Sidekick

Urip mung mampir ngejus

Beberapa hari lalu saya melihat pemandangan kesehariaan itu. Ribuan orang turun dari kereta, berebut tempat menapaki tangga. Di stasiun itu, Tanah Abang namanya, tak ada sebuah kehidupan personal. Semua terangkum dalam kecepatan derap kaki, mata yang menoleh pada jam tangan, merelasikannya dengan jam masuk kantor. Saya menyaksikannya, dalam tatapan nanar seorang pecundang yang kalah. Tepatnya, kalah oleh keraguan menjadi anonim.
Ya anonim. Saya terlalu takut menjadi anonim. Dua hari lalu, saya mengantar rekan saya melamar kerja di sebuah perusahaan media. Sambil menunggu, saya mengamati perilaku pegawai yang datang. Pintu dibuka, ucapan selamat pagi pada security, adegan selanjutnya sudah pasti menempelkan barcode pada mesin pengabsen. Kita menjadi satuan barcode. Menjadi anonim.
Kita mengutuk itu. “Aku pulang pagi Mas, sampai jam setengah dua malam kadang,” tutur seorang adik kelas saya. Ia berkantor di perusahaan tempat teman saya mendaftar menjadi pegawai. Ia yang dulunya begitu ceria, kini matanya sayu, mukanya merah tanda kurang tidur. Ketika atasannya datang, ia segera pamit karena sudah telat. Saya tak melihat dirinya yang dulu, begitu kuyu, ia menjadi anonim yang sama sekali tak saya kenali.
Kita sadar kita mengutuk itu, tapi kita tak pernah sadar mengapa kita melakukannya. Dalam tulisan terbarunya, Agustinus mencoba menjawab itu dengan pergi ke Titik Nol, menarik. Titik Nol mungkin bukan sekadar area geografis. Ia adalah sebuah pertanyaan sederhana dengan dua penyangga, “Kita sedang apa? Dan untuk apa kita melakukannya?”.
Sebagian dari kita memilih menjadi anonim tersebut. Saya melakukannya selama beberapa minggu terakhir. Merasakannya, mengutuknya dan berusaha memendamnya. Tapi masih ada titik kecil kesadaran yang membuat saya merasa, tiap orang tak berhak menjadi anonim. Menjadi barisan barcode, menjadi satu dari ribuan orang di stasiun, menjadi begitu takut bahkan pada rasa takut itu sendiri.
Dan di sini saya sekarang berada. Di sebuah stasiun kecil daerah Purwokerto. Tepat dua jam lagi saya akan menuju Stasiun Tugu, ya Jogja. Saya terakhir menapakkan kaki di sana, ketika memutuskan menjadi anonim di Jakarta. Saya terselamatkan ketika nasib menunda saya menjadi anonim di Jakarta selama setahun, saya mengajar. Membuat tanda di daerah yang bahkan tidak saya kenal sebelumnya. Lantas semua selesai, saya kemudian kembali menjadi para anonim itu.
Tak ada yang salah menjadi anonim, selama itu adalah sebuah keputusan yang disadari. Sayangnya kita sering lupa menyadarinya. Begitu saja masuk di dalamnya. Masuk dalam pusaran berjuta manusia. Tanpa pernah bertanya, “Kita sedang apa?”. Atau mungkin kita menghindari pertanyaan tersebut.
Saat menapakkan kaki meninggalkan kota Jogja, saya berjanji tak akan pernah mengunjungi lagi kota ini, untuk waktu yang lama. Pukul 16.30 nanti saya melanggar janji saya. Sekadar untuk kembali mengetok pintu kota itu. Pintu ketika semuanya bermula. Bertanya, “Apa yang sedang saya lakukan?” Semangatnya sama seperti Kayam berkata, “Ke Karet, Ke Karet, kita akan kembali”.
Saya tahu saya tak akan menemukan banyak jawaban di Jogja. Boleh jadi ini sebuah penundaan lain menjadi anonim. Tapi satu yang pasti, setidaknya saya pernah mencoba bertanya, “Saya sedang apa?”. Sebuah pertanyaan yang membedakan apakah kita sebuah robot dengan kerja mekanik? Atau manusia yang resah akan dirinya? Saya tahu hanya Jogja yang bisa membuat saya bertanya perihal yang kedua. 

2 thoughts on “16.30

  1. kamu bertanya maka kamu ada ;D

    Like

Leave a comment