilih sampai mencelupkan jari ke tinta. Tentu itu penting, tapi alur mencoblos dapat secara langsung dibimbing oleh para petugas TPS. Justru informasi bagaimana tata cara saat mencobloslah yang luput.
Deretan foto calon yang terpampang pada dinding informasi depan TPS sedikit membuat salah persepsi banyak calon pemilih. Foto-foto calon ini dipasang tanpa ada jarak antara DPR, DPRD dan DPD. Tentu calon pemilih yang tidak tahu bahwa ada tiga kertas suara akan merasa semuanya ada di satu surat suara. Memilih di antara banyak calon tentu akan membingungkan, wajar jika kemudian banyak yang menyerah di tengah jalan.
Hal ini terkesan simpel, tapi dalam kurun waktu satu jam setidaknya ada lima orang yang langsung pulang ketika melihat deretan foto caleg ini dengan alasan membingungkan. Desain yang bersahabat menurut saya menjadi kata kunci penting untuk menarik para calon pemilih ke TPS.
Misalnya sesederhana memisahkan calon-calon anggota DPR dengan DPRD dan DPD dan menjelaskan bahwa mereka akan mencoblos ketiganya. Dengan pembagian seperti itu maka pemilih sejak awal tahu bahwa mereka mendapat tiga kertas suara dengan calon yang berbeda-beda. Sehingga pemilih akan cenderung ke TPS daripada pulang karena pusing melihat cara yang mereka sama sekali tidak ia ketahui.
Syukur-syukur jika disertai visual singkat tugas masing-masing lembaga tersebut. “Kalau pemilu yang ini buat gantiin apa ya Mas? Kalau pemilu presiden kan ganti presiden kalau ini ganti apa?” tanya Wati pada saya. Tentu bukan Wati sendiri yang bertanya hal demikian, artinya boleh jadi mereka tak datang ke TPS karena alasan sederhana yakni tidak tahu fungsi yang mereka coblos apa.
Saya rasa pengalaman pengguna, dalam hal ini pemilih, kurang diperhatikan secara detail. Meski terkesan simpel namun nyatanya dalam satu TPS banyak yang tidak jadi memilih hanya karena ini. Tentu kita juga masih ingat dalam pemilu lalu banyak yang salah mencoblos hanya karena kertas suara yang berukuran besar dan saat mencoblos tidak dibuka semuanya (terlipat secara tidak sempurna) sehingga banyak suara hilang karena ada dua bagian yang tercoblos. Detail-detail kecil ini yang kerap dilupakan.
Seperti layaknya sebuah produk yang akan diluncurkan, sudah seharusnya TPS mencermati perilaku-perilaku pemilih dalam level yang sangat detail. Bagi saya, Anda atau orang yang membaca tulisan ini boleh jadi tinggal mengklik situs tertentu dan menemukan tata cara memilih. Level kedua tentu mencari beragam platform yang merekomendasikan caleg yang baik. Tapi, bagi Mariyatun dan Wati dinding informasi di TPS-lah yang boleh jadi paling berperan dalam menentukan pilihan mereka.
Saya sama sekali tak menolak golput jika itu didasari oleh sebuah pendirian tertentu. Tapi golput hanya karena masalah teknis dan kegagalan mentransfer informasi di “final lap” adalah sebuah keteledoran.
Mungkin Mies van der Rohe benar saat mengatakan, “God is in the details”. Di TPS tersebut kita memang tak akan pernah menemukan malaikat, pun orang yang sempurna. Tapi di TPS tersebut sebagian orang menaruh harapan besar akan perubahan. Tatkala harapan itu pupus “hanya” karena kesalahan desain di dinding terakhir sebelum pemilihan boleh jadi der Rohe akan merevisi ucapannya menjadi “Devil is in the details”.
***