Pameo lama mengatakan, mereka yang paling ceria adalah sosok yang menyimpan banyak duka. Budi Warsito mungkin mengamininya.
Mas Budi, begitu saya biasa menyapa Budi Warsito, adalah sosok yang sulit digambarkan dengan kata sifat. Saya pertama kali bertemu dengannya lebih dari satu dekade silam saat duduk di bangku kuliah. Saat itu, saya menjadi muridnya dalam sebuah kelas penulisan skenario.
Perawakan fisiknya memang lekat dengan tipikal cah nyeni. Rambut sedikit gondrong kribo dengan frame kacamata vintage. Namun, caranya mengajar dan berbicara jauh dari tipikal mas-mas nyentrik pada eranya. Intonasi bicaranya halus dan humornya khas keluarga Jawa, suasana kelas itu jadi seperti acara ronda bareng Karang Taruna.
Selesai kelas skenario itu, tentu saya tak jadi selihai Salman Aristo. Yang saya dapatkan bukan ilmu tapi sebuah perspektif baru karena melihat Budi Warsito, sebuah impresi yang polos, naif, dan sedikit heroik, “Ternyata kesenian itu milik semua orang, Mas-mas Karang Taruna itu aja bisa nulis skenario!”
Tahun demi tahun berlalu, saya tak pernah lagi berjumpa dengan Mas Budi. Saya lupa bagaimana awalnya, sampai kemudian saya kadang bertukar pesan via WhatsApp dengannya. Dan tetap saja walau sudah beberapa kali berinteraksi, tak ada kata sifat yang bisa menggambarkannya.
Continue reading