Sidekick

Urip mung mampir ngejus

“Apa gambaran terbaik tentang ironi keluarga Indonesia? Bagi saya jawabnya jelas: Grup WhatsApp Keluarga.” 

 

Saya punya pakde yang hobinya unik. Ia senang sekali meneruskan pesan dari grup WhatsApp yang ia ikuti ke grup keluarga besar kami. Apapun bentuk pesan itu: Mulai dari gambar bunga sampai kritik pada negara, tentu tak lupa lawakan ala orang tua. Tak jarang pula, ia mengirim informasi nir-verifikasi. 

 

Dulu, saya menganggapnya menyebalkan. Langkah selanjutnya jelas solusi instan, saya memilih keluar dari grup WhatsApp keluarga. Namun, lama kelamaan saya malah penasaran kenapa pakde saya senang meneruskan pesan?

 

Saya mencoba melihat kebiasaannya dalam mengirim pesan. Tak ada satu pun pesan yang dibuat oleh dirinya, selalu ada tulisan “Diteruskan” di atas pesannya. Sebuah tanda ia hanya meneruskan. 

 

Sering kali, pesannya tak digubris oleh anggota grup. Tak ada yang mengamini atau membantahnya, informasi itu jadi angin lalu begitu saja. Tapi, minim respon tak mengurangi kepuasannya.

 

Ia tak bertendensi membangun percakapan, ia seperti bermonolog di grup WhatsApp. 

 

Saking penasarannya, saat mengurus pernikahan di Solo, saya menyempatkan mengamati interaksinya dengan telepon seluler. Tentu pengamatan ini jauh dari valid karena saya hanya melakukannya tak sampai seminggu. 

 

Meskipun sudah menginjak usia paruh baya ia tak bisa lepas dari telepon seluler. Sepertinya mitos soal “generasi menunduk” perlu dikaji ulang, istilah itu kini melampaui usia muda. 

 

Di rumah, ia jarang membangun interaksi aktif dengan anaknya. Ia tinggal bersama kedua anaknya yang sudah berkeluarga, tapi jarang terjadi obrolan dalam rumah itu. Tentu keluarga ini hangat, tapi kalaupun ada percakapan maka itu adalah percakapan yang sifatnya domestik, tentang rumah tangga, bukan isu besar. 

 

Jauh berbeda dengan topik bahasannya di grup WhatsApp keluarga. 

 

Satu yang saya pahami: Keluarganya bukan aktor yang memberi sumbangan informasi untuknya. 

 

Lantas pertanyaannya, dari mana ia mendapatkan informasi? 

 

Saya beri satu ilustrasi singkat untuk menjawab itu. Suatu kali saya pernah mengonfirmasi bahwa info yang ia sebar hoaks.

 

Bagi saya responnya sangat menarik: “Maaf kalau brt ini hoax sy dikasih dr temen dr kal teng.” 

 

“Dari teman”, “dari alumni”, “dari grup SMA” adalah kata-kata yang sering muncul ketika ia menyebarkan info. Ukuran validitas informasinya adalah ikatan pertemanan.

 

Alasannya menjadikan pertemanan sebagai validitas informasi jelas penting. Berarti ada aktor-aktor lain yang absen hingga ia memilih pertemanan sebagai jangkar informasi. Keluarga dan media absen di sana. Atau tak berhasil menjangkaunya. 

 

Saya jadi ingat fenomena gentrifikasi pada kota besar. Keadaan ketika sebuah kampung kota, tumbuh menjadi pusat baru keramaian karena ruang-ruang itu dibeli oleh kelas yang lebih mapan.

 

Apa konsekuesi dari itu? Erat tidaknya hubungan tak lagi diukur dari kedekatan geografis, tapi pada kedekatan kelas.

 

Seorang yang tinggal di Buaran bisa jadi lebih dekat dengan temannya yang tinggal di Kemang alih-alih berinteraksi dengan yang di ujung gang. 

 

Pakde saya seperti mengalami gentrifikasi dalam konteks yang lain. Ia lebih dekat dengan temannya alih-alih keluarganya perihal validitas informasi. Dan bagi saya, kenapa itu terjadi adalah sebuah ironi. 

 

Ada pameo yang selalu saya ingat dari seorang peneliti yang pernah menjadi atasan saya, “Jangan berdakwah ke orang beriman.”

 

Konteks pameo tersebut ada pada kompetisi politik elektoral. Mudahnya, jika seseorang sudah memilih calon kita, maka kita tak perlu repot-repot lagi mengampanyekan calon kita ke orang tersebut. Justru yang lebih penting adalah mengonversi yang belum menentukan pilihan. Sayangnya, yang kerap terjadi justru sebaliknya, orang banyak berkampanye di depan relawannya sendiri. 

 

Pameo itu agaknya banyak terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari, bahasa elitnya tumbuh dalam “echo chamber”. Kita kerap kali ndakik-ndakik di media sosial tanpa sadar sedang berdakwah ke orang beriman.

 

Kita lupa atau melupakan arena pertempuran dialog sesungguhnya, apalagi kalau bukan grup WhatsApp keluarga. 

 

Dalihnya bisa banyak, “Toxic”, “Banyak Hoax”, “Ribet”. Tapi apa akar dari itu semua? Perasaan lebih tinggi dan berpengetahuan dibandingkan anggota lainnya. 

 

Mirip perasaan pekerja kantoran yang ngedumel karena demo buruh. Seperti kelas menengah yang risih dengan pemukiman pinggir kali tanpa mau memahami konteks dan akar masalahnya. 

 

Ironi itu semakin miris ketika didudukkan dalam konteks grup WhatsApp keluarga. Karena itu berarti kita merasa berjarak dengan entitas terkecil yang paling dekat dengan kita.

 

Mungkin kita perlu meruntuhkan menara babel dari pikiran kita. Alih-alih menghakimi dalam koridor hitam putih, coba tarik mundur pikiran kita sedikit.

 

Pertanyaan yang penting diajukan justru, “Kenapa keluarga kita menyebarkan informasi nir-verifikasi?” 

 

Jawabannya bisa beragam. Tapi, satu yang bisa diajukan jangan-jangan bukan karena mereka mau, tapi karena mereka memang tidak tahu. Jurang antara “mau” dan “tidak tahu” sangat besar. Dan menjembatani jurang tersebut caranya sederhana: Membuka ruang dialog. 

 

Keluar dari grup WhatsApp berarti memutus ruang dialog itu. 

 

Awalnya saya mengira, saya sedang membangun ruang dialog itu di grup WhatsApp keluarga. Nyatanya saya salah, jembatan itu perlahan terbangun dari dua sisi. Lambat laun, anggota di grup WhatsApp keluarga justru bertanya tentang keabsahan sebuah info pada saya.

 

Di titik itu, saya benar-benar merasa menjadi anggota keluarga.

 

One thought on “Yang Terjadi Setelah Grup Sebelah

  1. mas bro says:

    ada perasaan bangga ketika menjadi yang pertama kali mengabarkan sesuatu.

    berasa keren, pinter, asyik, cool dll.

    itu sebabnya banyak yang jempolnya lebih cepat daripada akalnya.

    dan ego pun butuh diberi makan 😂

    Like

Leave a comment