Ada ritual baru yang saya alami beberapa waktu belakangan ini. Kini setiap Senin sampai Jumat saya menginap di kantor, baru kemudian pada akhir pekan saya kembali pulang ke rumah. Ada dua alasan mengapa saya melakukan ini, pertama karena pekerjaan memang sedang padat, kedua karena saya sudah malas mengarungi kemacetan Jakarta saat berangkat dan pulang kerja. Ritual ini sudah berjalan dua minggu, namun ada yang menyempil di dalam ritual itu.
Sekitar pukul sepuluh malam akan ada pesan pendek masuk ke telepon selular saya, pesannya singkat, “Wilda pulang enggak?”. Pesan pendek itu datang dari ibu saya. Ibu sebenarnya tahu jawaban saya adalah tidak pulang, namun ada harapan kecil dalam pesan pendek tersebut. Saya hanya tersenyum kecil saat menerima pesan pendek tersebut. Pesan pendek itu juga mengantarkan saya berpikir beberapa hal.
Dalam bukunya Extending Sensibilities Through Design, ada satu fragmen penting yang diceritakan oleh Baskoro Tedjo. Ia bercerita mengenai pengalaman arsitektur pertamanya. Ia menulis, “Pengalaman pertama saya dengan fenomenologi arsitektur terjadi saat saya berusia 10 tahun…suatu hari saya melihat bahwa ada yang aneh di salah satu bagian rumah. Salah satu bagian dari atap genteng tanah liat hilang, dan digantikan oleh sebuah bahan transparan. Celah dari genteng yang hilang itu memungkinkan sinar matahari masuk ke dapur dengan cara sangat puitis, terbias pada asap dari masakan ibu…sampai hari ini pengalaman tersebut masih terbayang dan mempengaruhi pemikiran saya dalam memahami apa yang disebut arsitektur.”
Saya rasa setiap orang memiliki “celah dari gentengnya” masing-masing. Panggilan kecil mengenai kenapa mereka kembali. Secara kuantitatif misalnya saya kini lebih banyak menghabiskan waktu di kantor daripada di rumah sendiri. Tapi dualitas itu tetap ada, saya tak akan bisa dan tak akan pernah menyebut kantor ini sebagai rumah. Ini bukan soal premis paling klise, “Anggap saja rumah sendiri”. Ada transaksi yang lebih dalam dari pada itu.
Dulu saya percaya pada usia 25 tahun – usia saya saat ini -, saya sudah harus hidup terpisah dengan orangtua. Namun saya tahu ada yang lebih kompleks dari sekadar tinggal dan meninggalkan kedua sosok itu beserta rumah. Ada “celah dari genteng” yang selalu memanggil.
Setiap tanggal lima belas misalnya saya akan mendapat tugas membayarkan semua tagihan rumah mulai dari listrik, air, telepon, kredit kendaraan dan tetek bengek lain. Setelah kakak saya menikah dan hidup di rumahnya sendiri, maka resmilah tanggungjawab itu jatuh ke saya. Ada simpul-simpul kecil yang tak bisa dilepaskan antara saya dengan kedua orangtua. Simpul yang membuat perkara meninggalkan rumah orangtua tidak semudah pembuktian diri manusia awal 20-an tahun.
Saya rasa proses kedewasaan bukan soal migrasi fisik semata. Tapi bagaimana kebingungan akan disposisi peran sebagai anak dan individu bisa kita kelola. Migrasi fisik pastinya akan menampik panggilan “celah dari genteng”. Sementara kesadaran akan beragam peran menyadarkan bahwa celah kecil dari genteng adalah elemen penting yang tak bisa dipisahkan dengan hidup kita.
Saya rasa disposisi itu yang membuat kita sadar apa dan bagaimana menempatkan “celah dari genteng” kita masing-masing. Baskoro Tedjo misalnya mencuplik karya-karya Tan Tjian Ay yang sangat detail atau menempatkan pengalaman si empunya rumah pada Rumah A+B di Bandung. Keduanya adalah contoh bagaimana Baskoro Tedjo mengelola simpul-simpul yang mengingatkannya pada rumah. Simpul-simpul yang terlepas dari konteks tinggal dan meninggalkan, tapi pada konteks mengarungi pengalaman kecilnya.
Nanti malam ketika ibu saya mengirim pesan pendek mungkin saya tidak akan menjawabnya dengan jawaban “Pulang” atau “tidak pulang”. Mungkin saya akan menjawabnya dengan “Ibu istirahat duluan aja”. Karena yang ia butuhkan bukan jawaban atas kehadiran fisik, yang ia butuhkan kesadaran bahwa saya tak lupa masih ada celah kecil dari genteng di rumah.
Ya,itilah celah yang membuat hati selalu kembali …
LikeLike
Suka sekali dengan cara mas Ardi Wilda ini bercerita. Terus bersemangat!
LikeLike