Sidekick

Urip mung mampir ngejus

Saya selalu ingat sebuah wawancara dengan Ugoran Prasad, vokalis Melancholic Bitch (Melbi), beberapa tahun lalu. Ada satu bagian yang menurut saya relevan dengan keadaan saat ini. Ugo, sapaan akrab vokalis cum penulis ini, bercerita tentang relasi antara dirinya dengan grup band idolanya, Slank.

 

Ugo mengatakan sejak kecil ia mengidolai band yang dimotori oleh Kaka dan Bimbim tersebut, pun alasannya bermusik salah satunya karena band yang identik dengan Gang Potlot tersebut. Suatu ketika Kaka menyaksikan Ugo dan kompatriotnya di Melbi main saat pameran Kelas Pagi Jakarta, sebuah kelas fotografi alternatif yang diinisiasi Anton Ismael. “Itu kayak ngomong, ‘gw dulu main band gara-gara lo, sekarang lo nonton gw’, buat si idola juga enak, karena apa yang dia lakuin nginspirasi orang buat produksi sesuatu,” jelas Ugo saat itu. Menurutnya relasi ideal seniman dan penikmatnya adalah sebagai kawan, mengutip istilahnya, no fu*king celebrity.

 

Apa yang dilakukan Ugo berbeda dengan Rahmad Darmawan, mantan pelatih Timnas Indonesia, ketika bertemu dengan Mourinho, pelatih Chelsea. Saat itu The Blues melakukan lawatan ke Jakarta dalam program yang disponsori sebuah bank nasional. Ada satu kejadian di luar pertandingan yang konyol untuk dinikmati.

 

Diberitakan bahwa saat konferensi pers kedatangan Chelsea di Indonesia RD, sapaan populer pelatih Indonesia saat itu, meminta foto bersama dengan Mou. Tak cukup foto, ia pun meminta pelatih dari John Terry dkk tersebut untuk menandatangani topi Chelseanya. Bahkan RD juga masih ingin agar Mou menandatangani jersey Chelsea yang ia miliki, sayang waktunya tak cukup. Ada relasi yang berbeda antara Ugo dengan Slank dan RD bersama Mourinho, pelatih yang ia akui sebagai idolanya.

 

Demam ala RD dengan Mou ini saya rasa kini banyak dijangkiti oleh sebagian dari kita. Tak terhitung berapa banyak foto teman saya yang sedang bertemu idolanya melintasi lini masa media sosial. Biasanya teman-teman berfoto dengan idolanya tersebut pasca mengikusi seminar, workshop atau beragam acara (katanya) inspiratif lain yang menghadirkan si idola sebagai pembicara. Tentu mengekspresikan kekaguman dengan berfoto bareng sah-sah saja, sayangnya foto bersama idola tak akan mengubah hidup kita.

 

Saya ingat saat kecil dulu berkunjung ke rumah teman yang orangtuanya lumayan punya nama di kawasan sekitar. Di rumahnya berjejer foto orangtuanya bersama Soeharto, di sampingnya ia bersalaman dengan Habibie. Melihat itu rasa rendah diri saya muncul, si empunya rumah adalah orang besar, sementara saya bukan siapa-siapa. Meski masih kecil saat itu saya dapat paham bahwa foto itu ingin menyampaikan pesan ia kenal dengan para presiden, itu berarti orang hebat.

 

Banyak dari kita mungkin punya pengalaman serupa, atau jangan-jangan memajang foto semacam itu di rumah? Satu frame dengan orang besar berarti besar. Satu frame dengan orang inspiratif pasti inspiratif. Narasinya menjadi dekat dengan siapa menjadi penting, tak penting berbuat apa.

 

Salah satu yang patut disyukuri dalam kehidupan era ini (walau tentu patut diperdebatkan) adalah siapa saja dari golongan mana saja bisa menjadi apa saja. Tak ada lagi sebuah mesiah atau menara babel untuk apapun. Ibaratnya semua orang bisa berkolaborasi. Relasinya bukan lagi antara si idola dan orang biasa. Semua kini sama karena kesempatan yang terbuka begitu luas.

 

Beragam ruang untuk keterbukaan akses tersebut sayangnya terkadang hanya dimaknai sebagai ajang foto bareng dengan idola, tentunya ditambah caption sederhana. Mungkin niatnya adalah mengapresiasi sang tokoh idola, “Dia udah ngasih inspirasi nih”, bisa dibaca seperti itu. Tapi yang lebih terbaca adalah ia sudah berhasil menemui idolanya, selesai sampai di sana. Bertemu menjadi sebuah tujuan, bukan tahapan untuk melakukan sesuatu yang lebih besar.

 

Relasi macam itu tentu akan terus merawat relasi idola dengan orang biasa. Bahkan “selebriti-selebriti” baru akan bermunculan. Munculnya relasi ini tentu sama saja seperti saat melihat foto orangtua teman saya dengan Pak Harto atau Habibie. Suasana macam itu terasa aneh dengan semangat keterbukaan yang sebenarnya dibawa dalam beragam forum diskusi.

 

Saya juga tidak menemukan esensi penting foto bersama selain dokumentasi pribadi. Banyak cara lain yang lebih esensial untuk dilakukan misalnya menuliskan diskusi tersebut di beragam media penulisan. Jika memang lebih ingin berguna bisa saja bertukar kartu nama. Dengan hal itu malah bisa membangun relasi terus menerus dengan orang yang dikagumi, mendiskusikan banyak inisiatif ke depan misalnya. Foto bersama hanya akan selesai setelah tombol rana kamera dipencet.

 

Bisa jadi ini sekadar perihal eksistensi, tapi jangan-jangan foto bersama dengan sang idola adalah kegagapan kita di era ini. Mungkin dalam hati terdalam kita masih ingin menelurkan para priyayi para priyayi baru di sekitar. Menjadikan idola kita menjadi priyayi yang tak tersentuh. Sesekali kita menyentuhnya dengan foto bersama. Bahwa kita pernah menjadi bagian dari priyayi. Kemudian teman-teman di media sosial ikut merayakan kehebatan tersebut, menjadi orang biasa yang memuja priyayi.

 

8 thoughts on “Foto Bersama Idola

  1. Budi says:

    Ketika Blur datang ke Jakarta untuk manggung, dari H minus beberapa hari sudah mulai beredar (((desas-desus indie bawah tanah))) soal di hotel mana mereka bakal menginap, restoran mana yg akan mereka kunjungi, dsb. Beberapa teman mengontak saya dan bilang, “Lu nggak pengen nyamperin Damon dkk trus foto bareng mereka, Bud?” Saya nggak butuh waktu lama utk menjawab, “Nggak lah. Buat apa?” Okay, itu jawaban cool sok iye di mulut. Apa yg berkecamuk di hati dan pikiran sebenarnya adalah, saya justru khawatir, jika saya berhasil foto bareng sama mereka dan nyempetin ngobrol barang sejenak, bagaimana kalau ternyata Damon dkk nggak asyik, acuh tak acuh, atau lebih apes lagi, sengak? Bisa-bisa malah jadi amburadul bayangan/fantasi/citra di kepala saya atas sosok idola selama ini. Karena pengen merawat yg baik-baik aja anggapan saya soal mereka, maka saya berusaha untuk tetap menjaga jarak psikologis itu, meskipun posisi mereka di dunia nyata saat itu sudah tinggal sepelemparan tombak. Nah, pertanyaan saya adalah, kalaupun saya nggak menelurkan priyayi-priyayi baru di sekitar saya, apakah sikap saya ini bisa dibaca sebagai upaya pelanggengan priyayi-priyayi lama yg sudah ada? Apakah berarti saya pro status quo? Astaga, ini gejala apa ya Dok? Perlukah saya cemas? Mohon penjelasan dan diagnosanya. Trims.

    Like

  2. ardiwilda says:

    Nak Budi,

    Menurut buku utak atik gatuk karangan Toni Sucipto, sindrom yang Nak Budi alami ini namanya mitos mitos centil (uopo). Ceritane Nak Budi mirip tapi berkebalikan sama kisah seorang temen akrab e Gusdur yang pernah denger banyak mitos ttg Gusdur. Njuk kancane iki mikir mitos e nongol soko endi. Sut punya usut ya dari santri dan yg ngidolai Gusdur. Ha menowo amergo gawe hpotesis tapi sungkan foto ro Gusdur lha jaman mbiyen rung ono instagram je.
    Yang terjadi dengan Nak Budi walikane kancane Gus Dur menawi. Mungkin komplikasi antara flu, mitos dan kangelan foto bareng mas damon (uopo kuadrat). Karena nek mitos kita runtuh rasane koyo keno peso nang ujung jari njuk ditetesi jeruk nipis lan garam, perih sekali.
    Jangan lupa kecap dan jeruk nipisnya diminum biar batuknya ilang Nak Budi 😐

    Like

  3. wisnu says:

    Kalau sama Mbak Lala Karmela mau foto ndak, Mas ArdiWilda? 😀

    Like

    1. ardiwilda says:

      kalau kak lala jangankan foto berdua, mengarungi hidup berdua pun aku rela kak #uopo

      Like

  4. heditia says:

    Kak aw, kamu idolaku. Boleh foto bareng ya kak? #kabooorr #starstruck

    Like

    1. ardiwilda says:

      foto sama saya ada tarifnya, asalkan harga dp dan angsuran cocok kita bisa langsung ke notaris #karangkitukuapartemen 😐

      Like

  5. rumah adat says:

    foto bersama idola membuat hati senang

    Like

  6. saya pernah berfoto dengan idola, dan itu menyenangkan

    Like

Leave a comment