Sidekick

Urip mung mampir ngejus

Semua petugas makam hanya menggelengkan kepala ketika saya tanya letak makam yang hendak saya tuju. “Blok apa Mas?” tanya mereka serentak. Saya memang salah karena sama sekali tak mendapatkan informasi mengenai letak detail makam tersebut. Untungnya seorang petugas makam berbadan kurus dengan baju merah yang kotor terkena tanah menghampiri saya. “Oh, ikut saya Mas,” ujarnya singkat.

 

 

Nama petugas makam tersebut Pak Ojo. Dari tempat kami berdiri sampai ke makam yang kami tuju tak terlalu jauh, berjarak sekitar dua ratus meter. “Ini yang penulis itu kan Mas?” tanyanya polos. “Iya Pak, ini makam Pak Umar Kayam,” jawab saya singkat.

 

 

Makam itu sederhana, terlalu sederhana bahkan untuk seorang Pak Kayam. Tak seperti kebanyakan makam pesohor, makamnya tak berdinding keramik. Tempat peristirahatan terakhir Pak Kayam tak dihias apapun, hanya tanah yang ditumbuhi rerumputan. “Kalau Pak Chairil di sana Mas,” tiba-tiba suara Pak Ojo memecah keheningan. Saya hanya menganggukkan kepala menghormati informasi Pak Ojo. “Chairil banyak yang datengin Pak, kalau ini terakhir ibu-ibu sekitar minggu lalu gitu,” tambahnya. Pak Ojo kemudian pamit, meninggalkan saya sendiri di depan nisan Umar Kayam.

 

Menatap nisan Pak Kayam di Karet adalah sebuah ironi. Mungkin ia telah menyadari akan dimakamkan di sana ketika karyanya “Lebaran di Karet, di Karet” rilis. Tapi ada satu ironi yang saya lihat di makam itu. Bukan soal tak adanya bendera merah putih bertuliskan “Pejuang 45” seperti makam di sampingnya, juga bukan tentang beberapa sampah yang hanya berjarak tiga langkah dari makamnya. Satu ironi tersebut adalah ketika makam Pak Kayam di Karet berlatar gedung bertingkat. Gedung pena yang terkenal itu juga deretan apartemen di kawasan Sudirman. Makam Kayam adalah sebuah ironi dirinya.

 

***

 

84a48-dsc01981

“Kalau Mbak Desi salah nulis Bahasa Inggris, Rian sama Muna langsung marahin Mbak Desi,” cerita Mbak Desi sambil terkekeh. Mbak Desi adalah sepupu saya dari ibu. Ia sedang menceritakan keponakannya yang tinggal di Australia karena ikut bapaknya yang sedang bersekolah. Ketika Mbak Desi mengunjunginya ke Perth, ia kerap diledek karena banyak grammar-nya salah. Dengan terkekeh ia kemudian menceritakan hal itu pada saya.

 

 

Tepat di tempat Mbak Desi bercerita sudah ratusan bahkan ribuan cerita saya dengar darinya atau dari Pakde dan Bude. Sekitar lima tahun saya tinggal di rumah Bude, di Jogja. Kemarin saya kembali mengunjungi rumah itu. Banyak hal berubah. Ada perubahan di sana sini secara tata ruang yang membuat saya bingung. Tapi tata ruang hanyalah soal letak, ada satu perubahan penting kehadiran saya di sana.

 

 

Bude dan Pakde tak lagi menganggap saya laiknya anak kecil seperti ketika mahasiswa dulu. Mereka bertanya bagaimana pekerjaan saya, apa yang saya lakukan dan rencana-rencana ke depan. “Belajar terus pokoknya,” pesan Pakde klise. Relasi Pakde dan saya kini sejajar, sebagai dua laki-laki dewasa yang bicara laiknya seorang kawan. Di titik itu saya mengingat sebuah cerita Pak Kayam.

 

 

Dalam sebuah ceritanya, Pak Kayam menempatkan sosok Lantip sebagai penerus tradisi priyayi. Lantip lahir dari orang biasa yang kemudian menempuh pendidikan. Ia lantas berdiri sejajar dengan orang yang merawatnya sejak kecil. Pada Lantip sebenarnya kita sedang menengok bagaimana Jawa berhadapan dengan modernisasi, tentang keterbukaan dan mempertanyakan kembali diri kita sebagai seorang Jawa. Lantip sebenarnya adalah masing-masing dari kita. Yang terus bertanya tentang ke-Jawaan kita dalam era modern.

 

***

 

Matahari terlalu terik di Karet, membuat baju saya dipenuhi keringat. Saya mengambil secarik kertas catatan. Menyampaikan pesan saya pada Almarhum. Mungkin ia akan membacanya di sana. Dalam surat itu saya menulis, “Sekarang saya di Karet. Saya rindu cerita Pak Ageng. Saya rindu Mister Rigen dan Nansiyem. Tenang di sana Pak. Saya besar dengan cerita Bapak”.

 

 

Hari ini saya takut menghadapi hari ke depan. Takut menghadapi apa yang akan dimakan oleh gedung-gedung bertingkat dan apartemen tersebut dari kota ini. Takut saya menjadi bukan diri saya. Hari ini ketakutan itu saya limpahkan pada Pak Kayam.

 

 

Sejak kecil saya hidup bersama cerita-ceritanya. Beragam cerita sederhana yang membuat saya percaya kesederhanaan lebih rumit dari kerumitan itu sendiri. Pak Kayam kini ada di karet, seperti pintanya dalam “Lebaran di Karet, di Karet”. Ia menulis, “Berhenti sebentar kemudian membanting stirnya ke arah jurusan kiri. Ke Karet, Ke Karet tidak ke Jeruk Purut ke tempat Rani, melainkan ke Karet, ke Karet”.

 

 

Pada Pak Kayam saya ingin katakan kini ada jutaan Lantip di luar sana. Lantip-Lantip yang gundah menentukan arah. Lantip yang hanya bisa terkejut dengan ibukota. Mungkin satu dari mereka ada dalam gedung di belakang makam bapak atau sedang rehat dalam apartemen di sampingnya. Mungkin saya hanya satu dari jutaan Lantip masa kini.

 

 

Pak Kayam, saya ingin mengutip sebuah esai Jennifer Lindsay tentang cerita-cerita Bapak. Dalam esainya yang berjudul “Semangkin Dikangeni: Pocapan Umar Kayam dalam Kedaulatan Rakyat” Lindsay mengkritisi dengan baik cerita-cerita Bapak. Ia menulis dengan bernas, “Dunia Jawa ternyata adalah sesuatu yang terus menerus diinterogasi sambil dikangeni…Kita dapat mendengarkan orang Jawa-Indonesia mengomentari dunia Indonesia, serta pergeseran orang Jawa terhadap Jawanya”.

 

 

Lindsay ada benarnya Pak. Sangat benar bahkan. Kritiknya adalah gambaran Lantip masa kini. Lantip yang rindu sekaligus menginterogasi ke-Jawaannya. Sialnya Bapak kini tak ada, itu berarti cerita Lantip generasi kami, harus kami selesaikan sendiri. Sayangnya kami sadar cerita kami tak sesederhana kisah-kisah Pak Kayam. Tak sesederhana makam Pak Kayam di Karet.

 

00ce8-dsc01973

10 thoughts on “Pak Kayam

  1. temukonco says:

    Wah apiiiikk… Makin membuat saya berusaha mempertahankan ke-Jawa-an saya yang rasanya kian tercerabut dari hari ke hari…

    Like

  2. Anonim says:

    Baru hari Rabu lalu selesai membaca Para Priyayi. Buku itu berhasil sekali mengingatkan tentang keikhlasan. Terutama di bagian akhir ketika Lantip pergi ke Wanalawas setelah pemakaman untuk berziarah ke makam Mboknya bersama Halimah dan melewati rumahnya waktu kecil. Manis dan mengharukan 🙂

    Like

  3. Ardi Wilda says:

    iya nih mas kita jawa 3.0 harus tetap njawani 🙂

    Like

  4. Ardi Wilda says:

    itu bagian terbaik dari buku itu mas/mbak, hehe saya nangis baca bagian itu 🙂

    Like

  5. nek rene neh aku dijak we.. nggo ngobrol karo Pak Kayam, kok iso nggabungke ziarah karo lebaran nganti intim ngono kui, nganti aku sedih dan menderita

    Like

    1. ardiwilda says:

      siap bang didi, di komplek makam yang sama juga ada chairil. aku belum pernah ziarah ke sana, mungkin kapan-kapan kita bisa bareng menengok si bung satu itu 🙂

      Like

  6. salmahelma says:

    Saya sering membayangkan bagaimana jika saya tidak lahir di tahun 1997. Bagaimana kalau saya mengenal Bapak Umar Kayam jauh-jauh hari sebelum beliau meninggal. Bagaimana kalau saya bisa bertemu langsung dengan beliau dan memberitahu bagaimana karya-karyanya bisa membuat saya bahagia dan berubah. Tapi sayang sekali saya mengenal Pak Umar Kayam dari novelnya; Para Priyayi baru di akhir 2013 lalu. Saat usia saya 17 tahun, 11 tahun setelah beliau meninggal. Walaupun tidak bisa bertatap muka dengan beliau, saya ingin sekali berkunjung ke makam beliau. Berdoa, bercerita, dan berterima kasih. Saya juga baru tahu jika makam Pak Kayak satu komplek dengan makam Chairil Anwar. Saya sangat, sangat, sangat berharap saya bisa berziarah ke sana suatu saat nanti 🙂 Terima kasih mas atas tulisannya. Kalau tidak karena blog ini, sepertinya saya tidak akan pernah tau dimana dan bagaimana saya bisa ‘bertemu’ langsung dengan idola saya. Terima kasih.

    Like

    1. ardiwilda says:

      sama-sama, bulan ini saya mau ke sini lagi. mari bersama kalo mau 🙂

      Like

  7. salam kenal,
    saya punya bukunya, Para Priyayi Jalan Menikung. dan buku itu merupakan salah satu buku yang saya promosikan kepada pecinta buku, yang kebetulan belum punya karya Umar Kayam. saya bangga menjadi pembaca buku itu. sehingga membeli juga Mangan Ora Mangan Kumpul-nya.
    saya rencana mau nyekar (kirim bunga) ke makam penulis juga : Mangunwijya. sehingga ingat ada Umar Kayam yang seangkatan dengan Mangunwijaya. jadi kepikiran nyekar dulu ke Umar Kayam.

    Like

    1. ardiwilda says:

      Hai, senang sekali ada yang suka Pak Kayam juga. Salam kenal 🙂

      Like

Leave a comment