Sidekick

Urip mung mampir ngejus

Setengah abad yang lalu Indonesian Observer memuat sebuah pertanyaan menarik, “Bisakah sebuah gedung berwajah ultramodern mencerminkan Indonesia yang asli?” Pertanyaan itu muncul pada 17 November 1962, tiga bulan pasca peresmian Hotel Indonesia (HI). Saya membayangkan pertanyaan terebut dalam konteks kekinian.

 

Bila ada momen paling penting saat ini, bisa jadi adalah Pilpres. Maka pertanyaan itu bisa diubah dengan, “Bisakah sebuah tempat deklarasi Capres mencerminkan Indonesia yang asli?”

 

Tempat deklarasi Capres menjadi penting karena diniatkan sebagai sebuah pesan nyaring tentang apa yang hendak disampaikan oleh calon pemimpin negeri. Sayangnya saya tak mendengar pesan nyaring tersebut.

 

Kita memiliki dua pasangan Capres-Cawapres yakni Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK. Keduanya hendak mengirim sebuah pesan pada deklarasinya. Masing-masing kubu memilih tempat yang mengandung pesan penting.

 

Pasangan Prabowo-Hatta memilih Rumah Polonia yang terletak di Jalan Cipinang Cempedak I/29, Otista, Jakarta Timur. Rumah ini dinilai memiliki sejarah sangat erat dengan Sukarno selama di Jakarta. Dalam bukuPercintaan Bung Karno dengan Anak SMA karya Kadjat Adrai, diceritakan istri Bung Karno bernama Yurike Sanger-lah yang menempati rumah ini.

 

Menurut Arif Rahman, Sekretaris Jendral Gema Indonesia, sayap pendukung pasangan Prabowo-Hatta, tempat ini dipilih agar deklarasi Prabowo-Hatta bisa mencerminkan perjuangan Sukarno. “Bung Karno tinggal di sini, jadi kita harus kumandangkan deklarasi, harus dimulai dari rumahnya ini,” jelasnya seperti dikutip Kompas.

 

Tak berbeda jauh dengan lawan tandingnya, Jokowi-JK memilih Gedung Joang sebagai tempat deklarasi. Di tempat ini Sukarno sempat mengajar. Di tempat itu ada beberapa pernik kehidupan Sukarno seperti mobil RI 1.

 

Kubu Jokowi-JK memilih Gedung Joang sebagai tempat deklarasi karena alasan sejarah. Gedung itu merupakan tempat pendidikan politik para pemuda,sejak tahun 1942. Jokowi mengatakan, “Ke depan ini kita masih memerlukan sebuah kerja keras, dalam rangka memajukan dan memperbaiki bangsa dan negara. Semangatnya dari situ,” itulah alasan menggunakan Gedung Joang sebagai tempat deklarasi seperti dilansir Detik.com.

republik puing-puing 2

Dari pilihan tempatnya, narasi kedua pasangan Capres ini tak jauh berbeda. Jargon “Jas Merah” kembali digaungkan. Sukarno sebagai proklamator menjadi aktor sentral dalam narasi keduanya. Bahwa “Bung Karno pernah berada di sini” menjadi penting dalam pemaknaan tempat deklarasi keduanya.

 

Saya mengingat pertanyaan Indonesian Observer yang merujuk pada pembangunan HI di masa Demokrasi Terpimpin. Di sini peran Sukarno sangat sentral. Melihat latar belakang Sukarno dalam membangun HI tentu menarik untuk membandingkan bagaimana bapak bangsa, yang dijadikan narasi utama di kedua pasangan Capres saat ini, menggaungkan pesan melalui sebuah tempat di masanya.

 

Lauren Bain dalam esainya “Indonesia, Dari Sebuah Hotel” dalam Jurnal Kalam edisi “Ihwal Kota” tahun 2002 menggambarkan proses Sukarno membuat narasi tentang HI.

 

Bain menulis, “HI pada 1962 adalah gedung modern di seluruh Indonesia. HI adalah sebuah contoh arsitektur internasional zaman itu yang sungguh bagus, titik awal untuk sebuah ibukota yang menjelang masa depan jaya. Dalam gaya arsitekturnya, di HI memang tidak ada acuan tradisi”.

 

Poin penting dalam penjelasan tersebut adalah “Di HI memang tidak ada acuan tradisi”. Bain menceritakan kolam renang HI sebagai contohnya, “Ini sebuah kolam renang yang tak dapat berpura-pura sebagai khayangan oriental atau eksotisme Jawa. Tak ada pendapa kecil, tak ada pandangan atap Joglo atau simbol nostalgia lain. Dari kolam renang HI di tahun 60-an hanya ada pandangan empat belas tingkat beton.”

 

Sukarno tak mengejar kesan nostalgia khas mooi indie. Ia setidaknya berusaha memandang ke depan, juga bisa dibaca meninggalkan yang di belakang.

 

Abidin Kusno dalam Behind The Postcolonial: Architecture, Urban Space and Political Cultures in Indonesia (2000) menjelaskan mengenai pilihan Bung Karno ini. Kusno beranjak dari sebuah pertanyaan, “Kenapa Sukarno memilih arsitektur gaya internasional untuk sebuah strategi (Jakarta Raya) yang melambangkan kemerdekaan dan hasil perjuangan bangsa?” Tentu pertanyaan ini tak lepas dari kenyataan pembangunan HI dan beberapa proyek mercusuar Sukarno di masa demokrasi terpimpin.

 

Kusno mensinyalir bahwa gaya arsitektur kolonial maupun tradisi tidak mungkin mencerminkan semangat baru dan harapan untuk masa depan Indonesia saat itu. Apa yang dikatakan Kusno tercermin dalam slogan iklan pertama HI pada New York Herald Tribune: “HI, lambang dramatik bangsa merdeka bekerja sama.”

 

Pilihan arsitektur yang diambil Sukarno dalam pembangunan HI dan proyek mercusuar lainnya tentu bukan tanpa risiko. Sebagai pembanding, pada dekade tahun 80-an backdrop foto studio masih banyak sekali bergaya pemandangan alam yang molek, begitu mooi indie, namun dua dekade sebelum itu Sukarno sudah meninggalkannya. Ia memilih sebuah terobosan di zamannya. Dan tentu, sekali lagi, bukan tanpa risiko.

 

Beberapa catatan menulis bahwa pembangunan HI menggusur masyarakat di sekitar tempat tersebut. Itu saja sudah kontra produktif pada masanya. Di luar permasalahan tersebut ada satu hal penting yang mungkin tidak sempat kita baca dari narasi yang hendak digelontorkan oleh Sukarno.

 

Dengan mengambil pilihan “modern” dalam arsitekturnya, ia sedang mengambil risiko menjadikan masyarakat menjadi yang lain (the other). Ia mengambil terobosan sekaligus menjadikan masyarakatnya menjadi sang liyan di kotanya sendiri.

 

Bain menuliskan pembelaan Bung Karno mengenai ini. Bung Karno mengatakan, “Monumen dan menara bukan kemewahan melainkan kebutuhan, bukan dasi melainkan celana, karena masalah identitas adalah masalah kehidupan sehari-hari.” Ia hendak menjawab tantangan zaman dengan mengambil risiko yang tak kecil.

 

Membaca catatan Bain tentang HI semestinya kita tak lagi mendudukkan Bung Karno hanya sebagai ikon, aktor sejarah yang monumental atau tokoh yang dimaknai secara statis. Bung Karno selayaknya dilihat lebih dinamis sehinggak kita bisa melihat pemikirannya bukan berhenti pada ketokohannya.

 

Pemikiran Sukarno tentang HI jelas. Ia melakukan terobosan dengan meninggalkan romantisme. Ia menganggap itulah cara untuk memenuhi kebutuhan zaman. Kontroversi yang hadir setelahnya, itu adalah buah pemikirannya.

 

Sekarang, coba tengok kembali kedua tempat deklarasi Capres jika memang itu layak untuk menggambarkan Indonesia. Mereka menghadirkan narasi Sukarno sebagai ikon, yang statis. Narasinya digerakkan hanya oleh ketokohan Sukarno bukan oleh buah pemikirannya. Bahkan kita bisa bertanya, apakah masih kontekstual membawa Sukarno dalam deklarasi Capres untuk saat ini?

 

Lewat HI, Sukarno sedang memberi pesan, “Masalah identitas adalah masalah sehari-hari.” Mari tengok Indonesia saat ini. Kita sedang memasuki masa bonus demografis. Yakni masa saat mayoritas masyarakat kita berada dalam usia muda yang produktif. Selayaknya, inilah identitas kita saat ini.

 

Deklarasi Capres di Rumah Polonia dan Gedung Joang sama sekali tidak muda. Ia justru bernostalgia. Seperti hendak menatap ke belakang, bukan ke depan. Ketika negeri ini didominasi oleh kaum muda kenapa kita tak berani mengambil langkah besar dengan menghadirkan “monumen-monumen” baru sebagai tempat deklarasi Capres.

 

Kebutuhan saat ini adalah mengapresiasi kaum muda yang kelak akan membuat sejarahnya sendiri-sendiri. Mungkin akan lebih layak ketika deklarasi ini dilakukan di sebuah ruang kreatif, tempatsebuah komunitas positif yang diisi anak-anak muda. Begitu banyak tempat seperti itu di Republik ini.

 

Sayangnya, yang dipilih oleh kedua pasangan Capres adalah tempat yang menghadirkan nostalgia sang proklamator. Meski tempat itu pernah punya kaitan sejarah dengan Sukarno namun sebenarnya mereka tak sedang mengambil pesan dari sang proklamator. Kedua Capres hanya sedang mengais puing-puing sejarah.

 

Jika pertanyaan di awal artikel ini kembali ditanyakan, “Bisakah sebuah tempat deklarasi Capres mencerminkan Indonesia yang asli?” Saya akan jawab, “Tidak bisa.” Indonesia begitu beragam saat ini dengan anak-anak muda di dalamnya yang memandang penuh harap ke depan. Sementara kedua Capres sedang menghadirkan sebuah Republik puing-puing.

 

***

Esai ini dimuat dalam Konteks.org.