Sidekick

Urip mung mampir ngejus

Saat menulis ini saya berada di kantor. Beberapa pekerjaan sudah selesai dan memutuskan untuk meneruskan beberapa yang lain esok hari. Saya memilih menunggu di kantor untuk menghindari macet. Lalu lintas Jakarta yang membuat kening tak pernah lupa berkerut memang hanya punya dua pilihan, pulang paling sore atau paling malam. Saya memilih opsi kedua.
Saya sengaja mengawali tulisan ini dengan begitu datar. Sebab hidup memang biasa saja, tak ada yang istimewa. Celah itu yang kemudian digunakan para pendongeng, penjual cerita untuk menjajakan khayalannya. Menceritakan tentang negeri di ujung sana, tentang relasi pria dan wanita yang penuh dengan drama. Saya hanya tersenyum dengan itu semua, tidak bisakah kita menganggap semuanya biasa saja?
Relasi pria dan wanita selalu dikemas dalam kacamata yang berbunga-bunga. Formulanya begitu terbaca. Ada satu formula untuk memulai khayalan yang berbunga-bunga itu, tarik dari sesuatu yang detail, pengalaman personal, lalu isilah dengan ucapan-ucapan seperti di undangan pernikahan. Maka jadilah cerita itu begitu menarik sebagai sebuah cerita relasi.
Waktu dan usia membuat saya berpikir relasi pria dan wanita laksana hal yang biasa. Seperti orang masuk kerja. Seperti kita yang butuh tidur. Seperti anak kecil yang terbata membaca. Seperti saya yang sedang menatap meja-meja di kantor sambil mendengarkan curhatan penjaga kantor. Bila relasi pria dan wanita dilepas keluar dari itu, maka ia kehilangan pijakannya, ia begitu kering dan mengawang-awang. Saya belajar untuk memperlakukan semuanya dengan biasa.
Namanya Rara, saya mengenalnya dengan biasa. Formula agar tulisan ini terlihat manis adalah dengan mengatakan ia punya gigi kelinci yang lucu. Lalu saya akan menyambungkannya dengan mengatakan ia selalu mengingatkan saya mengancingkan helm ketika naik motor, dia memang cerewet soal ini. Maka terkesan saya akan punya relasi personal yang manis dengannya.
Saya rasa relasi seperti itu penting, tapi ada yang lebih penting dari itu. Menciptakan kebiasaan dan menganggapnya sebagai perihal sehari-hari. Kita tidak sedang hidup dalam Film Eropa dengan scene yang temaram. Kita hidup dalam keseharian yang biasa. Relasi itu harus bisa masuk ke sana.
Rara, menghadirkan itu. Ia datang saat saya berada dalam keadaan yang biasa-biasa saja. Dalam keadaan di mana menganggap hidup sangat biasa. Dan butuh sosok yang bisa menyadarkan bahwa hidup yang biasa-lah yang akan menghidupkan kita.
Kami bertemu dengan cara yang begitu biasa. Kami dua orang yang berharap jadi arsitek namun terhempas di Jurusan Komunikasi. Kami yang secara tidak sengaja menyukai sebuah line dalam buku arsitektur, “Apa yang kita bayangkan cenderung romantis, berorientasi pada masa lalu. Sedangkan sebetulnya kualitas ‘menghuni’ yang dibutuhkan bergerak dari konteks kini ke masa depan”. Kami yang sering saling mengejek “Kamu tuh anak tumblr”. Kami yang percaya rumah kayu lebih baik dari rumah apapun yang bisa dibuat manusia, sepertinya kami berdua memang anak tumblr.
Hari ini sambil menunggu lalu lintas Jakarta yang biasa macetnya dan biasa menjengkelkannya, saya mengingat dirinya yang biasa. Mengingat rencana kami membuat band baru bernama trotoar bandara. Di bandara ia mengatakan, “Ih lucu tuh trotoar bandara, kesannya melankolis tapi asyik gitu”. Padahal saya asal menyebut nama itu karena memang cuma itu yang terlintas. Saya tahu lama kelamaan tulisan ini menjadi tidak biasa dan akan memakan ludah saya sendiri. Menjadi begitu manis. Lalu dia akan memarahi saya karena malu ketika teman-temannya membaca.
Saat menulis ini saya tahu saya sedang merindukan sosok biasanya. Sosok yang membuat saya percaya, pada kehidupan biasa dengan orang yang begitu biasa kita justru menemui cara pandang yang istimewa. Mungkin rencana band trotoar bandara akan jadi mitos-mitos berikutnya dalam kehidupan saya. Tapi saya harap sosok biasa yang ada di samping saya akan menemani saya dalam kehidupan yang biasa ini, bukan hanya mitos belaka.
Sebenarnya saya ingin menutup tulisan ini agar terlihat manis dan biasa. Tapi saya sama sekali tak menemui penutup yang pas. Yang terlintas di kepala saya hanya obsesi kami mendesain rumah kayu sendiri. Ah itu terlalu klise, yang biasa adalah saya akan melihat trotoar-trotoar Jakarta dua sampai tiga jam ke depan, tentunya sambil memikirkan trotoar bandara jauh di ujung sana, ah ini juga tipikal. Yasudah mungkin cerita relasi ini memang tidak akan berakhir sampai di sini. 

12 thoughts on “Trotoar Bandara

  1. didi says:

    kiamat adalah ketika penulis tak lagi jatuh cinta.. hajar wek!

    Like

  2. Ayu Welirang says:

    waw… jadi ini kisah tentang cinta ya? saya pikir apa… 😀

    Like

  3. Wis jadian po? Long live Skype! :p

    Like

  4. Ardi Wilda says:

    Kiamat adalah ketika fotografer dan penulis blog tidak pernah bertemu, apa kabar bung? 😀

    Liked by 1 person

  5. Ardi Wilda says:

    hahaha kalau dibilang kisah cinta biasanya kesannya cheesy gitu ya 🙂

    Like

  6. Ardi Wilda says:

    Nganu kak ….

    Like

  7. Suatu hari di Kafe Rikidederiko…

    Like

  8. Ardi Wilda says:

    wah ada kak ocha nih, gimana les bahasa prancisnya kak? 😛

    Like

  9. Les perancis kok nggowo carrier ping loro 😐

    Like

  10. Oh. Pake Skype.

    Like

  11. Ardi Wilda says:

    nganu kak kan lagi belajar kosa kata bepergian dalam bahasa prancis 😐

    Like

  12. Ardi Wilda says:

    sembarangan!

    Like

Leave a comment