Sidekick

Urip mung mampir ngejus

Saya kerap bertanya, apakah akan menua dengan menghilangkan perasaan sentimental? Apakah menjadi dewasa bersinonim dengan menanggalkan yang tak rasional?

Dalam konteks profesional bisa jadi jawabnya iya, tapi dalam keseharian kenyataannya tak semudah itu. Dan mungkin memang tak perlu menihilkan yang emosional.


Pertanyaan-pertanyaan itu kembali mencuat ketika mendengarkan Bernadya. Saya menyadari lagu-lagunya diciptakan untuk pendengar yang tak perlu banyak menggulirkan kursornya ketika mengisi tahun lahir dalam formulir digital. Mereka yang lahir di penghujung 90-an atau pasca 2000-an.


Tema-temanya sebenarnya biasa, tentang dinamika anak muda menjalin relasi percintaan. Tentang luka, asa, dan ekspektasi yang tak sama. Fase-fase yang sejatinya sudah terlewati dan minim irisan dengan kehidupan saya.


Masalahnya (atau ini sebenarnya bukan sebuah masalah?) saya menikmati betul lagu-lagunya. Bagi banyak orang mungkin lagunya punya relevansi yang kuat, tapi relevansi saja rasanya tak cukup. Nyatanya ada begitu banyak lagu soal relasi dua remaja berakhir dengan begitu-begitu saja.


Bernadya berbeda.


Seorang sahabat yang satu usia dan juga suka Bernadya mengirim pesan yang kurang lebih isinya, “Kenapa kita bisa suka lagunya, ya? Padahal hidup kita udah jauh dari tema-tema lagunya.”


Pertanyaan itu dan pikiran-pikiran yang mencuat di kepala saya bisa jadi ironi menjadi dewasa. Ketika semuanya perlu alasan yang terang benderang. Yang tak bisa berhenti sekadar menikmati.


Saya kemudian mendengarkan lagu-lagu Bernadya selama berhari-hari. Mencari pola, meraba jawab apa yang membuatnya berbeda.


Satu yang saya temui: Ia pencerita ulung. Liriknya adalah hasil dari perkakas menulis yang diolah dengan khas.


Liriknya seperti seri foto yang memilah momen dengan baik. Seri kejadian itu lalu ia narasikan dengan teknik menulis yang pas. Banyak lirik Bernadya yang mengingatkan saya pada buku Writing Tools karangan Roy Peter Clark.


Ada beberapa pengalaman yang saya tangkap pasca mendengarkan lagu-lagu Bernadya:

Pertama, ia kurator momen yang unik.


Ia jarang memilih momen puncak (decisive moment) dalam sebuah relasi. Misalnya, alih-alih menarasikan momen puncak saat pasangan memutuskan berpisah, ia justru memilih menarasikan pengalaman menuju Satu Bulan pasca tak lagi bersama. Pun, bukannya memilih memotret pasangan ketika berkelahi, ia justru menggambarkan bagaimana masing-masing pasangan mengelola konflik pasca perkelahian dalam Kini Mereka Tahu.


Lirik-liriknya seperti rangkain foto jalanan (street photography), bukan foto jurnalistik yang menuntut decisive moment. Dalam konteks griefing, dikenal istilah secondary loss, istilah ini merujuk pada momen-momen berduka yang terjadi dalam keseharian setelah orang tersayang berpulang. Momen itu tak merujuk pada saat hari orang tersebut berpulang, melainkan hari-hari setelahnya yang entah sampai kapan.

Bernadya punya kemampuan partikular dalam menarasikan “secondary loss”.


Ia bisa menggambarkan pecahan-pecahan kecil. Memilih momen non-puncak yang justru bisa menarasikan rasa pedih dalam keseharian dengan begitu dalam.


Barangkali pilihannya bukan atas kesadaran penuh. Secara tak langsung, mungkin itu buah dari keberanian generasinya membuka cerita-cerita personal. Bukan hanya soal momen penting, tapi momen-momen kecil yang menyertainya jadi sebuah kewajaran untuk diceritakan. Keterbukaan dari yang personal, seperti sebuah jurnal kehidupan yang dibuka untuk publik.


Ia seperti mengamini luka tak hanya terjadi pada sebuah momen puncak, melainkan terus mengalir dalam keseharian. Dan kita tak selamanya hidup dalam masa puncak itu, kita justru selalu harus menghidupi keseharian.

Kedua, ia begitu sabar menyusun perasaan-perasaan abstrak dari kejadian sederhana.


Saya rasa ini kekuatan utama Bernadya, ia bisa bicara hal-hal abstrak seperti perpisahan, kenangan, trauma, dan segala yang tak berwujud dengan metode layaknya wartawan bekerja.


Misalnya, dalam Kata Mereka Ini Berlebihan ia menarasikan ekspektasi pasangan dengan contoh yang simpel. Soal rambut yang diikat, pakaian hitam yang dirasa membosankan, pula membaca buku yang disuka pasangan. Satu Bulan berkisah soal pasca perpisahan dengan hal-hal simpel seperti nihilnya seseorang yang mengantar pulang, tak ada lagi yang mengingatkan menggunakan sabuk pengaman, juga soal wangi parfum yang tertinggal di pakaian.


Kejadian-kejadian kecil itu hidup karena ia seperti menjadi Proustian Moment dalam jalinan cerita di lagunya. Proustian Moment adalah momen sederhana di masa lalu yang menghadirkan kenangan manis tentang sesuatu. Nama itu diambil dari penyair Marcel Proust yang pernah menggambarkan kenangan manis masa kecil dengan memakan kue tradisional Prancis.


Bernadya menggunakan pola-pola adegan kecil semacam itu untuk menghadirkan kenangan masa lalu.


Saya menduga, dalam proses penulisan Bernadya tak menyusun tulisannya dalam konteks dua dimensi. Dugaan saya, ketika menulis ia selalu membayangkan fragmen-fragmen kejadian dalam tiga dimensi, seperti seseorang yang sedang menulis skenario.


Ia menyusun liriknya seperti naik turun tangga antara abstraksi dan kejadian konkret. Fondasi bawahnya adalah kejadian-kejadian konkret yang bisa dilihat, dapat dipegang, terasa oleh pancaindra. Fondasi itu menopang bagian lantai atasnya yakni konsep-konsep abstrak tentang relasi romansa dua manusia.


Ketika pondasinya dihilangkan, konsep-konsep abstraknya tak lagi menjejak tanah. Goyah.


Tak sekadar kuat, Bernadya membangun fondasi itu dengan material yang sederhana nan cantik.


Ketiga, ia membingkai lini waktu masa lalu, masa kini, dan yang akan datang dengan sangat intens.


Saya melihat lagu-lagu Bernadya selalu punya lintasan waktu yang mirip. Ia bicara soal trauma masa lalu, caranya berdamai saat ini, dan kecemasan pengaruhnya di masa depan. Hasilnya adalah sebuah lagu yang membawa banyak keraguan dan pertanyaan. Sebuah topik yang rasanya relevan dengan generasi yang beranjak dewasa.


Coba dengarkan Terlintas, setelah bercerita mengenai trauma masa lalu, ia secara vulgar bertanya pada pendengarnya, “Lalu bagaimana, akhirnya bagaimana?”. Pun, dalam Masa Sepi, ceritanya disusun oleh keterangan waktu yang ia tekankan sepanjang lagu.


Dulu, kukira ku akan kuat. Kini, aku hilang akal sehat. Sampai nanti, saat masa sepi tak lagi mau menghampiri.


Cara Bernadya memainkan waktu seperti rangkaian cerita tiga babak tanpa solusi. Masa lalu yang membawa luka, masa kini yang penuh kompromi, dan masa depan yang diisi teka-teki. Ia sekali lagi menyusun tahapan di lagunya dengan langkah-langkah kecil yang penuh kesabaran.


Hasilnya adalah lagu yang menjadi undangan kecemasan bersama atas sesuatu yang tak pasti.


Bagi saya membaca Bernadya seperti melihat seorang pengrajin kata-kata yang dengan sabar menyusun sebuah cerita.


Ia seperti penulis surat yang begitu tekun. Penulis surat dengan teknik menulis yang unik.


Dalam suratnya ia tak sekadar curhat, ia sejatinya sedang menyampaikan sebuah pesan tentang perasaan anak manusia. Pelan-pelan, personal, begitu autentik.


Pengirim surat itu terdengar seperti bukan Bernadya seorang. Surat itu mungkin punya alamat pengirim dari generasinya. Generasi midlife urban yang berani menceritakan kisah personalnya. Yang mengintip masa depan dengan rasa takut karena trauma masa lalu yang bukan tak mungkin karena generasi sebelumnya.


Mendengarkan Bernadya seperti membaca surat dari generasi kini. Sebuah surat yang mengingatkan bahwa dewasa bukanlah menihilkan sisi emosional, melainkan berdamai dengan tarik menarik antara yang emosional dan rasional.


Mungkin menjadi dewasa berarti menyadari bahwa ada begitu banyak tanda tanya dibanding tanda titik dalam perjalanan ke depan. Seperti lirik Bernadya, “Lalu bagaimana, ujungnya bagaimana?”

Leave a comment