Sidekick

Urip mung mampir ngejus

Ada satu ucapan Pak Boed tiga tahun silam yang saya kenang hari ini. Sambil menepuk pundak saya ia mengatakan, “Maaf ya kamu jadi susah ke kampus kalau ada yang lagi ngedemo rumah saya,” ujarnya tulus. Itu adalah respon Pak Boed ketika saya mengatakan bahwa rumah kontrakan saya di Jogja ada di belakang rumah beliau. Ucapan maafnya tulus, sama sekali tak normatif.

 

Pak Boed memang benar, ketika kasus Century mencuat, adalah pekerjaan sulit untuk pergi ke kampus dari kontrakan. Beberapa organisasi kerap mengadakan protes di depan rumah Pak Boed. Tak ayal saya harus mencari jalan memutar untuk sampai ke kampus. Bukan sekali dua kali hal itu terjadi, tak terhitung jumlahnya.

 

Rumah orang nomor dua di Indonesia itu begitu sederhana. Awalnya kita tidak akan mengira itu rumah orang nomor dua di negeri ini. Tak ada pengamanan khusus di kediaman itu. Di pojokan rumah tersebut hanya berjaga seorang satpam. Kita dengan yakin akan bisa mengatakan itu rumah biasa.

 

Saya mengenang Pak Boed hari ini dengan sebuah foto di Harian Kompas lima tahun silam. Bukan foto mantan Dosen UGM tersebut yang ada di Kompas, melainkan foto Jusuf Kalla (JK). JK saat itu baru saja kalah dalam Pemilu 2009. Kekalahan tersebut mengharuskan ia tak lagi menjadi pejabat publik. Kompas kemudian memuat foto sederhana tentang JK. Ia terlihat sedang bermain-main dengan beberapa cucunya di rumah. Foto itu sangat kuat, sebuah narasi JK kembali menjadi orang biasa.

 

Kompas tak akan bisa mengulang keberhasilan membuat foto sekuat itu untuk Boediono. Bukan, bukan karena saya tak percaya harian nomor satu di negeri ini, tapi karena Boediono memang selamanya adalah orang biasa. Ia bukan satu dari sebagian pejabat publik yang berusaha keras terlihat menjadi biasa.

 

Pak Boed memang sebuah anomali. Namanya adalah sebuah pesan tegas tentang meritokrasi. Boediono, titik. Orang yang hidup dalam tradisi Jawa akan tahu bahwa nama sesederhana itu muncul dari orang kebanyakan. Bukan muncul dari sebuah trah besar penuh puja-puji. Ia bukan trah proklamator, panglima militer, atau pengusaha. Ia hanya orang biasa. Dan keberhasilan menjadi yang tak biasa adalah murni karena kerja kerasnya.

 

Saat Pak Boed diangkat menjadi yang tak biasa lima tahun lalu, sebuah Catatan Pinggir (Caping) GM mengantarkannya dengan sederhana. GM ketika itu menulis dari Gedung Indonesia Menggugat, Bandung. Ada satu kalimat GM yang saya ingat di Caping itu, “Saya termasuk orang yang percaya, politik adalah perjuangan yang terdorong untuk melawan kepentingan ‘aku’. Politik berbeda dengan pasar ternak. Ada yang universal dalam nilai-nilai yang membuat kita memenuhi panggilannya.”

 

Pak Boed dengan fasih mengajari hal itu. Ia tak seperti presidennya yang lebih sibuk dengan kata “aku” daripada “kita”. Ia digiring bagai seekor ternak di kasus rekaan. Pun ia meladeni hal itu dengan sabar. Pak Boed hadir hanya dan hanya karena nilai-nilai universal yang ia percaya.

 

Hari ini Pak Boed tetaplah Pak Boed. Sorot lampu tak tertarik padanya. Ribuan mata tak menaruh pandangan padanya. Ia tetap menjadi satu di antara kerumunan.

 

Jalan Sudirman adalah saksi bisu siapa yang menaruh “aku” lebih besar pada politik. Bekas presiden itu sama sekali tak mengajari nilai universal bagi saya. Bahkan di hari terakhirnya menjadi yang publik ia tetap menaruh “aku” di dalamnya. Dengan banal mengucapkan “Terimakasih” pada dirinya sendiri.

 

Tak ada spanduk banal semacam itu untuk Pak Boed. Namanya sama sekali tak disebut di jalanan utama ibukota. Ia juga tak ribut berkicau di linimasa. Padanya saya justru ingin mengucapkan Terimakasih.

 

Selamat menjadi orang biasa Pak Boed. Terimakasih telah mengajari bahwa yang paling luar biasa adalah tetap menjadi orang yang biasa.

 

 

22 thoughts on “Pak Boed

  1. indonesia says:

    nice one mate…

    Like

  2. Tasha says:

    Kereeeeen tulisannya. Satu diantara 1000 itulah pak Boediono (y).

    Like

    1. ardiwilda says:

      semoga akan ada pak boed pak boed lainnya di pemerintahan baru ya 🙂

      Liked by 1 person

  3. tulisan mz awe memang apik tenanee

    Liked by 1 person

  4. Kidd says:

    Mungkin pak Budiono punya kemampuan menghilangkan hawa keberadaannya

    Like

    1. ardiwilda says:

      waduh pak boed jangan-jangan belajar dari yoko dan bibi lung 😛

      Like

  5. rst says:

    pak boed, prototipe sidekick yg selo… ^^

    Like

    1. ardiwilda says:

      pak boed ini sidekick yang menarik emang 😀

      Like

  6. Soleh says:

    Wyuh. bahkan SBY pun lebih sering menyebut “Bersama Bu. Ani” :))))

    Like

    1. ardiwilda says:

      mungkin karena pak boed gak punya instagram #halah 😛

      Like

  7. kewan dimas says:

    mungkin juga pak boed memegang prinsip urip ning ndonya mung mampir ngejus

    Like

    1. ardiwilda says:

      pak boed seneng jus apa ya kira-kira? 😀

      Like

  8. Fotodeka says:

    wes iso ketemuan karo pak Bud neng pakjepret? opo burjo pojokan kae?

    Like

    1. ardiwilda says:

      dijak ngupi nang Rumah Daniel ja 🙂

      Like

  9. Nafis Waliyuddin says:

    Bagus Mas 🙂

    Like

  10. Ibrena (@iberena) says:

    Pahlawan dalam diam, pekerja tanpa pamer.
    Karena sesungguhnya bagi dia yang terpenting adalah tugas pengabdiannya terselesaikan, bukan usaha eksistensinya tersebarluaskan.
    Great writing :”)

    Like

  11. icha says:

    Aweeeee

    Like

    1. ardiwilda says:

      wuihhhh ada icha rocks hehe apa kabar cha? 🙂

      Like

  12. rumah adat says:

    menarik nih,,, keren..

    Like

  13. Tri Pangestu says:

    selamat pak boed, ga jadi dikandangin, begitulah pengadilan dunia, gampang dikadalin…

    Like

    1. ardiwilda says:

      kalau ia bersalah biar proses pengadilan yg mengatakannya mas. pun ia sudah memenuhi panggilan2 sebagai saksi 🙂

      Like

Leave a comment