Suara berlogat Jawa halus menyambut saya di ujung telpon. “Walah Wilda tho, piye le sehat? Buko opo mau koe le? (Ya ampun, Wilda tho, gimana sehat kan? Tadi buka puasa apa?),” sambut Bude di telpon. Mendengar itu tanpa sadar senyum saya mengembang. Bude masih menggunakan kata sapaan “Le” untuk menyapa saya. Dalam Bahasa Jawa “Le” berarti anak laki-laki kecil, sebesar apapun, sebebas apapun kehidupan saya, baginya saya tetap seorang anak laki-laki kecil yang nakal. “Alhamdulilah sehat kok Bude, seadanya aja makannya Bude,” balas saya berusaha membuatnya tenang.
Saat Bude berbicara, di belakangnya suara Pakde terdengar sampai ke kuping saya di seberang telepon. “Sopo kui sopo (Siapa itu siapa)?” terdengar suara pakde samar-samar. Mengetahui saya yang menelepon Pakde langsung meminta gagang telpon diserahkan padanya. Suara besar nan ramah kemudian terasa di gendang telinga saya. “Piye le ngajare lancar tho (Gimana ngajarnya lancar kan)?” bukanya. “Alhandulillah lancar Pakde, Pakde sehat kan?” jawab saya membuka obrolan.
Pakde kemudian meneruskan obrolan dengan bertanya kapan saya selesai mengajar. Setelah itu ia kemudian menanyakan lagi apa yang sering ia tanyakan. “Piye le sido (jadi) sekolah lagi tho? Ben (biar) pinter le,” tanyanya begitu jujur. “Geh Pakde nek dinei dalan (Iya kalau dikasih jalannya Pakde), tapi masih lama kok Pakde, Wilda mau jalan-jalan dulu Pakde,” ujar saya. Dan tawa renyahnya pun keluar begitu saja, mungkin ia merasa saya tetaplah anak laki-laki kecilnya yang masih senang bermain. “Ya pokoknya ojo lali (jangan lupa) sekolah le,” ujarnya singkat sebelum gagang telpon ia serahkan pada bude. “Yawes le, makan yang banyak ben ra kuru (biar tidak kurus), Bude sama Pakde cuma bisa doain Wilda,” ujar Bude menutup perbincangan. Telepon terputus, saya merenung.
Mengingat Pakde dan Bude adalah mengingat Novel Para Priyayi. Dalam novel terbaik karya Umar Kayam tersebut diceritakan sebuah tokoh bernama Sastro Darsono, seorang pegawai pemerintahan yang membangun keluarga priyayi kecil. Sebagai sosok yang sukses ia menjadi tulang punggung keluarga besarnya. Kemudian datanglah beberapa sosok keluarga dekat, keponakan misalnya yang tinggal bersamanya. Bukan keluarga inti yang tinggal bersama Keluarga Sastro, numpang istilah populernya. Tersebutlah Lantip, pemuda yang menumpang hidup bersama Pak Sastro.
Suroto adalah Sastro Darsono di keluarga besar kami. Saya memanggil Suroto dengan sebutan Pakde. Ia pegawai negeri sipil yang juga menjalankan bisnis dengan sukses. Secara ekonomi keluarga pakde yang paling maju dibanding lainnya. Beberapa paman saya pernah menumpang hidup entah untuk kuliah maupun bekerja di rumahnya. Kemudian waktu dan nasib membawa saya ke rumahnya. Diterima di Universitas Gadjah Mada (UGM) juga berarti otomatis tiket masuk tinggal dan menempa ilmu dari keluarga ini. Saya Lantip kecil yang tak tahu apa-apa.
Mungkin keluarga kecil Pakde dan Bude saya adalah potret terbaik kelas menengah Jawa menghadapi modernitas. Pakde dan Bude sangat menjalankan unggah-ungguh Jawa namun ia sangat terbuka terhadap perubahan. Saya tak pernah berani menggunakan Bahasa Jawa saat berbincang dengan mereka sampai tahun-tahun terakhir saya kuliah, alasannya jelas takut salah menggunakan Bahasa Jawa halus. Namun lain waktu saya bisa tertawa berderai-derai bersama mereka hanya karena saya telat bangun untuk kuliah.
Lebih dari itu saya tahu cita-cita terbesar Pakde saya, ia hanya ingin anak-anaknya sekolah sampai jenjang tinggi. Tak hanya sarjana, ia ingin lebih. Kesuksesannya tak ia dapat dari jalur pendidikan melainkan dari usaha dagangnya, wajar jika kemudian ia menginginkan hal itu dari anak-anaknya. Sayang cita-citanya tak kesampaian. Maka sudah bisa ditebak, ujung telunjuknya kemudian mengarah ke saya. Menginginkan saya yang mewujudkan cita-cita itu. Ia tak pernah mengatakan hal itu namun saya tahu ia menginginkan itu.
Tak ada yang salah dengan keinginannya. Dalam falsafah Jawa ada sebuah istilah “Ngelmu lewat laku” yang selalu dipegang oleh para Priyayi Jawa dengan baik. Falsafah itu berarti “terus belajar dan belajar dengan sungguh-sungguh”. Dahulu falsafah ini berarti mengambil semua pesan dari tingkah polah masyarakat sekitar. Artinya sebagai manusia kita harus bisa mengambil pesan yang baik dari apa yang terjadi di masyarakat.
Waktu terus bergulir dan sekolah kehidupan tak cukup. Hadirlah sekolah-sekolah formal yang menciptakan para generasi intelektual. “Ngelmu lewat laku” kemudian tak hanya berarti sekolah dalam masyarakat melainkan juga sekolah sesungguhnya, sekolah formal. Pakde tanpa sadar ingin menjalankan hal tersebut. Saya tanpa sadar ingin mengamininya.
Telepon selular saya masih tergeletak di lantai teras depan rumah sehabis perbincangan hangat dengan pakde dan bude. Saya masih menerawang ke langit dengan gugusan bintang yang tak saya ketahui namanya. Saya ingat dalam penutup Para Priyayi diceritakan Lantip sukses menjadi “orang” lewat jalur pendidikan, seperti yang dicita-citikan sang priyayi, Sastro Darsono. Pikiran saya kemudian melompat pada Sastro Darsono versi saya, Pakde. Malam itu saya sadar Pakde menginginkan saya menjadi Lantip dewasa.
mas, dongengin dong gmana dulu bisa milih komunikasi ugm dan akhirnya sampai kuliah disana
LikeLike