Sidekick

Urip mung mampir ngejus

Sambil menggendong anaknya yang masih balita Ibu Yuliana berkata pada saya, “Walah Pak, ya enggak mungkin jadi PNS, duit dari mana buat bayarnya?” tuturnya datar. Ibu Yuliana adalah seorang guru honorer di SDN 1 Margajaya, Tulang Bawang Barat, Lampung. Selesai mengenyam pendidikan D2 ia langsung menjadi guru honorer pada 2007 lalu. Ibu Ana, begitu ia biasa disapa mengais rezeki menjadi guru kelas tiga di sekolah yang berdiri sejak Pak Harto memproklamirkan program transmigrasi tahun 1982.

 

Meski nadanya datar namun ucapan Ibu Ana pada dasarnya amat getir. Sebagai guru honorer gajinya jelas tak seberapa. Ucapannya, “Duit dari mana buat bayarnya” juga berarti permainan kotor birokrasi pemerintahan dalam memilih siapa yang berhak menjadi pegawai negeri lewat jalan belakang. Ibu Ana tak sendiri, bersama guru honorer lain, ia jadi contoh miris pendidikan di negeri ini.

Gaji guru honorer tidak sama antara satu tempat dengan tempat lainnya.

Dengan mulai dikenalnya Bantuan Operasional Sekolah (BOS) pada Januari 2009 serta mengacu pada PP No 48/2008 tentang Pendanaan Pendidikan memiliki implikasi besar pada gaji guru honorer. Pada intinya BOS memberikan tanggung jawab pengelolaan pendanaan pada sekolah, sebuah niat yang sebenarnya baik. Sayangnya hal ini tak berjalan terlalu mulus di lapangan.

Dalam kasus guru honorer misalnya. Imam Bukhari, Kepala Sekolah SDS Terang Agung, Tulang Bawang Barat mengeluhkan perihal ini. Dalam aturan pengelolaan BOS dikatakan bahwa alokasi dana untuk tenaga pendidik termasuk guru honorer di dalamnya tak boleh lebih 20% dari total dana BOS. Sayangnya jika aturan tersebut dilaksanakan maka bisa jadi guru honorer hanya akan menerima gaji kurang dari Rp 200.000,- sebulan. Mereka juga tak menerima uang tersebut per bulan melainkan per triwulan karena dana BOS diberikan setiap tiga bulan sekali.

Memberi guru honorer gaji serendah itu jelas “jalan terbaik” membuat murid-murid tak belajar karena tak memiliki guru. Gaji serendah itu membuat guru honorer memilih menggarap ladang perkebunan karet daripada mengajar. Jalan keluarnya kemudian Kepala Sekolah mencari cara untuk mengalokasikan dana di luar peraturan maksimum 20% BOS untuk gaji guru honorer. Namun cara ini bukan tanpa resiko.

“Kadang ya bingung Mas, kalau hanya 20% jatuhnya enggak sampe dua ratus ribu per orang, pasti mereka enggak ada yang mau jadi guru honorer,” ungkap Pak Imam di kediamannya. Pak Imam dan banyak kepala sekolah lainnya akhirnya kerap mengalokasikan lebih dari 20% dana BOS yang juga berarti melanggar peraturan untuk menambah gaji guru honorer. “Kalau ditambah bisa lah mereka nerima sekitar Rp 250.000,- per orang,” tambah Pak Imam. Kepala Sekolah SDS Terang Agung ini sendiri memiliki tujuh orang guru honorer. Sehingga melanggar peraturan alokasi dana BOS adalah jalan tidak benar yang paling solutif. Jalan ini dipiih agar tujuh guru honorer tersebut tidak tunggang langgang meninggalkan tugasnya mengajar.

Keputusan ini kemudian bermasalah ketika dihadapkan pada oknum-oknum tidak jelas yang kerap berkeliaran di sekolah. Banyak oknum yang mengatasnamakan dirinya wartawan atau anggota Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mengancam akan memberitakan hal ini ke publik. Para wartawan bodrex ini sebenarnya hanya upaya premanisme yang menggerogoti pendidikan secara mikro. Mereka kerap mengorek-ngorek perihal alokasi dana BOS. Jika memang tujuannya adalah pengawasan sebagaimana fungsiwatchdog pada pers maka tak ada masalah. Nyatanya mereka hanya memeras pihak sekolah yang sama sekali tak memiliki pemahaman mengenai kerja jurnalistik sebenarnya. Maka jalan “damai” kerap digunakan, pihak sekolah membungkam para wartawan gadungan ini dengan uang. Dan lingkaran setan pun terbentuk.

Miyanto, Guru SDN 01 Margajaya mengatakan pada saya mengenai kegundahannya pada para pemeras berkedok jurnalis tersebut. “Saya pusing Pak jadi Kepala Sekolah, tiap dapat dana BOS langsung disamperin ke rumah, kadang nungguin sampai malam, saya sering ngumpet di hutan karet,” ujarnya dengan pandangan kosong. “Akhirnya saya mundur aja Pak jadi kepala sekolah, sampai kena migrain saya mikirin itu,” tambahnya. Miyanto tak sendiri banyak kepala sekolah lain yang memiliki kegundahan sama, mereka tak berani melawan karena tak memiliki pengetahuan di bidang jurnalistik.

Tentu ini menjadi semacam buah simalakama bagi pihak sekolah. Menuruti peraturan dana alokasi BOS bisa berarti guru honorer akan tunggang langgang. Sementara memanipulasi dengan tujuan agar sekolah tetap berjalan berarti memasang badan berhadapan dengan jurnalis gadungan.

Saat saya temui di ruangan kantornya, Djajat Sudradjat, Wakil Pemimpin Umum LampungPost, salah satu media terbesar di daerah ini menceritakan bagaimana jurnalis bodrex patut menjadi perhatian rekan-rekan jurnalis. “Buat saya mereka bukan wartawan, wartawan bodrex lah. Saya sering ngasih tau ke Kepala Sekolah untuk tidak usah takut menghadapi mereka tapi itu sifatnya kan masih parsial. Harus ada gerakan besar dari teman-teman jurnalis mengenai hal ini, tidak bisa begini terus,” ujar Djajat sambil menggelengkan kepala tanda heran dengan fenomena ini. Artinya di sini juga semua elemen masyarakat harus bahu membahu untuk peningkatan pendidikan di negeri ini. Jangan lagi berkilah, “Bukan tanggung jawab saya”. Pendidikan adalah soal relasi beragam elemen masyarakat yang saling terkait.

Di luar masalah alokasi dana untuk tenaga pendidik, BOS pada dasarnya memberikan ruang yang sangat besar pada sekolah untuk berkembang secara mandiri. Namun BOS juga bisa dibaca sebagai sebuah “lepas tangan” pusat pada daerah yang minim pengawasan. Alokasi 20% misalnya bisa jadi muncul karena jumlah guru honorer di Jawa lebih sedikit daripada yang berada di luar Jawa sehingga diperkirakan cukup. Fakta Bank Dunia (Teacher Employment and Deployment in Indonesia, 2007) membuktikan 37% sekolah di pedesaan kekurangan guru, jumlah ini jauh di bawah kekurangan guru di perkotaan yang “hanya” 21%. Fakta lain menunjukkan 66% sekolah di daerah terpencil kekurangan guru. Artinya jelas bahwa pedesaan sangat mengandalkan tenaga guru honorer karena keterbatasan guru, sementara di kota bisa jadi guru honorer hanya pelengkap bukan tulang punggung utama.

Mari kita lihat bagaimana kondisi di daerah ketika guru honorer lebih banyak daripada Guru PNS. Membiarkan mereka menerima gaji sesuai aturan berarti tak akan ada guru di sekolah. Mengalokasikan dana berlebih untuk mereka berarti bersiap berhadapan dengan oknum tak bertanggungjawab. Adakah ini dipikirkan sebelumnya oleh para pemangku jabatan yang duduk manis di kantor? Saya ragu.

Saya kembali menatap Ibu Ana. Ia melanjutkan ceritanya sambil membenahi selendang yang ia gunakan untuk menggendong anaknya. “Kalau mau jadi PNS ya harus bayar dulu, susah kalau enggak bayar,” ujarnya. Dari hasil mengobrol dengan beberapa orang saya mendapatkan angka sekitar 75 juta untuk mendapatkan status PNS, sebuah nominal yang sangat mengagetkan. Lupakan soal kata-kata manis guru berarti digugu dan dituru, guru juga manusia biasa yang perlu makan. Boleh jadi menjadi PNS dengan jalan belakang dipilih oleh beberapa guru lain, apa yang diharapkan dari seorang guru yang mendapatkan statusnya lewat cara kotor.

Katakan saya naïf, tapi bagi saya percuma berdalih kata-kata manis pahlawan tanpa tanda jasa ataupun sejenisnya. Ketika posisi tersebut kita dapatkan dengan cara kotor apakah kita masih bisa disebut pendidik. Dan sudah barang tentu ketika guru adalah sebuah pencapaian ekonomis yang terjadi kemudian adalah kultur untung rugi bukan akademis.

Sebenarnya ada dua jalan yang bisa dijadikan seorang guru honorer untuk menaikkan taraf hidupnya secara ekonomi. Jalan yang membuat mereka menampik lirik khas Oemar Bakrie, “Gaji guru selalu dikebiri”. Ibu Ana dan ribuan guru honorer tentu bisa memilih jalur paling standar yakni dengan menjadi seorang Guru PNS. Namun menjadi PNS jelas bukan perkara mudah.

Menurut Undang-Undang 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen Pasal 9 mengamanatkan guru harus mengenyam pendidikan S1. Data ditjen PMPTK Kementerian Diknas tahun 2009 guru yang berkualifikasi akademik minimal S-1/D-IV adalah 1.110.590 (43%), dan selebihnya 1.496.721 (57%) adalah guru yang belum memiliki kualifikasi akademik S-1/D-IV. Secara kuantitas data ini jelas menunjukkan standar kualifikasi guru di negeri ini masih belum mencukupi standar kualitas yang ditetapkan.

Ibu Ana juga bisa memilih Sertifikasi Guru Dalam Jabatan atau biasa disebut dengan Sertifikasi. Dengan sertifikasi gaji pokoknya akan naik dua kali dari gaji pokok semula. Sertifiksi juga mensyaratkan seorang guru mengenyam pendidikan S1. Biasanya para guru ini kemudian memilih kuliah di Universitas Terbuka.

Minggu lalu saya mengunjungi Universitas Terbuka di Unit 2, sebuah kawasan di Lintas Timur Sumatera yang juga salah satu pusat perekonomian di Kabupaten ini. Universitas Terbuka menumpang di gedung SMK dan SD di daerah ini. Ratusan motor berjejer di parkiran kedua sekolah tersebut. Terlihat guru-guru duduk manis dalam kelas sambil memperhatikan para dosen yang sedang mengajar. Beberapa pengantar juga terlihat di parkiran. Melihat mereka seperti menyaksikan bagaimana guru tertatih dalam mengenyam pendidikan. Pejuang pendidikan yang tertatih melanjutkan pendidikan, miris.

“Kuliahnya ini tiap Minggu mas, sekitar lima tahun lah selesainya, tapi tergantung lama pengabdian jadi gurunya juga, semakin lama ada beberapa mata kuliah yang enggak usah diambil jadi bisa lebih cepat,” ujar Suroto, koordinator Universitas Terbuka Banjar Agung, Unit 2, Lampung pada saya. Universitas Terbuka memungut biaya sekitar satu juta rupiah per semester, sebuah angka yang lumayan besar bagi para guru honorer dengan gaji yang ala kadarnya.

Saya kembali melihat Ibu Ana, melihat dirinya masih sibuk dengan anaknya. Beberapa detik kemudian saya berpikir apakah masalah utama para Oemar Bakrie ini sekedar masalah finansial semata. Apakah kenaikan gaji juga berkorelasi dengan peningkatan pendidikan? Jujur saya ragu. Menganggap uang adalah pemecah kebuntuan pendidikan lebih konyol dari siaran liputan khusus bersama Harmoko.

Kebijakan mengenai standar kualifikasi guru maupun sertifikasi guru pada dasarnya dapat diterima akal. Namun bukan ijazah S1 dan kenaikan gaji yang penting. Yang lebih krusial adalah kinerja mereka di depan generasi penerus bangsa di kelas. Percuma ijazah S1 kalau hanya bisa merokok dan mengobrol tak tentu arah di ruang guru. Itukah pahlawan tanpa tanda jasa? Masalah finansial penting namun Oemar Bakrie hanya akan tertawa di atas sepeda kumbangnya bila kita hanya terus menerus berkutat di masalah finansial.

Sayangnya kita sering terjebak pada cara pandang seperti itu. Lihat misalnya bagaimana Bantuan Siswa Miskin (BSM) diperuntukkan untuk seragam. Atau semua sibuk membangun gedung perpustakaan tapi melupakan buku yang mengisi perpustakaan tersebut. Cara pandang itu seperti mengajak daerah berkiblat pada pusat. Seragam, gedung bagus, apakah kita memerlukan itu? Dengan mengabaikan absennya sumber daya manusia di sekolah? Ini bukan dendang Oemar Bakrie yang sekedar mengurusi gaji. Ironisnya kita masih terjebak di cara pandang tersebut.

Yang lebih penting adalah bagaimana performa guru. Gaji boleh jadi hanya salah satu faktor pendukung bukan solusi akhir. Kenaikan gaji dengan syarat-syarat atau kualifikasi tertentu tujuannya memang meningkatkan performa guru. Namun kita abai dan terkesan tak memikirkan apakah yang mereka terima di bangku kuliah diterapkan di kelas.

Saya mencoba berdiskusi dengan Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Lampung (UNILA), Bujang Rahman, ia mengamini bahwa yang paling penting adalah memastikan apakah yang mereka terima di kuliah diterapkan di kelas. “Berbagai kebijakan pemerintah untuk meningkatkan kualitas guru. Seperti sertifikasi guru dalam jabatan, sebagian besar lewat Pendidikan Latihan Profesi Guru (PLPG). Sebenarnya hasil PLPG bagus. Dilihat dari produk-produk guru yang dihasilkan,” ujarnya membuka obrolan. Ia kemudian melanjutkan indikator bagus di sini bisa dilihat dari Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), pengemasan materi pembelajaran juga penampilan pada waktu peer teaching. “Namun masalahnya kan apakah itu semua dilaksanakan di kelas, belum tentu, nah kuncinya adalah pengawasan,” tambahnya.

Inilah titik lemah yang jarang diperhatikan. Guru dihasilkan oleh Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) sayangnya pengawasan tidak diberikan pada lembaga ini, melainkan pada Dinas Pendidikan Kabupaten Kota yang lebih banyak berasal bukan dari jalur pendidikan. “Ini kan seperti kita membeli mobil merk A tapi perawatannya tidak di bengkel resmi mobil A, jadinya ya kurang optimal,” ujar Bujang mengilustrasikan.

Setali tiga uang, proses sertifikasi juga minim pengawasan pasca seorang guru disertifikasi. Sertifikasi menjadi sekedar arena untuk menaikkan gaji. Tak salah memang, karena kesejahteraan guru juga penting. Namun menjadi sangat tidak profesional. Berlindung di tameng pahlawan tanpa tanda jasa lantas meminta gaji tinggi tanpa sebuah peningkatan kualitas mengajar sama dengan berlindung di bawah atribut agama dan bisa merusak tempat hiburan malam seenaknya. Ketua Panitia Sertifikasi Guru Rayon 107 Universitas Lampung, Drs. Buchori Asyik, M.Si., menyatakan pengawasan inilah yang diperlukan pasca sertifikasi.

Melihat anaknya berlarian kecil Ibu Ana kemudian mengobrol dengan saya perihal beberapa hal. Mulai dari cara mengajar membaca sampai mengobrolkan murid kelas tiga yang potensial secara akademik. Dari obrolan itu saya menyadari kebutuhan pelatihan guru juga penting. Banyak hal yang belum diketahui Ibu Ana perihal permasalahan pengajaran, aneh rasanya.

Menjadi aneh karena saat ini kurikulum yang dipakai adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Dalam buku Gurunya Manusia (2011) pakar pendidikan Munif Chatib menulis, “Saya selalu berharap keberadaan KTSP – yang filosofinya: sekolah diharapkan mampu menyusun kurikulum dan silabus sendiri – merupakan tahap awal untuk kemajuan pendidikan di Indonesia.” Artinya adalah KTSP menaruh peranan penting pada otonomi sekolah, guru menyusun kurikulumnya sendiri sesuai dengan konteks daerah masing-masing.

Semangat kemandirian sekolah melalui KTSP spiritnya hampir sama dengan BOS di mana sekolah diberi sebuah tanggung jawab besar terhadap pengelolaan sekolahnya sendiri baik secara finansial maupun kurikulum. Namun kemandirian hanya menjadi tong kosong dan alibi lepas tangan ketika tak ada sebuah pendampingan maupun pelatihan yang intens.

Kemandirian dan pendewasaan guru tak bisa sekedar dilepas begitu saja. Pelatihan, evaluasi dan pengawasan menjadi kata kunci penting di dalamnya. Lupakan kata-kata manis pahlawan tanpa tanda jasa yang kerap dijadikan tameng para guru dari kritik, guru bukan nabi yang tak bisa salah. Lagu Oemar Bakrie juga tak lagi kontekstual, lagu ini seperti mengajak kita beromantisme sekedar pada penuntasan masalah finansial guru. Ada begitu banyak elemen yang mempengaruhi performa guru, faktor gaji yang dikebiri seperti di lirik Oemar Bakrie hanya satu elemen yang sejak dulu kita anggap solusi akhir. Nyatanya ia hanya menciptakan iklim birokratis dan bukan akademis di kantor guru. Semua guru sibuk mengurus sertifikasi, melupakan anak muridnya yang terbengong-bengong karena tak diajar. Dan ketika itu terjadi maka istilah pahlawan tanpa tanda jasa hanya jadi pengesahan atas malasnya kita beranjak dari romantisme semu penyelesaian masalah pendidikan.

Kini saya menatap deretan ruang kelas kosong di depan kantor guru. Semua guru sudah pulang, termasuk Ibu Ana. Saya melihat ruang kelas itu begitu hampa. Tak ada lagi riuh tawa siswa. Begitu peliknya kah masalah pendidik di negeri ini? Saya hanya bisa membuat surat ini untuk mengingatkan tugas kami mendidik anak negeri.

Ketika menulis surat ini saya masih duduk di ruang guru sambil memeriksa pekerjaan rumah murid-murid saya. Hampir setiap hari saya memeriksa pekerjaan rumah murid-murid saya di ruang guru. Namun kali ini saya berpikir apakah saya dan para guru telah menuntaskan pekerjaan rumah kami mendidik murid-murid itu? Semoga Oemar Bakrie bisa menjawab surat ini di atas sepeda kumbangnya. Atau jangan-jangan ia mengganti sepeda kumbangnya dengan motor hasil kredit dari uang sertifikasi.

 

***

Artikel ini dimuat dalam Jakartabeat pada 5 Mei 2012.