Sidekick

Urip mung mampir ngejus

Setelah sukses dengan single “Days Elapsed”, Risky Summerbee and The Honeythief (RSTH) secara mengejutkan membuat guliran baru dari proyek tersebut. Lewat sebuah rilis resmi di halaman facebooknya mereka menyatakan sedang dalam proses pembuatan film pendek “Days Elapsed” (pernyataan resmi RSTH dapat dibaca disini). Dalam rilis tersebut disebutkan bahwa film ini bercerita mengenai dua mantan aktivis ’98 yang bertemu kembali setelah empat belas tahun. Di rilis itu mereka juga membuka donasi bagi siapapun yang ingin mendukung terselesaikannya film pendek yang ditulis oleh Risky Summerbee dan Andri Nur Latif ini.

 

Guliran baru ini tentu mengejutkan, banyak yang mengira “Days Elapsed” hanya akan berakhir menjadi sebuah lagu. Nyatanya ia justru terus bergulir menjadi film pendek. Yang tak kalah menarik bisa jadi ini adalah irisan pertama RSTH dengan medium film. Sebelumnya RSTH memang kerap beririsan dengan dunia teater bersama Teater Garasi juga seni rupa misalnya dengan perupa Wedhar Riyadi. Namun medium film adalah sebuah medium baru bagi mereka.

 

Karena isu film ini yang menarik dan beberapa alasan yang sudah dipaparkan, project ini tentu patut menjadi perhatian. Untuk itu Jakartabeat mewawancarai Risky Summerbee melalui surat elektronik. Dalam wawancara panjang ini Risky bicara soal film pendek “Days Elapsed”, pandangannya mengenai reformasi dan mengapa isu ini penting untuk diangkat kembali di hadapan publik.

 

Bisa diceritakan secara singkat mengenai guliran baru “Days Elapsed” menjadi sebuah film pendek?

Kami merasa sebagai sebuah lagu itu sudah disepakati selesai. Kami sudah merekamnya, sudah mempedengarkannya dan beberapa kali sudah mementaskannya di panggung. Tapi aku merasa pada perjalanannya menemukan kontekstualitas lain dalam lagu itu, tentu awalnya adalah kontekstualitas di tingkat personal. Dan kami rasa bentuk yang paling mungkin untuk menggulirkan “Days Elapsed” adalah film pendek.

 

Sudah sampai dimana pengerjaan film pendek ini?

Kami sudah sampai produksi 90 persen. Artinya beberapa scene sudah kami bungkus. Mastershot sudah dibungkus, hanya menyisakan detail-detail yang kami rasa harus ada. Setelah itu bisa dilakukan kemudian kami menargetkan proses paska produksi (audio-video) selama 3-4 minggu. Artinya kami menargetkan awal Juli selesai.

 

Bisa diceritakan sedikit mengenai cerita dalam film ini?

Film ini bercerita tentang hari-hari yang berlalu (Days Elapsed) antara dua orang teman, keduanya mantan aktivis ’98 yang bertemu di tahun 2012. Film ini memang fokus pada percakapan mereka baik personal maupun kenyataan yang dialami, dirasakan oleh banyak orang di negeri ini, teman mereka yang pernah diculik, teman mereka yang duduk di DPR, bagaimana pemerintah menyikapi visi reformasi dsb. Juga dari sisi pandang mereka sebagai teman, mantan kekasih, dan mantan orang di garis depan demonstrasi 1997-1998.

 

Dalam trailer film, Jogja (terlihat Gedung Rektorat UGM) dipilih sebagai setting film pendek ini, ada alasan khusus mengapa memilih Jogja sebagai latar dalam film ini?

Kalau bicara tentang gerakan reformasi atau Mei ’98 dsb kita selalu merujuk ke Jakarta. Bakar membakar pusat perbelanjaan, pergulatan politik di Senayan, gejolak mahasiswa di Semanggi. Memang peristiwa-peristiwa penting yang berujung pada pengunduran Soeharto terjadi di Jakarta. Mungkin bisa jadi saya orang Jogja dan memilih latar Jogja untuk film ini, tapi juga keterlibatan Jogja pada waktu itu sangat kuat. Misalnya Sri Sultan, peran kampus dan tokoh-tokoh seperti Amien Rais, bahkan beberapa aktivis seperti Mugiyanto, Nezar Patria, Dita Indah Sari, Budiman Sudjatmiko dan masih banyak lainnya mulai menyuarakan aspirasinya dari Jogja.

Kalau pertanyaannya mengapa memilih Jogja dan kenapa gedung pusat, peran kampus pada waktu itu pro-mahasiswa, pro-rakyat. Ini bisa menjadi pertimbangan teman-teman juga bagaimana melihat posisi kampus di ranah sosial politik dalam negeri sekarang. Di situs itulah (Gedung Pusat UGM) ribuan orang – dua diantaranya adalah Amien Rais dan politikus asal Solo, Modrik Sangidu – menuntut perubahan, menggulirkan reformasi.

Saya pikir sekarang, Gedung Pusat UGM dan juga situs di kampus-kampus lain seharusnya lebih dari sekedar tempat yang nostalgis, tapi membuka dan mengakomodasi aspirasi. Tidak seperti yang berkembang belakangan ini (wacana keterbukaannya dikalahkan oleh peringatan tingkat Polres). Kami menemukan kampus dan peranannya sebagai entry point suara rakyat tidak berjalan semestinya. Dalam produksi film pendek ini kami sempat dibikin pusing atas perijinan. Bagaimana mungkin rektorat meng-approve naskah kami? Tidak mungkin. Atas bantuan beberapa dosen yang masih punya nilai sebagai kontrol sosial di wilayah kampus maka kami dapat melangsungkan produksi di wilayah UGM, walau selalu dengan was-was pihak keamanan kampus akan membubarkan aktivitas kita. Yang jelas rektorat tidak tahu aktivitas pembuatan film ini. Mungkin akan ada banyak orang kampus yang tidak suka dengan film ini.

 

Film ini menceritakan mengenai dua mantan aktivis yang bertemu kembali, ada alasan khusus mengapa anda lebih tertarik mengangkat sejarah personal daripada sebuah sejarah besar reformasi itu sendiri?

Proses film yang kami sepakati itu benar-benar baru buatku, itu mengapa aku merasa paling mungkin adalah menerjemahkan cerapan personal yang teknisnya relatif mudah diterjemahkan. Dan aku pikir tidak ada salahnya ketika melihat reformasi sebagai konteks (bukan teks utama) walau tetap berusaha mengarah pada isu reformasi yang tidak berjalan.

 

Bisa dijelaskan nantinya distribusi film ini akan disebar melalui apa dan dimana?

Seperti biasa, saya dan teman-teman sounding tentang film ini ke beberapa komunitas film untuk bisa mendapatkan screening, proses itu sedang berjalan. Kami lebih memilih untuk screening di komunitas-komunitas tertentu untuk target audience. Ide yang lain adalah memasukkan film itu di album RSTH berikutnya. Sementara baru seperti itu, kami akan menimbang hasil akhir seperti apa dan mungkin disebarkan di tempat lain dengan cara lain.

 

Dalam penjelasan “Days Elapsed” juga dijelaskan anda membutuhkan donasi untuk penyelesaian proyek ini, mengapa anda memilih donasi bukan lewat sebuah lembaga funding misalnya?

Gagasan ini sangat simpel sebenarnya, lagu selesai tapi kok masih ada yang ngganjel ya? Oke kita bikin film pendek. Kami tidak berpikir untuk mengajukan project ini ke lembaga funding karena di satu sisi ini test-case karya, di sisi lain semangat yang diusung dari awal adalah semangat komunitas dengan membuka kemungkinan yang sifatnya berkembang, bukan project yang benar-benar dirancang sejak awal. Atas dasar itu kemudian ketika kami menemukan kendala dana, maka kami memutuskan untuk memperbesar komunitas itu, mengembangkan stake holders, fans, teman dan siapapun yang tertarik, merasa punya irisan, dll untuk donasi.

 

 

Sebelum ini RSTH pernah beririsan dengan dunia teater, seni rupa, namun kenapa untuk “Days Elapsed” memilih film sebagai medium penyampaiannya?

Untuk menjadi karya teater terlalu rumit, juga aku tidak bisa membayangkan visualnya, untuk seni rupa tidak terlintas, karena untuk ide percakapan yang gamblang/straightforward lebih jelas ketika itu lewat film pendek, juga untuk outreach-nya yang memungkinkan lebih luas sebagai karya rekam.

 

RSTH sebelum ini lebih kerap menggarap tema pinggiran misalnya TKW atau isu-isu pinggiran lainnya, mengapa di Days Elapsed anda memilih bicara sebuah kanon besar dalam perjalanan negeri ini?

Sebenarnya isu pinggiran atau isu urban adalah kenyataan. Juga ketika orang bicara tentang apa yang terjadi di negeri ini, di sekitar kita, baik fenomena boy band/girl band seperti yang ditulis Jakartabeat menulis perihal fenomena girlband, (bisa dibaca disini )maupun kasus korupsi, semua adalah kenyataan-kenyataan, itu riil.

Kami sedang mencoba menggulirkan kenyataan itu dalam bentuk lain. Kalau skala besar kecil itu bukan sebagai prioritas kami. Kami melihat, merasakan, lalu kami membicarakannya. As simple as that. Syukur kalau apa yang dimunculkan bisa bergulir lebih besar atau menemukan kaitannya dengan hal yang lain.

 

Sejak “All Survive in The End” saya dan beberapa rekan merasa RSTH semakin sering bicara isu-isu besar. lalu dilanjutkan dengan proyek film pendek ini yang juga bicara isu besar, apakah ini disadari oleh RSTH atau ada alasan khusus?

Andalah yang ngomong bahwa itu terlihat seperti itu hehehe. Paling tidak aku masih pada pijakan bahwa ini kenyataan. Saya agak tidak sepakat dengan pertanyaan ini, karena ada materi-materi di album baru yang tidak memiliki nuansa besar seperti “All Survive in The End”.

 

RSTH melakukan kolaborasi dengan Ifa Isfansyah (Sineas) dalam pentas “She Flies Tomorrow”, kenapa dalam proyek ini anda tidak mengajak misalnya seorang sineas menggarap film ini melainkan justru Risky Summerbee sendiri yang menjadi sutradara? Sepenting itukah tema ini bagi kalian?

Hehehe…Isu ini penting, juga penting kami munculkan bahwa ada isu DIY (Do It Yourself) disini. Dalam produksi yang sudah dirancang mungkin bisa kami mengajak sineas seperti Ifa Isfansyah yang dekat dengan kita. Sekali lagi gagasan pembuatan film pendek ini sangatlah simpel dan belum ingin melibatkan orang-orang di luar tim kecil kami. Jika kami sudah punya catatan atas bagaimana proses ini berjalan maka barulah mungkin kami ngobrol dengan teman-teman sineas.

 

Teater Garasi dan proyek dimana anda terlibat di dalamnya biasanya didasari atas riset yang kuat, apakah anda juga melakukan riset panjang untuk proyek film pendek ini?

Naskah film pendek Days Elapsed ditulis Andri Nur Latif dan saya sendiri. Riset disini bukan jenis riset seperti karya Teater Garasi “Waktu Batu” atau “Jejalan”. Yang terjadi adalah kita mengacu pada realitas, data-data dan observasi tentang pengalaman 1998 sampai sekarang. Kebanyakan memang berangkat dari observasi personal, namun untuk sampai pada naskah memang ada penyikapan kepenulisan yang selayaknya ditujukan untuk audiens.
 

Tema reformasi bukan tema baru. Film 9808 (Proyek Payung), May (Viva Westi) dan di ranah populer “Kutunggu di Sudut Semanggi” misalnya pernah membahas tema ini, mengapa anda merasa tema ini masih penting diangkat?

Semoga tidak menjadi nostalgis, tapi bukankah penting untuk mengingatkan apa yang tidak jalan? Apa yang menjadi momentum untuk kehidupan yang lebih baik untuk banyak orang? Bukan pada reformasinya tapi banyak hal turunan reformasi yang masih menjadi pertanyaan. Tentu kami juga tidak bisa meraih semua cakupan, dan agak nggak realistis ketika ingin mencakup banyak hal. Ini hanyalah sebuah cerita dengan konteks reformasi yang mungkin akan mengisi bagian yang belum terlihat, atau terlupakan, atau mengingatkan pada hal yang lebih tidak personal.

 

Dalam sebuah wawancara Ugoran Prasad (Melbi) pernah mengatakan yang penting saat ini adalah jawaban komunitas “indie” misalnya atas radikalisme kelompok Islam, mengapa anda justru lebih tertarik pada tema reformasi?

Saya pikir benar apa yang Ugo sampaikan, kelompok Islam radikal memang menjadi sorotan karena semena-mena terhadap keberagaman. Aku mendukung pernyataan beliau, pada kenyataannya komunitas indie di ranah musik sudah menghormati keberagaman. Mereka melakukan apa yang diyakininya dengan antusias. Komunitas musik punk punya hajat dan tidak ada yang melarang atau mensabotase, demikian halnya dengan komunitas hardcore, indiepop, yang bisa melakukan praktik keyakinannya tanpa ada ancaman dari kelompok lain.

Yang perlu ditegaskan adalah bahwa komunitas indie sebagai elemen kultur sebenarnya ada pada elemen kultur yang sama dengan ormas keagamaan misalnya. Bebas berpendapat, bebas memainkan komposisi dalam koridor norma-norma yang disepakati. Disini ada isu hukum dan hak asasi manusia. Bukannya itu bagian dari apa yang disuarakan gerakan reformasi? Hukum ditegakkan, hak asasi ditegakkan, baru kesepakatan berjalan.

Sekali lagi reformasi (hanya) adalah konteks film pendek ini. Bukan teks utama yang tunggal.

 

Anda juga pernah mengatakan bahwa yang penting adalah bagaimana karya menjadi dialektik, dialog apa yang anda harapkan dari film ini?

Kalau mungkin, bagaimana visi reformasi ditafsir oleh pembuat kebijakan. Apa yang sudah jalan, apa yang belum? Apa kendalanya? Juga bagaimana audiens menyikapi film pendek ini, termasuk jika ada hal-hal yang tidak berkenan dengan film ini.

Dalam wawancara dengan Jakartabeat sebelum ini anda mengatakan karya anda memiliki parameter keberhasilan yang tidak berdasar pada penjelasan konvensional, parameter keberhasilan apa yang anda gunakan untuk film ini?

 

Aku bilang begitukah? Konvensional dalam arti ada respon ekonomi, seperti meledak di pasar? Hehehe

Parameter yang paling kami pegang adalah bahwa transformasi lagu ke film jadi. Secara teknis cara presentasi jelas, yang mau disampaikan jelas. Aku secara personal tidak akan suka ada pemakluman 1st time directing. Atau kemudian itu bukan isunya (walau nanti tetap akan ada percakapan tentang itu). Jika itu bisa menjadi guliran percakapan, maka aku anggap berhasil. (Wawancara Jakartabeat dengan Risky Summerbee sebelumnya bisa dibaca disini).

 
Pertanyaan terakhir, misalnya lima puluh tahun setelah reformasi anda ditanya oleh seorang anak kecil apa yang terjadi selama 1998-2012 apa jawaban anda?

Tidak akan kujawab. Lebih baik cerita yang lain Nak. Nih dengerin dulu musik dari band-band indie Indonesia yang bermunculan di era paska Soeharto 1998-2012.

 

***

Artikel ini dimuat dalam Jakartabeat pada 6 Juni 2012