Ada yang berubah pada Taman Suropati beberapa bulan ke belakang. Saya mengetahuinya karena rajin mengunjungi taman yang terletak di depan Musem Perumusan Naskah Proklamasi ini. Perubahannya bukan pada aspek bangunan atau desain tamannya. Perubahan sayangnya terjadi pada hal yang lebih mendasar, pada alasan taman ini menjadi penting.
Saya senang mengunjungi Suropati karena sebuah alasan sederhana. Di taman ini saya bisa melihat ragam manusia dari beragam kelas sosial. Anak muda dengan sepatu lari warna-warni, ibu-ibu muda yang memilih yoga sebagai pilihan olahraganya, satu keluarga sederhana dengan balon warna-warni sebagai mainan anaknya, pun muda mudi yang memilih taman sebagai pilihan untuk berduaan. Ragam warna-warni manusia di taman ini dilengkapi dengan beragam pedagang kecil yang menjajakan aneka kudapan. Alasan ini terkesan sederhana tapi penting untuk sebuah kota metropolitan.
Dalam sebuah tulisan di Jurnal Kalam, seingat saya Marco yang menulis, ada sebuah sudut pandang yang menarik mengenai pusat perbelanjaan. Pusat perbelanjaan adalah sebuah ironi karena hanya merangkum satu kelas sosial. Mereka yang datang ke pusat perbelanjaan hanyalah mereka yang ada di kelas sosial tertentu. Ia kemudian menjadi sebuah akuarium raksasa. Di akuarium itu hanya tumbuh satu habitat kelas yang sama.
Dari situ mungkin ramainya pusat perbelanjaan bukan hanya karena memenuhi gairah konsumsi golongan tertentu, bisa jadi ia menjadi semacam wadah mengisolasi diri. Di pusat perbelanjaan kita tak perlu bertemu beragam kelas sosial. Kacamata kita hanya satu, dan mungkin untuk sebagian orang itu terasa nyaman.
Taman dan ruang publik lainnya memutarbalikkan hal itu. Kita dituntut untuk berkompromi. Ruang menjadi arena interaksi bukan kompetisi.
Beberapa minggu ke belakang Suropati sayangnya mencoba menyingkirkan interaksi tersebut. Tukang tahu gejrot, rujak, starling alias starbuck keliling atau tukang kopi keliling, tak lagi bisa berada di tengah-tengah taman dengan leluasa.
Dulunya, mereka mewarnai taman ini dengan berada di sekitar air mancur yang ada di pusat taman. Mereka kemudian sempat menyingkir di arena lari yang berada dekat dengan pos polisi di pojokan taman. Beberapa bulan ini terkadang penjualnya menjajakan tanpa gerobak ke tengah taman, jika ada yang memesan ia akan lari ke gerobaknya dan kembali dengan seporsi tahu gejrot. “Baru boleh ke tengah kalau udah siang Mas,” tutur Awi, salah satu pedagang tahu gejrot.
Menurut penuturan beberapa pedagang, hal ini karena Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) tak membolehkan mereka untuk berada di tengah-tengah taman saat banyak pengunjung, yakni pada pagi dan sore hari khususnya di akhir pekan. Menurut pengamatan saya tak ada masalah dengan bergerombolnya penjaja makanan ini, toh masih dalam taraf yang wajar dan tidak mengganggu sama sekali. Tahu gejrot bahkan menjadi semacam ciri khas Taman Suropati. Sialnya menyingkirnya tahu gejrot hanyalah satu hal kecil.
Yang menyesakkan adalah minggu ini berdiri beberapa stand (gerai penjualan) produk tertentu. Ada tiga gerai penjualan dengan tenda lumayan besar untuk promosi produk tertentu pada Minggu (1/12) lalu. Gerai ini membawa sebuah jenset yang bunyinya memekakkan telinga, acara dipandu oleh mc yang bicara dengan speaker bervolume yang keras, dan tentunya tendanya memakan banyak tempat. Soal perizinan pasti mereka izin. Sebagai sebuah upaya penjualan mereka tidak melanggar koridor apapun. Tapi Suropati bukan layaknya pusat perbelanjaan.
Suropati selayaknya hadir bukan sebagai sebuah arena transaksi, siapa yang punya modal akan menguasai. Kalau ia bicara seperti itu apa bedanya ia dengan tempat lainnya.
Jika selalu ada promosi produk untuk kepentingan privat semata, Suropati seperti perlahan-lahan sedang menggerus ruang interaksinya menjadi kompetisi. Sesuatu yang sudah terlalu banyak jumlahnya di ibukota.
Awi, puluhan pedagang tahu gejrot lainnya, abang-abang starling harus meminta belas asih Satpol PP untuk berada di tengah taman ini. Padahal sejauh saya mengunjungi Suropati tak pernah sekalipun saya melihat mereka membuang sampah sembarangan. Sementara mereka yang bermodal tunggang langgang di tengah taman.
Suropati adalah harapan yang tertinggal atas Jakarta yang lebih manusiawi. Jakarta yang tak menggunakan hanya satu kacamata kelas sosialnya.
Beberapa waktu lalu, bersama seorang kawan saya Yogi, kami melintasi Bundaran HI di malam hari. Puluhan orang nongkrong-nongkrong di sana. Beberapa abang starling juga terlihat menjajakan minumannya. Mungkin pemandangannya sedikit kurang rapi, suasananya sama seperti pemandangan motor yang berhenti di atas jembatan penyeberangan di beberapa pinggiran Jakarta.
Mereka yang nongkrong di Bundaran HI tersebut sebenarnya sedang mengirimkan pesan tegas, tak ada lagi ruang publik untuk mereka piknik.
Saya jadi ingat apa yang dikatakan Ali Sadikin dulu, “Di sini (rumah Ali Sadikin) anak saya bisa pacaran, ruang tamu kosong, halaman besar. Tapi kalau you masuk kampung, satu kampung berjejal dari kakek, nenek, sampai cucu jadi satu, ‘Di mana mau pacaran?’ Berikan tempat untuk berhibur. Nah, orang tidak mengerti bagaimana sengsaranya rakyat jelata. Dus, pikiran kita harus sampai ke sana!”
Apa yang dikatakan Ali nyata adanya kini. Piknik mungkin perkara kecil tapi padanya kita sedang belajar untuk memanusiakan diri, yang tak bias, yang adil sejak dalam pikiran.
Saat pusat perbelanjaan merajalela dengan kacamata bias kelasnya. Ruang publik yang mulai dimasuki kepentingan privat semata. Lantas ke mana lagi kita harus piknik?
wah, harusnya dibaca Ahok nih, mas Awwe.
bagus banget, selalu suka dengan tulisan mas Awwe yang mencuplik sisi-sisi sepele yang sering diabaikan. wah, aku tak follow lewat gmail. *apa sih
LikeLike
jangan2 yg baca malah gubernur tandingan hehe..salam kenal, makasih sudah menyempatkan membaca 🙂
LikeLike
mas awe aku ngefans!! :”””
LikeLike
ngefans sama klub sepakbola aja, merchandisenya banyak #uopo
LikeLike
asu tenan tulisane
LikeLike
selo bil 🙂
LikeLike
Sepakat banget sama mas Awe. Jakarta lama-lama cuma bisa dinikmati oleh satu kelas sosial aja. Beda banget sama Kuala Lumpur. Di taman samping KLCC Petronas, landmark-nya yang terkenal di penjuru dunia itu, banyak pedagang makanan macam PKL. Toh juga masih bisa tertib.
LikeLike
iya, memang harus lbh banyak ruang publik di jakarta, sebelum ada banyak tugas kita ya mengunjungi yg sdh ada dulu 🙂
LikeLike
Kak Awe keren deh! Udah punya pacar belum?
LikeLike
dah punya kak nuyan, tapi mau cari lagi yang banyak 😛
LikeLike
Kak Ardi, tulisannya menarik.Saya beberapa waktu yg lalu ke taman Ayodia. Minggu pagi setelah gowes di CFD. Ketemu seorang bapak dengan anaknya yg masih balita. Dia berterimakasih kepada gubernur DKI yang mau memperbanyak taman dan ruang hijau. Dia menyatakan senang bisa ke taman menikmati suasana minggu pagi bersama anaknya. Murah dan dekat dengan tempat tinggalnya. Baginya pergi ke mal bukan kegiatan yang disukai, karena pergi ke mal cukup berat buat dia, karena harus banyak menghabiskan uang. Selain itu jika di mal orang tidak bertegur sapa dengan ramah, saling tidak peduli. Kalau di taman kota, ruang terbuka dia dengan mudah dapat bertegur sapa sesama pengguna taman. Pada saat itu Pak Jokowi masih menjadi gubernur DKI, dia berharap pemda DKI membebaskan dan membeli gedung-gedung bertingkat dan mengubahnya menjadi ruang kota, taman kota, taman lingkungan yang menjadi wadah berkomunikasi tanpa sekat bagi seluruh warga Jakarta.
LikeLike
salam kenal hery, terima kasih sudah membaca.
saya juga berharap semakin banyak taman di jakarta. piknik di taman itu menyenangkan soalnya. hati senang tapi uang pun tak melayang, bonus udara segar pula 🙂
LikeLike