Sidekick

Urip mung mampir ngejus

Saya selalu ingat sebuah adegan sederhana dalam film Billy Elliot. Bukan, bukan adegan Billy menari balet di depan ayahnya untuk pertama kali. Juga bukan adegan kejar-kejaran dengan lantunan “London Calling” yang sangat anthemic itu. Yang saya ingat hanya sebuah adegan sederhana.
Adegan itu dimulai ketika Billy melihat sepucuk surat di meja makan. Surat itu adalah pengumuman apakah ia diterima di sekolah balet London atau tidak. Ayah, kakak dan nenek Billy merapat di meja makan. Itu adalah satu-satunya scene yang menggambarkan mereka sebagai keluarga berkumpul di tempat di mana seharusnya keluarga berkumpul. Kamera kemudian mengarah pada Billy, ia segera mengambil sepucuk surat di antara peralatan makan. Sayang ia tak duduk di ruangan itu bersama keluarganya. Ia memilih menepi, ia masuk ke ruangan lain. Ia menutup pintu penyekat antara ruang pribadinya dan meja makan. Lantas ia membuka surat itu sendiri. Ia melihatnya di ruang personal, bukan ruang makan. Ia memilih ruang itu, memilih ruang personal bagi dirinya.
Boleh jadi beberapa hari lalu saya adalah ayah Billy. Saya senang mengajak orang bepergian ke taman kota untuk berpiknik. Sampai seorang teman saya merasa keputusan saya senang pergi ke taman adalah hal aneh. Saya mendebatnya, mengatakan mal dan gedung swalayan sejenis lainnya di ibukota adalah sekat-sekat yang tak manusiawi, hanya taman yang menyediakan hal itu di Jakarta. Tepatnya tinggal taman. Ia kemudian menjawab sederhana.
Baginya mal atau ruang sejenis memberikan kemudahan. Ruang pertemuan yang sederhana. Kita tak perlu bingung memilih taman mana yang kita datangi, aktivitas apa yang akan kita lakukan saat berpiknik, dan beragam hal seputar teknis lainnya. Baginya mal sudah memberikan pelayanan itu. Saya menolak anggapannya, tapi saya tak bisa menolak untuk menganggukkan kepala atas alasannya. Boleh jadi mal adalah ruang personalnya.
Beberapa hari lalu saya menelan ludah ketika kakak kelas saya saat kuliah mengajak bertemu. “Di FX aja sekalian aku pulang dari sepedaan di car free day,” ketik saya mantap di pesan pendek. FX sendiri adalah sebuah pusat perbelanjaan di tengah kota dengan façade yang menarik buat saya. Ia kemudian mengajak saya untuk bertemu di Bendungan Hilir (Benhil) saja. Menurutnya kurang elok bergaya ala anak sepeda kemudian pergi ke FX. “Saya kalau habis sepedaan pasti ganti baju kok, biar tidak keringetan,” balas saya. Dan ia pun menyetujui bertemu di FX, itu solusi tepat baginya. Saya hanya tersenyum kalau mengingat kejadian itu.
Pertemuan dalam sebuah tempat adalah hal yang selalu penuh tarik menarik. Si A maunya di sini, sementara si B maunya di situ, nah si C tak mau mengalah ia maunya diantara sini dan situ. Alasannya biasanya adalah fungsi dan konteks tempat itu. Tentu setiap ruang sudah memberikan kedua alasan tersebut baik secara sengaja maupun tidak. Seperti ayah, kakak dan nenek Billy yang memilih ruang makan untuk menunggu pengumuman penting. Nyatanya Billy memilih menyingkir, pergi ke ruang personalnya.
Setiap dari kita pasti memiliki ruang personal itu. Kutub yang paling kuat bernegosiasi maka pertemuan akan terlaksana di ruang personal miliknya. Boleh jadi Si C memenangkan negosiasi maka pertemuan diadakan diantara sini dan situ. Maka ruang yang menurut C cocok untuk bertemu (bisa dibaca sebagai ruang personalnya) akan menjadi milik bersama.
Saya tak akan bicara soal keterbatasan ruang di ibukota atau hal besar lainnya. Yang menarik bagi saya adalah bagaimana kemudian ruang-ruang ini masuk dalam pikiran kita. Teman saya tak mau pergi ke taman karena tak mau repot. Mal menyediakan semua tanpa perlu repot mempersiapkan ini itu baginya. Sementara kakak kelas saya hanya mau bertemu di mal ketika keadaan saya rapi dan tak berkeringat karena lelah mengayuh sepeda. Ruang itu nyatanya ada di kepala kita masing-masing.
Menjadi lucu adalah ketika banyak tempat mencoba menawarkan konsep pada kita. Seperti seorang pedagang permen yang berusaha menawarkan ragam rasa pada anak kecil. Setiap ruang berusaha untuk membuat suasana khas mereka sendiri. Menciptakan konteksnya sendiri. Tentu kemudian ia berharap kita masuk dalam konteks buatannya.
Sayangnya boleh jadi kita adalah replika Billy Elliot. Boleh jadi masing-masing dari kita ingin “membuka surat di ruang personal”. Kita tak ingin membuka surat di meja makan. Sebuah ruangan dengan konteks berkumpul. Kita menciptakan konteks kita sendiri.
Boleh jadi ruang personal itu adalah taman bagi saya. Bagi seorang Jamesbon (Penjaga mesjid dan kebon) ruang personal itu pojokan masjid di bawah kaligrafi Ayat Quran misalnya. Bagi yang lain bisa jadi mal. Tentu jawabannya beragam.
Tapi apakah kita berani untuk mencoba mengenali mereka. Mencoba mengetuk ruang-ruang personal mereka? Mencoba untuk tak gegabah mengatakan ruang personal kita yang paling nyaman. Seperti menelan ludah ketika teman saya mengatakan pergi ke taman adalah sebuah hal sia-sia karena merepotkan.
Mungkin sedikit membosankan mengetuk satu persatu ruang personal mereka. Namun tak ada salahnya sesekali untuk mencoba. Tentu mencoba untuk tak memvonis sebelum kita mengetuk ruang itu. Mengetuk dengan mimik penasaran. Seperti mimik ketika kita pertama mengintip deretan VCD porno di Glodok atau ketika kita dengan sok berani main di arena dingdong bioskop dekat rumah. Tapi tanpa keberanian mengetuk itu boleh jadi kita akan terkungkung dalam pikiran kita masing-masing.
Saya lupa menceritakan satu adegan menarik lainnya dalam Billy Elliot. Sebelum pergi ke London, Billy dan ayahnya mengobrol di sebuah padang rumput. Billy bertanya apakah ia boleh kembali jika ternyata kehidupan di London tak menyenangkan. Ayahnya hanya tertawa. Sambil terbahak-bahak Billy kemudian mendorong ayahnya ke rerumputan. Ayahnya menarik Billy ikut jatuh. Mereka tertawa bersama di rerumputan. Sebuah ruang baru bagi mereka. Bukan ruang personal mereka masing-masing. Tanpa kerelaan sang ayah membiarkan Billy membuka amplop di ruang personalnya boleh jadi mereka tak akan tertawa bersama di rerumputan.
Mungkin sudah saatnya kita mengenali ruang personal lain. Bukan untuk menghakimi, sekadar untuk melihat bagaimana masing-masing dari kita menikmati ruang pribadinya. Siapa tahu kita bisa mendapatkan ruang baru seperti Billy dan ayahnya. Seperti saya mencoba mengetuk ruang teman saya yang membenci taman. Pun kakak kelas saya yang membenci pakaian lusuh masuk mal, saya mencoba mengenali ruang mereka. Mungkin hari-hari saya berikutnya akan penuh dengan, “Tok…Tok…Tok…Ini Ruang Siapa?” Siapa tahu dari ketukan itu akan ada tawa bahagia di rerumputan seperti Billy dan ayahnya.  

4 thoughts on “Tok…Tok…Tok…Ini Ruang Siapa?

  1. cya says:

    Piknik yuk!

    Like

  2. Ardi Wilda says:

    Piknik dengan pengeluaran untuk perbekalan di bawah 20 ribu? 🙂

    Like

  3. Aku padahal ngajak nang benhil ben iso mangan enak tur murah plus ra perlu bayar parkir 4000/1000 perjam.

    Like

  4. Ardi Wilda says:

    hahaha uwong e jedul :))))

    Like

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: