Sidekick

Urip mung mampir ngejus

Ode untuk toko roti tempat kencan terakhir Gie dengan Kartini.

 

Bu Sinta menjauhkan buku saya dari matanya. Ia agaknya lupa membawa kacamata plusnya. Bola matanya kelabakan membaca font ukuran 12. Ia mengangguk pelan sebelum mengucapkan sebuah kalimat, “Oh Gie pernah ke sini.”

 

“Ke sini” merujuk pada toko roti kecilnya di bilangan Matraman, Toko Roti Tegal.

Toko-Roti-Matraman

Matanya kemudian memandang ke tanaman sansevieria di teras tokonya. Ada jeda beberapa detik sebelum ia berkata, “Mungkin papi kenal sama Gie, dulu dia suka banget ngajak ngobrol pelanggan.”

 

Sayangnya, sore pada 11 Desember 1969 kemungkinan besar papinya tak sedang mengobrol dengan Gie. Sebabnya sederhana, seperti yang tertulis dalam buku yang saya bawa sore itu, Gie, Dan Surat-Surat Yang Tersembunyi, Gie sedang berdua dengan Kartini.

 

Sore itu, Gie berkencan dengan Kartini. Keduanya memesan roti nanas.

 

Roti berbentuk segitiga yang kini ada di rak bagian kiri toko roti milik Bu Sinta.

Toko-Roti-Tegal-Matraman-4

Sore 49 tahun lalu, di Toko Roti Tegal, Gie “menembak” Kartini. Pada sore yang gerimis itu, Gie mengungkapkan rasa sayangnya kepada adik kelasnya tersebut.

 

“Meski hujan rintik-rintik, badan dan rambut saya setengah basah, perasaan saya senang dan hangat sekali,” tulis Kartini dalam Soe Hok Gie…Sekali Lagi.

 

Sayang, sore itu menjadi momen terakhir Kartini bersama Gie. Esoknya Gie berangkat ke Gunung Semeru. Sepekan kemudian, tepat satu hari sebelum usianya menginjak 27, Gie menghembuskan napas terakhirnya di puncak Mahameru.

 

Selanjutnya adalah sejarah.

 

Kartini menikah dengan Sjahrir (Ciil), seorang ekonom yang Gie sebut sebagai orang baik dan pintar. Pada 2008 Ciil berpulang. Setahun setelahnya, Kartini merefleksikan hubungannya dengan Gie pada buku Soe Hok Gie…Sekali Lagi untuk mengenang lima windu kepergian teman kencannya di Toko Roti Tegal.

 

Gie telah tiada, tapi Toko Roti Tegal masih setia menjajakan roti nanas yang sama.

 

Pada sore di akhir pekan lalu, Bu Sinta mendongengkan kisah-kisah masa lalunya pada saya dan pasangan.

Toko-Roti-Tegal-Matraman-3

Ia bercerita saat Gie mengunjungi toko rotinya, ia masih duduk di bangku SMP. Toko Roti Tegal awalnya bernama Insulinde. Dahulu, toko roti ini terletak di Matraman Raya 21 yang kini menjadi Grand Menteng Hotel. Tahun 1968, setahun sebelum Gie dan Kartini menikmati roti nanas, Toko Roti Tegal pindah ke tempatnya yang sekarang. Sebuah kios sederhana yang berjarak sekira 200 meter dari Gramedia Matraman.

 

“Zaman Bung Karno kan nama-nama Belanda harus diganti, akhirnya kita ganti nama jadi Toko Roti Tegal,” jelasnya.

 

Interior Toko Roti Tegal tak berubah sejak pertama buka. Ketika masuk, kita langsung dihadapkan dengan satu rak kaca berisi beragam kudapan. Di bagian kiri terdapat kue tar dan roti beragam rasa. Sementara, di bagian kanan didominasi oleh kue kering dan permen-permen lawas.

 

“Cuma kursinya aja yang kami ganti, selain itu masih sama kayak dulu,” tutur Bu Sinta.

Toko-Roti-Tegal-Matraman-2

Setelah mengobrol sekitar 30 menit, Bu Sinta pamit karena harus beristirahat. Usianya yang menginjak angka 65 membuatnya tak gesit lagi. Ia pamit untuk meramu jamu yang akan ia minum sebagai obat.

 

Saya kemudian mengelilingi Toko Roti Tegal. Ada Bu Suti, Mas Saridin, dan Raihan yang membantu Bu Sinta mengelola toko. Ketiganya tak mengenal Gie. Namun, wajah mereka sumringah saat saya bacakan petikan cerita Toko Roti Tegal di kehidupan Gie.

 

Sambil tersenyum, Bu Suti membalas singkat, “Itu siapa tho Mas?”

Toko-Roti-Tegal-Matraman-5

Mendengar jawaban Bu Suti. Ingatan saya meloncat ke esai Gie yang berjudul Mimpi-mimpi Terakhir Seorang Mahasiswa Tua, di sana ia menulis bahwa mimpi terbesarnya adalah agar mahasiswa Indonesia berkembang menjadi “manusia-manusia yang biasa”. Yang berangkat ke kelas meski terkadang membosankan, yang ke perpustakaan saat ujian, pun perlu juga untuk berorganisasi, berkesenian, atau mendaki gunung.

 

Di mata para pelayan Toko Roti Tegal, Gie justru paripurna menjadi mimpi idealnya: menjadi manusia yang biasa. Bahkan anonim.

 

Sebelum beranjak pergi, saya dan pasangan memesan dua roti nanas untuk kami bawa pulang. Di luar toko, kami memandang toko roti itu selama beberapa detik.

 

Sore itu gerimis, udara terasa dingin, tapi menyitir Kartini, perasaan saya senang dan hangat sekali.

6 thoughts on “Pada Gerimis Yang Sama

  1. veskadinda says:

    dooooohh Mas Aweee… ujungnya bikin bapperrrr…ahahahhaha

    Like

    1. ardiwilda says:

      hehehe ca aje din

      Like

  2. Asnoer says:

    Mz Wilda, Tulisannya sempoa sekali, apalagi bagian terakhir, gerimis dan pasangan.

    Like

    1. ardiwilda says:

      apa hubungannya ama sempoa pak? haha

      Like

  3. Maisya says:

    Well written we. Asik banget bacanya. Ngeliat tokonya bener-bener masih suasana jadul ya. Kalau di Jogja, mungkin semacam Murni yang di daerah Bintaran (walau gw gak tahu sih sejarahnya).
    Oh iya.. mungkin judul tulisan ini sebenarnya adalah ‘Pada Gerimis yang Sama (bersama Pasangan)’
    Uhuy.

    Like

    1. ardiwilda says:

      haha ca aje. makasih maisya 🙂

      Like

Leave a comment