Sidekick

Urip mung mampir ngejus

Taman Budaya Yogyakarta, 31 Agustus 2010

 

 

“Akhirnya Kua Etnika bisa tampil di kandang sendiri untuk launching album baru,” tutur Djaduk Ferianto, pimpinan Kua Etnika membuka penampilan grupnya. Ucapan Djaduk tersebut disambut tepuk tangan meriah ribuan orang yang hadir di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta (TBY) pada Selasa (31/8) lalu. Malam itu adalah kali kedua Kua Etnika mengadakan launching album ketujuhnya yang bertitel Nusa Swara, sebelumnya pada Rabu (25/8) grup ini telah merilis albumnya di Teater Salihara, Jakarta.

 

Launching album ketujuh grup musik yang berdiri pada 1995 tersebut terasa hangat dan jauh dari kesan kaku. Masuk panggung dengan menggerak-gerakkan tubuh layaknya penari timur tengah Trie Utami vokalis Kua Etnika membuka penampilan malam itu dengan tembang berjudul “Tresnaning Tiyang”. “Ini adalah bentuk kecintaan kita terhadap segala hal,” tutur Trie Utami saat menutup lagu tersebut. Djaduk kemudian memuji sekaligus meledek penampilan Trie Utami dengan ucapan “Biar orangnya cilik (kecil) tapi kemampuannya luar biasa,” ujarnya yang langsung disambut tawa riuh para penonton.

 

 

Wajar jika ribuan orang yang memadati venue tampak begitu antusias menyaksikan penampilan Kua Etnika yang malam itu tampil full team dengan sebelas orang anggotanya. Selain karena sudah lama tak menyapa publik Yogya, tampaknya penggemar grup ini juga telah lama menanti rilisan album baru kelompok musik ini. Terakhir kelompok musik yang pernah tampil pada Festival Jazz di Wien, Austria ini menghasilkan album bertitel World Music: Raised From The Roots, Breaking Throught Borders beberapa waktu lalu.

 

 

Album baru bertitel Nusa Swara sendiri merupakan tafsir dan respon Kua Etnika atas keadaan segala sesuatu yang terjadi di nusantara. Seperti dijelaskan Agus Noor dalam pengantar album ini bahwa Nusa Swara merupakan singkatan dari “Nusantara” dan “Swara” atau Suara. Dari situ Kua Etnika ingin menghidupkan kembali wawasan kebudayaan multikultural yang luas dan besar, sebuah wilayah kebudayaan yang kemudian mengilhami gagasan kebangsaan.

 

 

Kedelapan repertoar yang ada di album ini sendiri merupakan perpaduan antara musik etnik dan modern yang digarap dengan sangat baik. Musik yang dihadirkan sepertinya memang ditujukan untuk menggambarkan bagaimana kekayaan masing-masing alat musik yang ada bisa bergabung menjadi sebuah musik yang utuh. Seperti penggambaran bagaimana nusantara bisa bersatu padu meski terdiri dari beragam elemen yang berbeda. Album ini merupakan sebuah oase di tengah keringnya apresiasi terhadap musik etnik yang berkembang di negeri ini.

 

Artikel ini dimuat dalam Rolling Stone Indonesia (online) pada 31 Agustus 2010