Sidekick

Urip mung mampir ngejus

Semua siswa kelas 5 menyoraki Ariq saat ia mengatakan ingin menjadi seorang penyanyi. Menanggapi cemoohan temannya ia hanya menundukkan kepala dan mukanya memerah. Cita-cita Ariq memang terkesan tidak biasa dibandingkan teman-temannya yang bercita-cita “standar” khas anak kecil. Saat saya temui selesai pelajaran ia mengatakan, “Aku seneng e nyanyi e pak, tur ra tau diajari nyanyi (Aku senengnya nyanyi Pak, tapi justru tidak pernah diajari nyanyi),” keluhnya.

 

Ariq adalah siswa kelas 5 SDN 01 Margajaya Tulang Bawang Barat, Lampung. Desa Margajaya tempat  sekolah Ariq merupakan sebuah daerah hasil proyek transmigrasi Orde Baru pada tahun 1982. Karena itu jangan heran jika Ariq mengutarakan keluhannya pada saya menggunakan Bahasa Jawa sebab desa ini didominasi oleh Masyarakat transmigran Jawa. Saya sendiri berkesempatan mengajar di sekolah tempat Ariq belajar lewat Program Indonesia Mengajar.

 

Keluhan Ariq tak pernah diajari bernyanyi bukan isapan jempol semata. Selama empat bulan saya mengajar fakta di lapangan memang tak pernah ada pelajaran menyanyi atau seni musik di sekolah. Padahal musik pada anak-anak merupakan sebuah elemen penting dalam mengolah cita rasa seni. Hal itu bukan hanya berimplikasi pada kematangan dalam bidang musik namun pada akhirnya membuat ia peka akan keadaan sekitar. Pelajaran menyanyi pada dasarnya terakomodasi lewat sebuah pelajaran bernama Seni Budaya dan Kesenian (SBK).

 

Pelajaran SBK mirip seperti pelajaran Kerajinan Tangan dan Kesenian (KTK) pada Kurikulum 1994. SBK memuat lima ruang lingkup dalam usaha mengolah cita rasa seni seorang anak. Kelima ruang lingkup itu adalah seni rupa, seni tari, seni drama, keterampilan dan tentu saja seni musik. Melihat dari ruang lingkup ini tentu saja keluhan Ariq bisa ditampik, sebab seni musik ternyata sudah terakomodasi oleh kurikulum yang ada.
Sayangnya banyak masalah yang terjadi dalam pengajaran SBK. Masalah pertama adalah minimnya alokasi waktu pelajaran SBK di sekolah, yakni hanya empat jam pelajaran (sekitar 140 menit per minggu) yang harus dibagi dalam lima ruang lingkup. Artinya seni musik sebagai salah satu ruang lingkup dalam pelajaran ini mendapat porsi yang begitu minim.

 

Bila dilihat lebih dalam, target pencapaian bidang seni musik dalam SBK seperti yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan boleh dibilang sudah cukup baik. Disitu tertulis bahwa target capaian seni musik untuk sekolah dasar mencakup kemampuan menguasai olah vokal, memainkan alat musik dan apresiasi karya musik. Boleh dibilang target capaian itu sangat ideal. Sayangnya fakta di lapangan jauh dari kata ideal. Dari kelima ruang lingkup SBK (meski sebenarnya kelima ruang lingkup ini dianggap terintegrasi) seni musik menjadi salah satu materi yang amat jarang disampaikan. Guru pengampu biasanya akan mengajari Ariq dan teman-temannya “seni rupa”. Bukan seni rupa yang kita kenal, melainkan seni rupa menggambar apa saja dan ditinggal begitu saja. Hampir setiap pertemuan diisi dengan menggambar tanpa sebuah teori untuk kemudian ditinggal begitu saja oleh guru pengampu.

 

Hal itu terjadi karena SBK dianggap sebagai mata pelajaran sekunder. Hal ini dapat terlihat dari tidak adanya guru yang khusus membidani pelajaran SBK. Guru SBK biasanya hanyalah guru honorer yang bergaji sangat rendah. Mereka kemudian bekerja setengah hati mengajarkan seni musik, sebuah pelajaran yang dalam pandangan Jack Black dalamSchool of Rock begitu penting. Pengabaian seni musik sebagai sebuah kajian penting di tingkat sekolah dasar bukan perkara remeh temeh. Paradigma Pendidikan kontemporer biasanya berkiblat pada pandangan Howard Gardner yang menganggap setiap anak memiliki delapan jenis kecerdasan, sehingga tidak ada anak yang bodoh. Apa yang dikatakan Gardner ini disebut dengan multiple intelligence. Cerdas Musik adalah salah satu dari delapan kecerdasan yang dimiliki seorang anak. Cerdas angka juga merupakan salah satu dari delapan kecerdasan ala Gardner. Namun nyatanya pandangan masyarakat mengenai anak yang pintar identik dengan Cerdas Angka. Pada akhirnya pelajaran Matematika mengambil peran dominan dalam pengajaran di sekolah. Sementara kecerdasan musik dianggap sesuatu yang tak penting.

 

Ketiadaan atau terbatasnya wadah melampiaskan kegemaran bermusik atau secara sederhana menyanyi membuat siswa mencarinya di luar sekolah. Sayangnya keadaan di luar lingkungan sekolah juga tak kalah parahnya. Suatu ketika Mitra, siswa kelas 4, pernah memainkan lagu “Salah Alamat” yang dipopulerkan Ayu Ting-Ting lewat sebuah telepon selular. “Iki ndue e mamasku Pak, bar diisi lagu akeh nang konter (ini kepunyaan kakak saya Pak, baru diisi banyak lagu di counter),” jelas Mitra pada saya.

 

Counter yang dimaksud Mitra adalah gerai penyedia layanan pulsa, peralatan telepon selular dan juga menjual lagu untuk dikopi ke telepon selular. Gerai Yudhistira misalnya yang terletak di Satuan Pemukiman (SP) 4 Desa Margajaya menjual lagu untuk ditransfer ke telepon selular pelanggannya. Sekedar catatan, Orde Baru menggunakan istilah Satuan Pemukiman (SP) untuk menyebut sebuah daerah berisi transmigran dari satu kampung yang sama. Mul, pemilik gerai Yudhistira mengatakan usaha menjual lagu lumayan menguntungkan. “Ket jaman HP ono memori ne karo seng isoh tulat-tulit dadi rame mas seng ngopi lagu (Dari mulai HP yang memiliki memori dan yang bisa tulat-tulit orang yang mengopi lagu mulai banyak),” tuturnya.

 

Gerai Yudhistira yang dibidani Mul sendiri mulai melakukan bisnis mengkopi lagu sekitar tahun 2007. Saat itu strategi pemasarannya sangat sederhana. Mul menawarkan harga paket memori card berkapasitas 2 giga yang diisi penuh lagu dengan harga tujuh puluh lima ribu rupiah. Jika membeli memori card tanpa lagu ia beri harga lima puluh ribu. Bisnis ini semakin marak ketika banyak orang mulai mengganti telepon selular lamanya dengan telepon selular pabrikan Cina yang menawarkan fitur pemutar musik dengan harga miring. “Kalau mau ngopi satu lagu ya bayar seribu, kalau mau menuhin memori card sekitar dua puluh sampe dua puluh ribu,” ungkap Mul mengenai bisnisnya.

 

Koleksi lagu yang dimiliki Mul sendiri bisa dibilang cukup banyak. Ia rutin memperbarui koleksi lagunya dengan pergi ke Unit 2, sebuah pasar besar di kawasan Lintas Timur Sumatera yang berjarak sekitar dua jam dari daerah kami. Disana ia membeli MP3 dari lapak-lapak penjual CD yang ada. Satu MP3 harganya berkisar tujuh sampai sepuluh ribu rupiah. “Nek ra update seng enom-enom cepet bosen mas mengko (Kalau tidak update pelanggan yang anak muda cepet bosan mas),” ujar Mul.

 

Saat saya tanya apakah ia memiliki lagu anak-anak ia hanya menggelengkan kepala. Alasannya selain MP3 khusus lagu anak sulit ditemui ia juga mengaku tak ada pelanggannya yang meminta lagu anak. Orang tua memilih lagu campursari sementara anak-anak muda yang sudah memegang telepon selular keluaran Cina kebanyakan meminta lagu-lagu pop melayu. Untuk membuktikan perkataannya saya mencoba membuka-buka folder musik yang ia perjualbelikan. Nyatanya memang sama sekali tak ada lagu anak. Yang banyak saya temui justru lagu Campursari sekaligus band-band pop melayu seperti Zigas, Dygta, Wali, Goliath atau bahkan orkes dangdut melayu dengan embel-embel Om di depannya seperti Om Latanza.

 

Mitra dan Ariq biasa mendengarkan lagu-lagu dari gerai Yudhistira milik Mul dari telepon selular kakak atau orangtuanya. Saat mengambil getah karet pada pagi hari biasanya lagu-lagu ini akan diputar melalui telepon selular dengan memanfaatkan fitur loudspeakeruntuk memecah kebosanan. Tanpa dasar musik yang kuat di sekolah mereka sekali lagi harus menelan ludah karena mendapatkan asupan musik pop melayu, campur sari atau dangdut pantura. Di luar perdebatan mengenai budaya adiluhung atau populer, musik-musik semacam itu jelas tidak cocok bagi perkembangan anak seusia Ariq atau Mitra. Pengenalan musik yang minim di sekolah ditambah keadaan lingkungan dengan musik yang kurang edukatif bukan persoalan yang bisa dilihat sebelah mata.

 

Tepat seratus sembilan tahun yang lalu lahir seorang bayi dengan nama yang menunjukkan hari kelahirannya di tanggalan Jawa. Wage Rudolf Soepratman yang kelak lagu ciptaannya kita nyanyikan saat Upacara Bendera hari Senin. Layaknya Soekarno dengan Sarinah, seorang perawatnya ketika proklamator ini kecil, W.R. Soepratman juga memiliki “Sarinah”-nya sendiri. Seseorang yang membuatnya menyukai musik dan menjadi seorang pemain biola yang handal. Roekijem nama sosok itu, ia adalah salah satu saudara perempuan  komposer yang penentuan hari lahirnya masih menimbulkan kontroversi. Jika Sarinah berpesan agar Soekarno mencintai ibunya dan mencintai rakyat kecil. Roekijem memilih mencontohkan sebuah hobi pada adiknya. Roekijem senang dengan musik dan sandiwara, ia juga pandai memainkan biola.

 

Melihat kegemaran saudara perempuannya WR Soepratman kemudian mencoba mendalami musik dan memainkan biola. Puncaknya adalah ketika tokoh musik nasional ini memainkan Indonesia Raya untuk pertama kalinya di depan publik secara instrumental di Kongres Sumpah Pemuda II pada 28 Oktober 1928. Saat itu usianya baru menginjak 25 tahun, sebuah usia yang bisa dibilang masih sangat muda.  Hari kelahiran WR Soepratman yakni tanggal 9 Maret oleh Mantan Presiden Megawati dijadikan sebagai hari musik.

 

Satu pelajaran penting yang bisa diambil adalah bagaimana lingkungan sangat mempengaruhi perkembangan musik seseorang. Tak hanya W.R. Soepratman, coba lihat bagaimana perkembangan scene indiepop di Jogja yang begitu apik dengan munculnya commonpeople, persinggungan antara Teater Garasi dengan Risky Summerbee and The Honeythief (RSTH) atau penampilan Brilliant at Breakfast yang sangat apik di Teater Garasi sekitar setahun lalu menjadi bukti persinggunan dan pengaruh lingkungan mempengaruhi output musikal seseorang.

 

Setahun lalu saya masih bisa menikmati persinggungan-persinggungan apik itu di Jogja. Kini saya mengalami sebuah keadaan yang sangat jauh berbeda. Pengajaran musik di sekolah yang jauh dari ideal dan lingkungan musik yang hanya menyenandungkan lagu pop melayu dengan vokalis yang tertangkap bodoh memakai ganja, apa yang bisa diharapkan dari itu semua? Jika industri mau lebih bijak dan televisi mau lebih sadar diri bahwa musik bukan sekadar nilai nominal semata mungkin dapat sedikit menolong. Membuat hip kembali genre lagu anak-anak jelas bukan perkara mudah. Namun hal itu cukup penting. Mul dan ribuan pengusaha gerai penjualan lagu via telepon selular tentu memikirkan neraca untung rugi. Membuat populer lagu anak-anak boleh jadi akan membuat mereka mencoba membeli MP3 lagu tersebut untuk kepentingan bisnisnya.
Pun yang tak kalah penting adalah literasi media bagi orang tua.

 

Namun sebuah pertanyaan dari seorang Ibu PKK saat mengadakan pelatihan literasi media pernah membuat saya tak bisa berbicara. “Terus nek kabeh elek go lare-lare seng apik nopo pak (Terus kalau semua jelek untuk anak-anak yang bagus acara apa Pak)?”. Kita butuh sebuah role model tayangan yang edukatif dan menyenangkan. Mengharapkan industri media melakukan dua hal itu boleh jadi seperti bermimpi Ahmad Dhani kembali menciptakan lagu “Kuldesak” bersama Andra. Tanpa itu semua boleh jadi paradigma kita mengenai pendidikan takkan pernah berubah. Mereka yang pintar adalah mereka yang hanya cerdas di bidang matematika. Saya jadi ingat ucapan tokoh Freddy dalam School of Rock, “Rock isn’t about getting an A. Sex Pistols never won anything”.

 

Namun yang lebih menyakitkan dari itu bisa jadi puluhan tahun dari sekarang akan muncul Kangen Band baru hanya karena kita tak pernah peduli dengan referensi musikal anak-anak. Dan jika itu terjadi saya yakin kita akan kembali memperbincangkannya di hari music nanti. Tanpa pernah sadar sebenarnya kita bisa mencegahnya.

 

***

Artikel ini dimuat di Jakartabeat pada 8 Maret 2012