Sidekick

Urip mung mampir ngejus

Saya ingat sekitar setahun lalu, editor saya di Jakartabeat yang juga seorang pengamat politik, Philips Vermonte, meminta saya untuk bertemu dengannya. “Pokoknya ketemu gw lo besok,” ujarnya singkat di telepon. Syahdan esoknya saya sudah bertemu dengannya di sebuah kantor yayasan bilangan Kebayoran Baru. Pada pertemuan itu ia meminta saya membantu sebuah gerakan yang bergerak di bidang sosial politik, saya ingat ketika itu tak langsung setuju. “Wah politik Mas Philips, gw pikir-pikir dulu deh, bukan orang politik gw,” jawab saya ketika itu.

 

Mas Philips hanya tersenyum kecil saat itu, mungkin ia berpikir, “Ini bocah perlu gw kasih kuliah dulu.” Lalu muncullah “kuliah” pertamanya, yang selalu saya ingat sampai sekarang. “We, lo tahu enggak bedanya pengamat politik sama antropolog?”. Saya menggelengkan kepala karena tak siap dengan jawaban atas pertanyaan tersebut. “Antropolog itu makin dalemin bidangnya maka dia makin cinta, buktinya banyak antropolog sampai nikah sama subjek penelitiannya. Pengamat politik sebaliknya semakin dalemin bidangnya maka dia makin merasa males sama bidangnya,” wejangan Mas Philips malam itu.

 

Saya teringat kejadian setahun lalu tersebut ketika membaca tulisan Mas Philips di catatan laman facebook miliknya pagi ini. Dalam tulisan tersebut intinya ia menuliskan bahwa ia bersyukur saat ini masih berada di jalan yang benar. Dulu ia melawan autoritarianisme sampai dihajar tentara, kini dengan mendukung Jokowi ia merasa bahwa setidaknya ia tak mempersilakan autoritarian kembali berkuasa. Saya senang dengan perspektifnya, ia mendudukkan manusia sebagai kacamata utama dalam politik, sesuatu yang selama satu tahun ini saya cari.

 

Sebenarnya sejak “kuliah” perdana dengan Mas Philips dan saya menyanggupi membantunya, saya berusaha keras mencintai politik, sangat keras. Saya mulai membaca kajian-kajian politik dan literatur bagaimana membangun sebuah manajemen kampanye yang baik. Secara teknis saya paham, tapi tak membuat saya merasa ini kajian yang bisa saya cintai. Justru, ada satu buku yang tidak terkait dengan politik yang mengubah perspektif saya.

 

Buku itu adalah sebuah kumpulan cerpen karya Kuntowijoyo berjudul “Pelajaran Pertama bagi Calon Politisi”. Cerpen berjudul serupa di buku tersebut mengangkat sebuah kisah kecil dinamika politik di pedesaan. Diceritakan seorang tokoh bernama Sutarjo yang sedang bertarung melawan seorang tentara tanpa nama berebut kursi lurah. Ada satu nukilan kisah tersebut yang membuat saya selalu merenung.

 

Diceritakan Sutarjo diterpa fitnah bahwa dia anak PKI, ayahnya dituduh pegiat partai bergambar palu arit tersebut. Namun, Sutarjo punya satu kekuatan, ia adalah cucu lurah yang berhasil, lurah yang dicintai oleh masyarakat. Maka atas petunjuk “konsultan politik” di desanya ia diminta untuk ziarah ke makam kakeknya. “Kunjungi kuburan kakekmu, buat fotonya, syukur ada video tape!” saran sang konsultan politik level kampung.

 

Sutarjo kemudian berziarah ke makam sang kakek. Sayang seribu sayang, yang ia temui justru kemenyan dan bunga mawar. Pikirnya bagaimana mungkin meyakinkan pemilih Muhammadiyah kalau ada kemenyan dan bunga mawar. Ia kembali menghadap konsultan politiknya. Dan bertitahlah sang konsultan, sebuah titah yang selalu saya ingat layaknya “kuliah” perdana Mas Philips.

 

Kata sang penasihat, “Politik itu the art of possible. Tidak harus lurus, tapi boleh bengkok-bengkok. Jangan lugu begitu. Politik itu seperti silat, balikkan kelemahan jadi kekuatan.” Kata penasihat lagi, “Adanya kemenyan itu justru menguntungkan, untuk menunjukkan sekalipun kau Muhammadiyah, tapi Muhammadiyah yang penuh toleransi.”

 

Kisah Sutarjo bagi saya jangan hanya dilihat pada terma “politik tidak harus lurus tapi boleh bengkok-bengkok”. Ia harus dilihat secara kontekstual, bahwa politik didudukkan pada di mana masyarakat berdiri. Ia bukan sebuah toa untuk bermonolog, ia sebuah tali untuk berkomunikasi. Kondisi ini sebenarnya sangat kontekstual dengan keadaan politik saat ini.

 

Saya coba cuplik sebuah perjalanan yang banyak memberi saya pelajaran. Yakni perjalanan saat Jokowi melakukan kampanye di Majalengka. Kebetulan selama satu minggu saya ikut membantu Jokowi melakukan kampanye di daerah Pantai Utara Jawa. Ada satu kejadian yang menurut saya menarik di Majalengka.

 

Saat berkampanye terbuka di Majalengka, Jokowi meminta ada penonton yang naik ke panggung untuk mempraktikkan cara berkampanye yang baik. Naiklah seorang ibu berusia sekitar 40-an tahun. Ia tipikal ibu-ibu pengajian yang kita temui di Hari Jumat Siang, berjilbab dan tingkah polahnya lucu. Alih-alih mempraktikkan cara berkampanye Si Ibu malah menjelaskan alasannya memilih Jokowi. “Saya sih pilih Pak Jokowi soalnya bajunya enggak pernah ganti, kemeja kotak-kotak terus, capres sederhana, bajunya aja cuman satu,” ujar Si Ibu di atas panggung disambut tepuk tangan ribuan warga.

 

Mendengar apa yang terjadi dengan Sutarjo pun kisah Ibu di Majalengka mungkin sebagian dari kita menganggap remeh, bahkan bukan tak mungkin membalas dengan, “How low can you go?”. Tapi justru pada kisah seperti itu menurut saya politik perlu didudukkan.

 

Baik Sutarjo maupun Ibu di Majalengka harus didekati secara antropologis. Bahwa politik bukan soal monolog kekuasaan. Politik semestinya menjadi sebuah komunikasi dari bawah. Sebuah intermediasi antara keinginan rakyat banyak. Bahwa pola-pola kecil di masyarakat, hasrat didengarkan, konteks di mana berdiri menjadi penting. Politik yang didekati secara antropologis menjadi penting bahwa subjeknya bukanlah si aktor tapi masyarakat.

 

Pagi ini saya merasa bersyukur ketika dulu menganggukkan kepala saat Mas Philips meminta bantuan saya. Pada politik saya belajar bahwa politik bisa didekati dengan cara lain. Dengan cara yang lebih manusiawi, dengan mendudukkan manusia dan bukan kekuasaan sebagai sentralnya.

 

Jika waktu boleh berulang tepat ketika Mas Philips memberikan “kuliah” perdananya saat bertanya apa beda antropolog dan pengamat politik, saya ingin bertanya balik padanya. “Kenapa politik tak didekati secara antropologis? Pun jika tetap tidak membuat pengamat politik jatuh cinta pada bidangnya, setidaknya membuat politik lebih memanusiakan subjeknya”. Karena jika ada satu alasan saya tetap waras selama satu tahun adalah karena saya mendudukkan politik pada Sutarjo dan Ibu di Majalengka, bukan pada retorika elit semata. Mungkin memang sudah saatnya Mas Philips bisa melanjutkan kuliah keduanya, semoga dengan menyatakan saya lulus di kuliah perdana.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: